• Home
  • Infomina
  • Limbah Ban Bekas untuk Budidaya Kerang Hijau

Limbah Ban Bekas untuk Budidaya Kerang Hijau

| Tue, 02 Nov 2021 - 16:11

Geram dengan maraknya penggunaan jaring tidak ramah lingkungan, yang membuat nelayan kecil tidak kebagian ikan, sejumlah nelayan Karangsari Kendal membudidayakan kerang hijau. Tidak semata membudidayakan kerang hijau saja, tetapi inovasi ini sebagai upaya menghalau penggunaan jaring yang tidak ramah lingkungan tersebut. Awalnya mereka membuat patok-patok dari bambu untuk menghalau mereka agar alatnya tidak sampai ke perairan mereka.


Ketua kelompok nelayan Baito Alit Kelurahan Karangsari Kendal, Ngatno mengatakan, berawal dari problematika yang merugikan nelayan kecil itulah, ia bersama 10 anggotanya mulai merintis tempat budidaya kerang hijau di tengah laut. Patok-patok bambu itu dihubungkan menjadi bagan tancap. Mulanya, budidaya kerang hijau merupakan penghasilan sampingan. Namun, karena dirasa menguntungkan membuat banyak nelayan  yang kini terlibat aktif dalam budidaya kerang hijau ini.


Untuk pemeliharaan kerang yang termasuk kelas Pelecypoda ini tidak terlalu sulit. Benihnya sudah disediakan oleh alam. Selain itu, tidak membutuhkan pakan. Pembudidayaan kerang ini hanya membutuhkan “tempat” untuk menempel kerang, kemudian mengawasinya sampai besar, berikutnya panen.




Ternyata selain pemeliharaannya tidak sulit, spesies ini juga memiliki kandungan gizi yang sangat baik untuk dikonsumsi. Nilai gizi yang terdapat dalam daging meliputi kadar air sebesar 40,8%; protein 21,9%; karbohidrat 18,5%; lemak 14,5% lemak; dan abu 4,3 %. Melihat data tersebut, diketahui bahwa daging Kerang Hijau nilai giziya bisa dikatakan sebanding dengan daging sapi, telur maupun daging ayam.


Metode budidaya kerang hijau yang umum diterapkan di Indonesia, antara lain metode stick dan longline. Metode longline dan stick prinsipnya adalah metode budidaya yang dilakukan dengan menempelkan “kolektor” (kantong untuk menempatkan benih) pada tiang-tiang bambu yang ditancapkan di perairan. Kemudian ditempatkan pada posisi yang selalu terendam air pada saat pasang maupun surut. Nelayan karangsari, Ngatno dkk, memodifikasi limbah ban bekas sebagai kolektor. Limbah ban bekas sudah sangat akrab dengan nelayan. Hampir semua perahu nelayan memakai ban bekas pada bagian haluan, berfungsi sebagai japra agar tidak terbentur batu karang, ban bekas juga berfungsi sebagai penambat tali perahu.


Yuk, ikuti juga: Kompetisi LensaMina, Membuka Cakrawala Akuakultur Indonesia


Kulistyowati, Penyuluh Perikanan Bantu yang mendampingi kelompok Baito Alit menjelaskan, aplikasi budidaya kerang hijau dengan kolektor ban bekas ternyata memiliki beberapa keunggulan.  Diantaranya kerang hijau dapat dipelihara dengan SR (Survival Rate) yang tinggi dan penggunaan ban bekas dapat meminimalisir biaya produksi, karena harganya yang murah dan mudah didapat.Terlebih penggunaan kolektor ban bekas juga dinilai memudahkan dalam pengontrolan organisme predasi ataupun biofouling (organisme penempel), karena tidak mengakumulasi lumpur.


“Akumulasi lumpur pada budidaya kerang hijau dapat menurunkan laju filtrasi kerang hijau, sehingga masuknya makanan ke dalam tubuhnya akan terganggu”, ujarnya.


Kulistyowati mengatakan, berdasarkan pengalaman kelompok Baito Alit juga membuktikan bahwa dengan metode kolektor ban bekas menunjukkan pertumbuhan kerang hijau yang lebih seragam. Dengan demikian dapat diperkirakan waktu pemanenannya.


Ngatno menambahkan, untuk pemeliharaan kerang yang termasuk kelas Pelecypoda ini tidak terlalu sulit. Pembudidayaan kerang ini hanya membutuhkan ban bekas untuk menempel kerang, kemudian mengawasinya sampai besar, berikutnya panen.


Waktu panen juga bisa seenaknya, tidak terpatok pada jam-jam tertentu. Namun, rata-rata dari pembudidaya ini berangkat sebelum matahari terbit. 


Sementara, untuk pembuatan bagan satu unitnya bisa menghabiskan biaya Rp. 4 juta. sekitar 18 bulan harus siap diganti. Jika musim angin barat, banyak pembudidaya kerang hijau yang menganggur sampai 3 bulan baru memulai lagi.


Produksi untuk satu unit bagan bambu dengan 35 patok memakai 6.000 ban, dimana dalam satu ban dapat dipanen 1–1,5 kg kerang ukuran konsumsi berukuran 6–8 cm. Sehingga jumlah produksi dari 35 patok setelah satu siklus pemeliharaan (5–6 bulan) sebanyak ± 6.500 kg/siklus.


Budidaya kerang hijau bisa dibilang cukup menjanjikan. Saat ini, 1 kilogramnya dibandrol Rp 5.000. Meski sempat mengalami pasang surut hingga Rp 2.000 per kilogram, kerang hijau di musim-musim tertentu bisa juga tembus di angka Rp 7.000 per kilogram.


Februari adalah bulan di mana Ngatno dan teman-temannya menyemai bibit kerang hijau di bagan mereka. Hingga lima bulan ke depan mereka baru bisa mendapatkan hasil kerang yang optimal. Kesabaran besar diperlukan dalam menunggu dan merawat bagan sampai bulan Juli.


Kepala Bidang Perikanan Budidaya Dinas Kelautan dan Perikanan Kendal, Joko Suprayoga menambahkan, salah satu faktor yang mendorong pengembangan budidaya kerang hijau diantaranya ketersediaan benih dari alam sepanjang tahun, biaya produksinya juga relatif rendah namun keuntungannya tinggi. Ini menjadi daya tarik tersendiri untuk masyarakat mengembangkan budidaya kerang hijau.

---


Penulis: Joko Suprayoga

Profesi: ASN

Instansi: DKP Kabupaten Kendal


Artikel lainnya