Potret Dua Sekawan "Upin dan Ipin", Petambak Udang Vaname Asal Tuban
| Wed, 17 Nov 2021 - 15:28
Tiga pria berkaos partai nampak kompak menenteng jaring di sisi outlet. Ketiganya begitu pasrah ketika separuh tubuh terendam air berwarna coklat kehijauan. Aroma amis mulai menyeruak diikuti riuh belasan orang di balik dinding bambu reyot. “Ndang melbu”, teriak seorang wanita berkerudung loreng yang meminta saya, supaya segera masuk ke areal pertambakan. Pagi itu, semua tengah sibuk membagi tugas. Ada yang mengais sisa udang di dalam lumpur. Ada pula yang menyortir hewan air payau berkaki sepuluh itu sesuai ukuran, sembari tak lupa menghirup asap sebat.
Panen udang, menjadi momen manis yang paling dinantikan baik bagi petambak maupun buruh pekerja. Sebab selama hampir 3 sampai 4 bulan lamanya, mereka sudah bergulat menebar pakan dan memastikan aerator tetap berputar sebagaimana mestinya. Keuntungan ratusan juta rupiah telah menghadang di depan mata. Kerja keras, peluh, dan air mata tergantikan pundi-pundi rupiah. Kebahagiaan ini begitu dirasakan dua orang petambak udang vaname (Litopenaeus vannamei) asal Tuban, Pak Hudi dan Pak Ir. Sardjono Budi S. Bukan bersaing, justru mereka bersahabat layaknya serial animasi Upin dan Ipin. Saling bahu membahu membangun bisnis incaran sektor perikanan tersebut.
Walau fisiknya telah menua, tetapi semangatnya tetap membara. “Tidak ada kiat-kiat sukses menjadi petambak”, ujar Pak Hudi dan disetujui oleh Pak Sardjono. Mereka berdua meyakini bahwa, ‘apa yang dituai, maka itulah yang dipanen’. Keduanya tidak selalu menghadapi keberhasilan, berkali-kali pula memperoleh kegagalan. Dari berbagai trial and error, mereka mencoba konsisten merintis usaha budidaya udang vaname. Berawal dari satu petak, saat ini mereka memiliki ratusan petak tambak dengan luas berkisar 2.000 m2. Dalam naungan PT. Sarana Windu Prima, semua tambak tersebar di Kecamatan Jenu dan Kecamatan Tambakboyo, Kabupaten Tuban.
Tidak Hanya Pembesaran, Kini Merambah ke Pembenihan Udang Vaname
“Banyak yang mau nerima (membeli udang)”, pungkas Pak Sardjono. Ya, selama ini budidaya udang vanname menjadi bisnis yang menggiurkan. Budidaya ini identik dengan teknik pembesaran. Banyak orang yang dulunya tidak tahu menahu, saat ini telah banting setir menjadi petambak pembesaran udang. Siapa yang bisa menolak iming-iming keuntungan bersih hingga milyaran rupiah? Namun, alih-alih berpuas diri, Pak Sardjono justru melebarkan sayap dengan melakukan pembenihan mandiri dari indukan udang.
Udang vanname yang dipilih menjadi indukan, memiliki kualitas super, yakni grade F2. Secara visual, terlihat bahwa indukan udang yang digunakan mempunyai panjang dan bobot melebihi rata-rata, berkisar antara 15-20 cm. Pak Sardjono menyiapkan lokasi pembenihan tersendiri yang berada di Desa Jenu dengan ukuran kolam indoor, yaitu masing-masing 2x3 m. Selama 6 bulan lamanya, udang betina dan udang jantan dipisahkan. Mereka diperlakukan bak dewa dengan diberi makan berupa cumi-cumi dan cacing laut. Sebelum pada akhirnya mereka akan dipertemukan dalam perkawinan, untuk menghasilkan benur (benih udang).
Yuk, ikuti juga: Kompetisi LensaMina, Membuka Cakrawala Akuakultur Indonesia
Telur-telur udang yang menetas akan melewati stadia-stadia yang disebut sebagai nauplius, zoea, mysis, post larva (PL) atau benur. Pada fase PL, bentuknya telah menyerupai udang dewasa dengan usia antara 20-25 hari. Benur yang diproduksi, tidak hanya untuk dilepaskan di tambak pribadi. Namun Pak Sardjono juga mengedarkannya untuk memenuhi kebutuhan benur baik dalam Kota/Kabupaten Tuban, maupun dikirim hingga ke luar kota. Sebelum dijual, benih-benih setiap fase (tergantung permintaan), akan dikemas menggunakan plastik yang diisi oksigen.
‘Udang Menjadi Uang’ Atau ‘Udang Menjadi Utang?’
“Memelihara makhluk hidup (udang vaname) itu, hasilnya gak menentu”, pungkas Pak Hudi. Membesarkan udang vaname sesuai standar pasar apalagi ekspor itu tidaklah mudah. Modal yang dikeluarkan sangatlah besar, mulai dari mengalihfungsikan lahan menjadi tambak, pembelian pakan beragam bentuk sesuai usia, vitamin dan probiotik, listrik untuk penerangan dan aerator, hingga membayar tenaga kerja yang harus siap 24 jam non stop. Belum lagi ancaman penyakit dan cuaca yang tiba-tiba bisa berubah, yang seketika dapat mengancam kehidupan udang dalam tambak. Alhasil, tak jarang harapan ingin untung, malah buntung yang diraih.
Kematian massal pada udang menjadi momok menakutkan bagi para petambak. “Harus siap jual barang apa saja yang di rumah”, imbuhnya. Sebelum di titik saat ini, Pak Hudi dan Pak Sardjono berulang kali mengalami kerugian hingga berpikir untuk gulung tikar. Sayangnya, karena api semangat pantang menyerah yang terus membakar, membuat mereka mengurungkan niat tersebut. Mereka selalu teringat dengan masa-masa perjuangan dari nol untuk berada di puncak tangga kesuksesan seperti sekarang.
Akhir kata, mengutip pernyataan dari dfyforindonesia.com, “banyak orang keluar dari zona nyaman dan akhirnya berhasil, tetapi banyak pula yang memperluas zona nyaman dan jauh lebih sukses. Sehingga, daripada berdarah-darah, jika ada jalan yang lebih mudah, mengapa menantang diri dengan cara yang lebih sulit?” Begitu pula ketika meraih mimpi menjadi petambak sukses seperti halnya pada Pak Hudi dan Pak Sardjono. Dibandingkan menyerah, lebih baik menyusun ulang strategi dan saling bergandengan tangan membangun kerajaan usaha budidaya udang vanname. Tertarik mencoba budidaya seperti mereka?
---
Penulis: Melynda Dwi Puspita
Profesi: Alumni Universitas Brawijaya
Instansi: