• Home
  • Infomina
  • Pakar Jelaskan Upaya Tingkatkan Produksi Tambak dan Ekspor Udang Nasional pada Webinar OMBAK

Pakar Jelaskan Upaya Tingkatkan Produksi Tambak dan Ekspor Udang Nasional pada Webinar OMBAK

| Wed, 19 Mar 2025 - 16:43

Optimalisasi produktivitas udang serta peningkatan ekspor udang Indonesia sangat penting untuk menjaga sektor industri dan budidaya udang di Indonesia tetap stabil di tengah fluktuasi pasar global. Untuk itu, perlu diupayakan langkah-langkah strategis untuk meningkatkan kedua aspek tersebut.


FisTx, perusahaan inovasi akuakultur, mendiskusikan kedua aspek tersebut dalam seri webinar “Obrolan Tambak” atau OMBAK dengan tajuk “Meningkatkan Hasil Panen Tambak yang Berkelanjutan untuk Memenuhi Tren Permintaan Udang di Pasar Domestik dan Global 2025” secara daring (19/3).


Webinar ini mengundang beberapa narasumber yang berkompeten di bidangnya dan berhasil mendapatkan lebih dari 300 peserta sebagai partisipan.


Narasumber yang dihadirkan antara lain Fujiyanti dari Direktorat Jenderal Pengembangan Ekspor Nasional, Kementerian Perdagangan; Rico Wisnu Wibisono selaku Chief Operating Officer (COO) FisTx; dan Hasanuddin Atjo sebagai praktisi tambak senior.


Kondisi Pasar Udang Global dan Posisi Indonesia

Fujiyanti turut memaparkan mengenai posisi Indonesia pada pasar udang global sebagai acuan awal dalam upaya peningkatan ekspor udang.


Udang merupakan komoditas perikanan yang masih menjadi unggulan ekspor Indonesia. Fujiyanti menjelaskan bahwa kinerja ekspor udang pada tahun 2024 mencapai nilai 1,39 juta USD, meningkat 6,8% dari tahun sebelumnya. 


Meski begitu, laju tren ekspor udang Indonesia selama 5 tahun ke belakang (2020-2024) masih belum menunjukkan angka  yang signifikan dengan -5,47%.


Tantangan lain pun datang dari 2 negara tujuan ekspor utama Indonesia, yaitu Amerika dan Jepang. Menurut paparan Fujiyanti, Amerika telah menyerap suplai udang dari Indonesia sebesar 48,81% dan diikuti Jepang dengan 16,47%.


Kondisi permintaan pasar udang dari kedua negara tersebut mengalami penurunan pada tahun 2019-2023 sebanyak -25,03% (Amerika) dan -20,68% (Jepang). Penurunan angka permintaan tersebut selayaknya dapat menjadi lampu kuning bagi industri udang Indonesia.


“Melambatnya market demand dari Amerika Serikat dan Jepang ini patut kita waspadai mengingat ekspor udang Indonesia masih didominasi kedua negara tersebut. Jadi, memang terjadi penurunan, namun kami tetap mengimbau untuk pelaku usaha industri udang untuk tetap optimis,” ujar Fujiyanti.


Ia kemudian menjelaskan mengenai potensi pasar yang bisa diokupasi oleh suplai udang Indonesia, antara lain pada negara Republik Rakyat Cina (RRC). 


Potensi pasar udang beku RRC sebesar 589 juta USD, yang baru diisi oleh udang Indonesia sekitar 73 juta USD. Sementara itu untuk potensi pasar udang nonbeku sebesar 11 juta USD yang baru diisi sekitar 8,7 juta USD.


Fujiyanti juga menjelaskan mengenai strategi menghadapi berbagai tantangan berupa kebijakan ekspor-impor dari berbagai negara serta hambatan perdagangan lain dengan melakukan perundingan antarnegara.


“Kementerian Perdagangan telah menginisiasi perjanjian perundingan dagang untuk mengurangi hambatan baik tarif atau nontarif. Saat ini, terdapat 38 perundingan yang telah dilakukan, yaitu 13 perundingan sudah komplit dan implemented, 15 sedang on-going, serta terdapat 18 sedang proses penjajakan,” tegasnya.


Optimalisasi Manajemen Tambak

Rico Wisnu Wibisono lebih memaparkan mengenai tata cara untuk mengoptimalkan manajemen tambak agar produktivitas tinggi dengan biaya seminimal mungkin, termasuk dari segi manajemen dan pemilihan berbagai aspek tambak.




“Manajemen memegang faktor penting pada keberhasilan budidaya sebesar 60%. Tidak hanya faktor genetik udang, tapi juga bagaimana kita me-manage budidaya,” jelasnya.


Ia menjelaskan bahwa salah satu pertimbangan utama dalam menjalankan budidaya udang adalah Carrying Capacity (CC) tambak. Carrying capacity adalah jumlah udang yang dibudidayakan dalam sebuah wadah atau kondisi geografis tanpa mengalami perubahan yang negatif.


Jumlah CC tersebut akan mempengaruhi pemilihan jenis benur yang akan dipilih. Rico menjelaskan terdapat 2 jenis benur, yaitu benur fast growth (pertumbuhan cepat) dan balanced (lebih tahan penyakit).


Selain itu, ia juga menekankan mengenai aspek pemilihan benur yang perlu diperhatikan oleh petambak untuk mencegah serangan penyakit yakni usia benur, kredibilitas hatchery, Total Vibrio Count (<100.000 CFU per gram), hasil uji bolitas dan nekrosis, kondisi saluran pencernaan (MGR 4:1), dan standar deviasi benur (<1).


“Pastikan untuk mendapatkan benur dari hatchery yang tersertifikasi dan disarankan untuk memilih yang berumur PL-8 ke atas karena insangnya yang sudah stabil.”


Rico juga menjelaskan mengenai keunggulan proses disinfeksi air tambak menggunakan ultraviolet (UV) yang lebih ekonomis dan praktis. Sistem UV dinilai dapat membunuh patogen hingga 99% dengan proses yang lebih cepat.


“Disinfeksi dengan UV mampu mereduksi biaya operasional hingga 83,3%, dari Rp1800 ke Rp300 per meter kubiknya, dan akan terus berkurang di tahun-tahun berikutnya,” jelas Rico.


Selain itu, Rico juga merekomendasikan untuk menggunakan kombinasi automatic feeder, atraktan pakan, serta keseimbangan kualitas air untuk membantu nafsu makan udang tetap terjaga dan meningkatkan FCR.


Strategi Nasional agar Budidaya Udang Optimal

Di sisi lain, Hasanuddin Atjo menjelaskan mengenai solusi peningkatan produksi serta penerapan inovasi baru agar industri dan budidaya udang dapat optimal. 




Hambatan yang Atjo garis bawahi adalah mengenai penyakit udang yang masih menjadi persoalan utama di Indonesia. Ia melanjutkan bahwa masalah penyakit diawali dengan peredaran benur yang masih tergolong tidak sehat atau mengandung patogen.


“Dari total benur yang beredar sebanyak 35-40 miliar, 50-60% termasuk kategori yang tidak sehat,” tegas Atjo.


Oleh karena itu, deteksi penyakit sejak dini menjadi solusi untuk memastikan benur sebagai salah satu input budidaya yang paling penting tidak membawa penyakit.


Atjo juga menuturkan mengenai pendekatan-pendekatan baru yang diimplementasikan pada industri dan budidaya udang di Indonesia, antara lain pengembangan genetik, sistem budidaya, klasterisasi, dan hilirisasi.


Klasterisasi bermakna menyesuaikan rantai pasok industri udang sesuai dengan kondisi Indonesia sebagai negara kepulauan. Dengan begitu, Harga Pokok Produksi (HPP) udang dapat ditekan dan membuat udang lebih berdaya saing.


“Rantai pasok harus berbasis kepulauan. Semisal, ketika pabrik pengolahan udang berada di Pulau Jawa tapi tambaknya berada di luar Pulau Jawa, akan menyebabkan cost yang sangat besar.”


Selanjutnya, ia menjelaskan lebih lanjut mengenai pendekatan sistem budidaya dengan mencontohkan kesuksesan Ekuador sebagai produsen udang global tertinggi saat ini.


Ekuador berhasil menduduki posisi tersebut dengan menerapkan pengembangan genetik induk nasional, sistem nursery (two-step), pemberian functional feed, monitoring kualitas air tambak, dan penerapan sarana tambak berbasis sensor.


Salah satu poin yang dititikberatkan oleh Atjo adalah penerapan sistem nursery atau two-step yang masih sangat terbatas di Indonesia. Sistem nursery sendiri adalah sistem membudidayakan udang pada dua tahap terpisah, yakni pada kolam nursery selama 15-40 hari dan kemudian dipindahkan ke kolam pembesaran untuk dibudidayakan hingga panen.


Atjo menjelaskan salah satu studi di beberapa tambak yang ada di Kalimantan Selatan. Tambak yang menerapkan sistem nursery bisa menghasilkan udang dengan produktivitas hingga 145 ton, sementara produktivitas tambak konvensional hanya 78 ton.




Artikel lainnya

Terkini 

Kiat ”Murah” Aplikasi Probiotik

Minapoli

1356 hari lalu

  • verified icon2825
Terkini 

Korelasi Akuakultur dan Ekosistem Mangrove

Info Akuakultur

847 hari lalu

  • verified icon2858
Terkini 

KKP Sokong Perekonomian Masyarakat Melalui Budidaya Minapadi

Minapoli

1789 hari lalu

  • verified icon3569