• Home
  • Infomina
  • Teknologi Resirkulasi, Jadi Alternatif Budidaya Udang Vaname

Teknologi Resirkulasi, Jadi Alternatif Budidaya Udang Vaname

| Fri, 11 Mar 2022 - 17:01

Beberapa tahun terakhir ini, pembudidaya banyak yang mengalami kegagalan yang disebabkan oleh serangan penyakit baik viral maupun bakterial. Penyakit viral yang sering menjadi momok bagi petambak adalah white spot dan myo. Sedangkan penyakit bakterial yang banyak menimbulkan kegagalan adalah serangan penyakit kotoran putih atau white feces disease dan vibriosis yang sering berkolaborasi dengan patogen lainnya.


Dulu banyak yang beranggapan bahwa penyakit disebabkan oleh satu macam patogen. Namun belakangan ternyata serangan penyakit ditimbulkan oleh adanya ketidak seimbangan mikroba dalam ekosistem. Penyakit muncul akibat meningkatnya bakteri patogen dan berkurangnya dominasi mikroba yang menguntungkan. Saat ini muncul konsep microbium (komunitas mikroba total dalam tubuh organisme) dan pathobium (mikroba patogen).


Semakin beragam jenis mikroba yang ada dalam tubuh udang maupun dalam ekosistem perairan maka semakin mantap ekosistem tersebut, dan udang tidak mudah terserang penyakit. Namun bila terjadi goncangan kualitas air atau cuaca yang menyebabkan berubahnya komposisi mikroba maka dapat menyebabkan ketidakseimbangan ekosistem mikroba baik dalam perairan maupun dalam tubuh udang.


Perubahan kualitas air laut atau air sumber yang lain menjadi salah satu pemicu munculnya penyakit. Perubahan kualitas air laut, maupun tawar tidak terlepas dari ulah manusia. Termasuk tambak yang membuang air tanpa melalui IPAL dan tidak sesuai dengan standar baku mutu air buangan.


Baca juga: Sistem Resirkulasi Air, Investasi Keberhasilan Budidaya Anda


Suatu ketika tidak terasa bahwa air yang kita ambil dari laut atau muara sungai tidak lebih baik daripada air buangan kita. Baik di di salah satu sisi  tetapi jelek di sisi yang lain. Bila kita terjebak dengan kondisi perairan yang sudah seperti ini maka memperbaiki air buangan kita untuk kita pergunakan lagi adalah solusi yang lebih baik. Dengan kata lain, kita mendaur ulang air buangan tambak untuk dipergunakan budidaya lagi. Teknologi ini dikenal dengan teknologi daur ulang air dalam budidaya atau istilah lain Recirculating Aquaculture System (RAS)


Resirkulasi Bukan Teknologi Baru

Pada tahun 1995, serangan penyakit white spot dan Vibrio harveyi pada budidaya udang di tambak, luar biasa ganasnya. Sementara itu, untuk mendapatkan benih udang windu yang SPF sangat sulit dan terbatas jumlahnya. Sebagian besar usaha pembesaran udang windu di tambak mengalami kegagalan dan kerugian yang sangat besar. Banyak kejadian udang dipanen belum waktunya. Ukurannya pun tidak mencapai 10 gram, sehingga harganya sangat rendah. Biaya pun tidak tertutup.


Penerapan tandon, penggunaan berbagai bahan kimia sebagai desinfektan di tambak sudah tidak bisa lagi diandalkan untuk mengendalikan penyakit. Hal ini menyebabkan sebagian petambak beralih membudidayakan udang jenis lain yaitu udang putih jenis udang jerbung dan udang peci. Udang jerbung (Penaeus indicus) dan udang peci (Penaeus merguiensis) digunakan sebagai spesies alternatif sebelum udang vaname (Litopenaeus vannamei)resmi diluncurkan. Selain itu, juga ada yang mencoba (Penaeus chinensis) meskipun dalam jumlah yang tidak banyak.


Selain mencoba jenis lain, untuk seleksi jenis udang yang lebih tahan penyakit, beberapa pembudidaya juga mencoba dengan teknik budidaya yang berbeda-beda. Ada yang mencoba dengan polikultur udang windu dengan ikan bandeng, udang windu dengan ikan nila dan ada juga yang mencoba dengan sistem tertutup, sedikit ganti air serta teknologi daur ulang atau resirkulasi.


Baca juga: Mengenal Lebih Jauh Sistem Akuakultur Resirkulasi (Recirculating Aquaculture System)


Penerapan teknologi resirkulasi tampak memberikan harapan. Dari lahan yang ada hanya dimanfaatkan 50% untuk budidaya dan selebihnya digunakan untuk tandon treatment. Air buangan dari kolam udang diambil kembali dan dimasukkan ke dalam kolam pengendapan. Dari kolam pengendapan air masuk ke kolam perlakuan biologi yang berisi kekerangan dan ikan bandeng dan rumput laut jenis Gracilaria, selanjutnya air masuk ke tandon yang dipasang aerator untuk meningkatkan kandungan oksigen terlarut hingga mencapai sekitar 5 mg/L O2.


Tandon yang dilengkapi dengan aerator / kincir adalah tandon terakhir yang airnya siap dimasukkan ke kolam udang. Dengan teknologi ini tampak memberi harapan baru. Banyak yang menerapkan dan terbukti berhasil. Teknologi ini dipelopori oleh salah satu perusahaan pakan PT Central Proteina Prima yang dimulai pada tahun 1993.


Dari Windu Beralih ke Vaname

Dengan masuknya spesies baru udang putih dari Amerika Penaeus (Litopenaeus) vannamei, maka petambak beramai ramai menebar jenis udang yang baru tersebut. Udang vaname dikenal sangat bandel dan tahan penyakit. Awalnya padat tebar yang diterapkan 70 ekor/m2, umur 70 hari sizenya mencapai 70 ekor/kg dan harganya cukup mahal yaitu mencapai Rp 70.000. Sehingga dikenal dengan sebutan serba 70. Udang windu pun ditinggalkan dan beralih ke udang vaname.


Bila udang vaname padat tebar 70 ekor/m2, penebaran udang windu hanya 30 – 35 ekor/m2. Jadi cuma separuh dari penebaran udang vaname. Bila udang windu produksinya berkisar 4 – 5 ton / ha saat itu karena banyak serangan penyakit, maka udang vaname bisa mencapai lebih dari 10 ton/ha. Adapun biaya produksi hampir sama. Dapat dikatakan budidaya udang vaname jauh lebih menguntungkan daripada udang windu yang banyak tantangannya.


Baca juga: Inovasi Polikultur Kakap Putih dan Udang Windu Sumber Pendapatan Baru Petambak Tradisional di Kabupaten Pinrang


Tambak yang diisi benih udang windu dan terserang penyakit, baik penyakit white spot maupun vibrio harveyi, serta banyak kematian langsung ditebar benih udang vaname tanpa melalui proses pengeringan dan persiapan. Udang vaname yang ditebar pun panen sukses. Dengan kemudahan proses budidaya, yang awalnya padat tebar cukup 70 ekor/m2 petambak berusaha meningkatkan penebarannya menjadi 100 ekor/m2.


Sukses dengan penebaran 100 ekor/m2,penebaran ditingkatkan menjadi 120 ekor/m2. Meningkat Lagi ke 150 ekor/m2 hingga 300 ekor/m2. Teknologi budidaya mulai ditinggalkan, tidak lagi menggunakan sistem resirkulasi, close system, tidak juga menggunakan tandon. Sistem budidayanya berubah ke Open system yaitu dengan melakukan banyak ganti air secara langsung dari air laut. Produksi pun bersaing ada yang 20 ton/ha dan ada yang hingga 50 ton/ha.


Vaname Mengalami Penurunan Akibat Serangan Penyakit

Akhir-akhir ini banyak petambak yang gagal akibat serangan penyakit. Penyakit yang menyerang diantaranya WFD, EHP, IMN, WS dan Vibriosis. Jenis bakteri yang sering menyerang udang terutama bakteri Vibrio parahaemolyticus. Gejala klinis yang tampak di lapangan antara lain, usus kosong, hepatopancreas pucat dan esofagus juga kosong. Udang yang terserang, mulai umur 2 minggu hingga mendekati panen, atau menyerang semua umur. Terjadi kematian, secara terus menerus. Bahkan di antara petambak ada yang kehidupan udangnya tinggal 25 atau 30 persen saja.


Serangan penyakit bisa disebabkan oleh satu patogen atau beberapa patogen menyerang bersama-sama sehingga tingkat kematiannya cukup tinggi. Serangan penyakit dipicu oleh goncang  kualitas air yang terjadi secara mendadak. Seperti kematian plankton, plankton yang terlalu pekat sehingga goncangan pH tinggi serta kebutuhan oksigen di malam hari tidak mencukupi.


Baca juga: Waspadai Kematian Dini Udang


Penurunan total bakteri dan peningkatan populasi vibrio, yang sering ditandai dengan kurangnya busa yang muncul. Penggunaan desinfektan dan imunostimulan serta penambahan vitamin dan mineral melalui pakan dapat mengurangi tingkat serangan. Penggunaan desinfektan dan feed additive akan menambah ongkos produksi. Untuk itu, perlu dipertimbangkan penggunaan obat yang benar-benar efektif.


Polikultur dan Resirkulasi, Alternatif yang Memberi Harapan

Polikultur udang dan ikan nila telah lama diujicobakan. Polikultur udang windu dengan ikan nila tahun 1990an pada tambak semi intensif terbukti cukup sukses dan dapat terhidar dari serangan penyakit MBV serta vibrio. Demikian juga teknologi resirkulasi yang diterapkan pada pada udang windu di tahun 1993 hingga tahun 2000 dapat mencegah serangan penyakit white spot dan vibriosis.


Tahun 1995 hingga 1999, penulis telah menerapkan sistem resirkulasi pada budidaya udang windu, dengan memanfaatkan kekerangan (Crassostrea sp) dan ikan bandeng (Chanos chanos F) sebagai biofilter, sementara di tempat lain menggunakan ikan nila, bandeng dan keting. Semuanya berhasil baik dan mampu mendongkrak kondisi perusahaan yang hampir bangkrut menjadi berjaya kembali.


Uji coba yang dilakukan penulis penerapan polikultur udang vaname dengan ikan nila tahun 2020 juga memberikan hasil yang cukup memuaskan dan terhindar dari serangan penyakit WFD dan IMNV. Demikian juga aplikasi teknologi resirkulasi pada udang vaname yang menggunakan ikan nila sebagai biofilter pada penebaran akhir tahun 2021, dapat terhindar dari serangan vibriosis dan IMNV, sementara kolam lain yang menerapkan sistem biasa sejak 15 hari sudah terjadi kematian dan umur 40 hari sudah dikeringkan semua. Sementara yang menggunakan sistem resirkulasi hingga umur 60-an masih selamat dan berlanjut tanpa kematian di dasar.


Baca juga: Polikultur Udang Galah dengan Bandeng


Ikan Nila sebagai Biomanipulator Lingkungan

Penggunaan ikan nila baik yang menggunakan sistem resirkulasi maupun polikultur memiliki peran yang luar biasa. Hal ini sesuai dengan perilaku ikan nila yang dapat digunakan sebagai biomanipulator lingkungan.


1. Ikan nia punya sifat suka mengaduk dasar tambak sehingga akan mencegah kondisi yang anaerob dan memudahkan proses bioremediasi.

2. Ikan nila memiliki sifat filter feeder dalam mencari makan sehingga akan mengurangi plankton yang ukuran lebih besar dan plankton yang halus seperti Chlorella, akan lolos dan mendominasi. Hal ini akan membantu menstabilkan kualitas air dan menekan populasi vibrio.

3. Ikan nila dapat memanfaatkan sisa pakan dan mau makan plankton mati / melekat sehingga mengurangi pencemaran air dan dasar tambak.

4. Lendir ikan nila bersifat antimikroba yang dapat mengurangi bakteri maupun virus.


Penulis: Suprapto (Tim Teknis SCI Banyuwangi)


Sumber: Info Akuakultur

Artikel lainnya