Outlook Perikanan 2018 Harmonisasi Akuakultur dan Pengolahan
| Tue, 17 Apr 2018 - 11:22
Perluasan pasar produk perikanan, khususnya di bidang akuakultur (budidaya), lama menjadi momok pembudidaya dalam menjual hasil usaha mereka. Menyambut topik ini, TROBOS Aqua bekerja sama dengan Gabungan Perusahaan Makanan Ternak (GPMT) mengadakan Outlook Perikanan 2018 yang diselenggarakan Event Organizer Tcomm TROBOS. Mengambil tema “Skema Perluasan Pasar Nasional dan Global Produk Akuakultur” acara ini dilaksanakan di Hotel Holiday Inn, Kemayoran-Jakarta.
Acara ini menghadirkan berbagai narasumber yang kompeten di bidang masing-masing. Mulai dari hulu, yakni akuakulturnya, hingga hilir, yakni bidang pemasaran produknya. Berbagai stakeholders (pemangku kepentingan) turut terlibat dengan keikutsertaan lebih dari 130 orang. Baik berasal dari praktisi akuakultur, pengolahan dan pemasaran; pemerintah; hingga akademisi.
Dengan merangkul berbagai macam pihak terkait baik sebagai narasumber maupun peserta, Outlook Perikanan edisi ketujuh kalinya ini memilih untuk melebarkan visi para akuakulturis (pembudidaya). Dalam sambutannya, Ketua GPMT, Denny Indrajaya mengungkap, kegiatan ini diharapkan bisa menjadi acuan skema bagi akuakultur nasional agar jangan sampai kalah dengan negara lain sebagai produsen produk perikanan.
“Bisa menjadi barometer agar kita bisa satukan langkah untuk lebih kuat lagi kedepannya. Jangan sampai kalah dengan negara lain seperti India, Malaysia, atau Vietnam,” ungkap Denny.
Selaraskan Program Pemerintah
Menyambut harapan Denny, dalam sesi pertama seminar sehari ini, Direktur Jenderal Perikanan Budidaya Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Slamet Soebjakto pun menggambarkan dukungan pemerintah terhadap akuakultur. Sembari menjelaskan, Slamet menuturkan, bagaimana arah pasar yang semakin cerah dalam menyambut produk perikanan nasional. Belum lagi, tambahnya, sudah menjadi tren bahwa konsumsi protein beralih lebih banyak ke produk perikanan.
“Terdapat peningkatan permintaan ikan segar di pasar nasional, seperti di Jakarta. Hal ini diiringi dengan perkembangan akuakultur di daerah-daerah lainnya. Contohnya, perkembangan budidaya lele bioflok di Atambua, Kabupaten Belu-Nusa Tenggara Timur yang didukung pemerintah daerahnya,” terang Slamet.
Makanya, pemerintah, dalam hal ini KKP, jelas Slamet, mengharapkan pada 2018 ini dunia akuakultur akan semakin cerah. “Menarik investasi yang terus naik dari tahun-tahun sebelumnya. Terlebih bila dilihat dari data, betapa besar peran produk perikanan akuakultur bagi ekspor perikanan nasional. Yakni mendominasi sekitar 60% ekspor pada 2016 hingga 2017 lalu,” ujar Slamet.
Yang menjadi suatu perhatian penting, terangnya, kelengkapan data yang terus harus diupgrade agar bisa menggambarkan secara riil kondisi akuakultur di masyarakat. “Ada beberapa komoditas yang belum tercacah dengan lengkap, seperti budidaya udang intensif serta kegiatan pembenihan dan pendederan. Maka hal ini perlu harmonisasi lebih lanjut bersama dengan Badan Pusat Statistik (BPS),” imbuh Slamet.
Disisi praktisi, Ketua Divisi Akuakultur GPMT, Haris Muhtadi lebih menekankan keselarasan data yang digambarkan pemerintah dengan aktualisasi di lapangan. “Data di lapangan sering tidak sepenuhnay sama dengan data lembaga negara,” ungkapnya. Makanya ia pun menyebut, para praktisi di lapangan masih merasa di’anaktiri’kan pemerintah dalam sisi regulasi dan perhatian.
Dunia akukultur perlu menjadi perhatian penting, apalagi ia mencontohkan, terdapat penurunan output pakan udang sebesar 20% pada akhir Desember tahun lalu yang bisa berdampak pada produksi udang nasional. “Hal-hal seperti ini patut menjadi concern karena di lapangan itu banyak penyebab turunnya produksi. Makanya harapan kami semua stakeholders untuk menyeriusi ini,” terang Haris. Ditambah, ungkap Haris wacana budidaya laut yang masih belum ada realisasi walaupun sudah digemborkan sejak 2017 lalu.
Melanjutkan penjelasan Haris, Iwan pun lebih menekankan pada produksi udang nasional yang betul bisa terpengaruh dari turunnya produksi pakan nasional. Namun, ia pun menekankan gerak produksi udang nasional selama tujuh tahun terakhir, dimana ada pergerakan negara produsen udang lain di Asia.
“India banyak belajar dari kita, walaupun mereka memiliki tantangan yang serupa, yakni benih, tapi mereka bisa terus melaju. Harga benih saja di sana bisa mencapai Rp 100 per ekor, bisnis udangnya lebih bergengsi dibanding di sini yang hanya seharga Rp 15 per ekor. Tapi mereka terus berkembang karena kontrol yang ketat disisi kepadatan dan ekstensifikasinya yang maju,” ungkap Iwan.
Sedangkan di Indonesia, masih banyak tantangan yang kerap mendera petambak udang. Apalagi para petambak di daerah. Acapkali, tambah Iwan, infrastruktur, benih yang tidak SPF, penyakit, hingga regulasi birokrasi bisa jadi penghambat serius bagi perkembangan akuakultur udang nasional.
Dan bagi perikanan tawar, Azzam Bachrur Zaidy (Catfish Club Indonesia) menerangkan, bisa menjadi masa depan Indonesia. “Karena terdapat pertumbuhan dari sisi budidaya lele dan patin. Terdapat sentra-sentra baru patin di luar Jawa yang juga didorong dengan tumbuhnya filet patin untuk memenuhi kebutuhan pasar,” terang Azzam. Yang cukup disayangkan, imbuhnya, masih banyaknya limbah dari produksi filet ini yang belum dimanfaatkan.
Peranan Pengolahan dan Pemasaran
Dan menyambung peranan sektor hulu, peranan sektor hilirpun tak boleh dipinggirkan. Dalam sesi kedua seminar sehari Outlook Perikanan 2018, Effendy Wong (Himpunan Pembudidaya Ikan Laut Indonesia) menyambungkan maksud Haris dan Azzam. Yakni dengan mengembangkan akukultur di perairan laut dan memanfaatkan limbah filet untuk kebutuhan pertanian.
Karena, menurut Effendy, akuakultur laut betul-betul besar potensinya. “Kami pun sudah bisa bergerak dengan membuka usaha pengolahan memanfaatkan budidaya laut, seperti kerapu. Dan jika bisa dikembangkan lebih jauh, bahkan nantinya kita tidak perlu ekspor, karena kebutuhan nasional saja sudah besar,” tambah Effendy.
Balum, lagi-lagi tantangan regulasi yang dinilai Budhi Wibowo (Ketua Asosiasi Pengusaha Pengolahan dan Pemasaran Produk Perikanan Indonesia) bisa menghambat pertumbuhan hilir perikanan. Ia menuturkan, regulasi selalu menjadi momok bagi pengusaha. Contohnya, regulasi mengenai zonasi kawasan yang tidak konsisten serta sarana prasarana yang kurang mendukung.
Harusnya, terang Budhi, ada keseimbangan yang dijalankan pemerintah. Ia memisalkan, dari sisi pengolahan saja, produksi harus terus jalan sementara suplai bahan baku selalu tidak konsisten. “Kadangkala untuk menangani hal ini, perusahaan mau tidak mau pun harus impor bahan baku. Makanya harapannya jangan ditentang, tapi diatur,” ucapnya.
Dan yang menjadi poin penting, tambah Budhi, adalah ketidaktergantungan pasar Indonesia terhadap pasar Amerika Serikat (AS) terkait aktivitas ekspornya. “Dulu ekspor ke AS bisa capai 60%, dan sekarang tidak lagi. Dan hal ini baik karena tidak tergantung satu pasar saja,” bebernya.
Mendukung sektor hilir ini, utamanya perluasan nasional dan global, Direktorat Jenderal Perikanan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan dan Direktorat Jenderal Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan KKP juga memberikan gambaran kebijakan masing-masing. Ada suatu pengembangan yang diharapkan peranan digital bisa berperan untuk menyambungkan produsen ke konsumen dan memutus rantai perdagangan. Serta dengan diferensiasi produk olahan perikanan yang terus digalakkan untuk meningkatkan konsumsi ikan di masyarakat.
Dalam kesempatan ini, juga dilakukan soft launching Minapoli oleh CEO Minapoli, Ruli Setya Purnama. Minapoli merupakan sebuah platform informasi dan bisnis perikanan terintegrasi, dengan tiga konsep utama. Yakni marketplace, event,dan informasi tentang perikanan.
Sumber : http://www.trobos.com/detail-berita/2018/02/28/111/10062/outlook-perikanan-2018--harmonisasi-akuakultur-dan-pengolahan