Keramba Jaring Apung untuk Budidaya Lobster
| Mon, 23 May 2022 - 10:41
Budidaya lobster Indonesia menunggu unjuk gigi. Butuh teknologi tepat untuk mewujudkan keinginan itu bermanfaat bagi banyak orang. Teknologi keramba jaring apung (KJA) ”submersible” diharapkan jadi salah satu solusinya.
Sudah saatnya budidaya lobster Indonesia mendunia. Pengembangan teknologi budidaya lobster dibutuhkan untuk memaksimalkan potensi ratusan juta benih lobster yang selama ini dikirimkan ke luar negeri. Jika benih-benih ini dikembangkan di Tanah Air, Indonesia bisa bersaing dalam pasar lobster kelas dunia.
Negara-negara tetangga pun mulai melirik komoditas perikanan dengan nilai jual tinggi ini. Bahkan, Australia menunjukkan keseriusannya menjajal teknologi keramba jaring apung (KJA) submersible merek Aquatec dari PT Gani Arta Dwitunggal.
Nilai ekspor untuk satu paket KJA sistem kerangkeng terbenam ini mencapai 100.000 dollar AS atau lebih dari Rp 1,4 miliar. Paket tersebut dikirimkan dari pabriknya di Padalarang, Kabupaten Bandung Barat, Senin (18/4/2022).
Paket ini dimasukkan ke dalam satu kontainer yang akan dikirimkan melalui Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. Di situ, sejumlah petugas sibuk menyusun peralatan di dalam peti kemas. Sementara itu, satu unit forklift mondar-mandir mengantarkan paket peralatan dengan ukuran yang beraneka ragam.
Baca juga: Pertama di Indonesia, Teluk Jukung Lombok Timur ditetapkan Jadi Sentra Budidaya Lobster
Direktur Utama PT Gani Arta Dwitunggal Budiprawira Sunadim yang turut melepas paket ekspor tersebut menyatakan, pembeli dari Australia ini adalah Ornatas, perusahaan budidaya lobster kenamaan dari negara kangguru tersebut. Selain Australia, Papua Niugini juga tengah menjalin komunikasi dengan Aquatec untuk membeli KJA submersible ini.
”Ini tidak menutup kemungkinan untuk pemesanan berikutnya. Apalagi, kabarnya Australia menyediakan dana hingga 1,8 miliar dollar Australia untuk pengembangan budidaya lobster. Menurut kami, pembelian ini adalah bentuk pengakuan dari perusahaan internasional terhadap teknologi yang kami kembangkan,” ujarnya.
Teknologi KJA ini memastikan kerangkeng lobster tidak berada di permukaan air, tetapi tetap bertahan di kedalaman tertentu. Hal itu dilakukan untuk memastikan benih lobster mendapatkan suhu dan kondisi air yang stabil selama budidaya berlangsung.
Budiprawira mengklaim, kelangsungan hidup (survival rate/SR) dari budidaya dengan sistem ini bisa mencapai 80 persen. Tingkat keberhasilan yang cukup tinggi tersebut tentu sangat menguntungkan bagi pelaku budidaya lobster.
Apalagi, daging lobster bernilai tinggi di pasar makanan laut (seafood). Dari laman Aquatec.co.id, lobster mutiara berukuran 300 gram mencapai Rp 600.000 per kilogram.
Baca juga: Lobster Estate: Era Baru Usaha Lobster di Lombok Timur
Sementara ukuran 1 kilogram (kg) ke atas bisa dijual hingga Rp 1,2 juta per kg. Harga ini tidak jauh berbeda dengan lobster yang dijual di pasar daring.
Potensi yang dimiliki Indonesia juga tidak main-main. Memiliki garis pantai sepanjang 81.000 kilometer dan banyak terumbu karang membuat lobster alam banyak tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI yang kini dilebur dalam Badan Riset dan Inovasi Nasional/BRIN) di tahun 2020 merilis, potensi benih lobster alam di laut Indonesia sangat besar dan diperkirakan mencapai 20 miliar ekor per tahun.
Peneliti dari Pusat Penelitian Oseanografi LIPI Rianta Pratiwi menjelaskan, lobster hidup di perairan dangkal hingga kedalaman 100-200 meter di bawah permukaan laut dengan suhu 20-30 derajat celsius. Lobster suka hidup di daerah terumbu karang berair dangkal di daerah tropis maupun semitropis.
”Faktor alam yang mencakup dinamika oseanografi dan klimatologi sangat memengaruhi keberadaan dan stok benih lobster alam di laut Indonesia. Meskipun memiliki morfologi yang sama, habitatnya berbeda-beda tergantung jenisnya,” papar Rianta dalam situs lipi.go.id.
Diselundupkan
Meskipun memiliki potensi yang besar, Budiprawira menyayangkan budidaya lobster belum populer di Indonesia. Dia beranggapan, hal ini terjadi karena para nelayan belum mendapatkan cara terbaik untuk budidaya lobster.
Baca juga: Menepis Keraguan Budidaya Lobster
”Budidaya lobster di Indonesia masih mengandalkan kerangkeng permukaan. Jadi, tingkat keberhasilannya juga rendah dan keuntungan tidak maksimal. Hal ini berbeda dengan Vietnam yang sudah menerapkan kerangkeng sistem tenggelam sejak 20 tahun yang lalu,” ujarnya.
Meskipun memiliki potensi yang besar, Budiprawira menyayangkan budidaya lobster belum populer di Indonesia. Dia beranggapan, hal ini terjadi karena para nelayan belum mendapatkan cara terbaik untuk budidaya lobster.
”Budidaya lobster di Indonesia masih mengandalkan kerangkeng permukaan. Jadi, tingkat keberhasilannya juga rendah dan keuntungan tidak maksimal. Hal ini berbeda dengan Vietnam yang sudah menerapkan kerangkeng sistem tenggelam sejak 20 tahun yang lalu,” ujarnya.
Penerapan ini membuat Vietnam menjadi negara eksportir lobster terbesar di dunia. Ironisnya, Budiprawira menyebut sebagian besar benih tersebut diduga berasal dari Indonesia.
Padahal, jika potensi benih ini dimanfaatkan untuk budidaya dalam negeri, lobster Indonesia bisa lebih mendunia dan yang tak kalah penting Indonesia bisa mendapatkan keuntungan dengan menjual lobster yang siap konsumsi, bukan benih.
”Walaupun dilarang, masih saja ada yang diselundupkan secara ilegal dan itu hanya menguntungkan segelintir orang. Kalau budidaya dilakukan di Indonesia, yang menikmati hasilnya pasti lebih banyak,” ujarnya.
Baca juga: Ini Enam Lokasi Kampung Perikanan Budidaya KKP, dari Bandeng hingga Lobster
Berdasarkan sejumlah artikel di harian Kompas, penyelundupan benih lobster ini masih marak terjadi. Aparat, misalnya, menggagalkan penyelundupan 130.300 ekor benih bening senilai Rp 13,9 miliar di perairan Upang, Sungai Musi, Palembang, pada 6 Maret 2022.
Berdasarkan catatan Kementerian Kelautan dan Perikanan, penyelundupan benih lobster yang telah digagalkan tim gabungan bersama kepolisian juga Bea dan Cukai mencapai 66 kasus dari Januari hingga 6 Desember 2021. Dari penangkapan tersebut, benih yang disita mencapai 4,75 juta ekor senilai Rp 190,31 miliar. (Kompas, 17 Desember 2021)
Sistem Tenggelam
Miliaran rupiah harta negara ini tidak akan raib jika budidaya lobster bisa dikembangkan dengan baik. General Manager Aquatec Andi Jayaprawira Sunadim menjelaskan, pihaknya terus mengembangkan teknologi budidaya lobster agar mendapatkan hasil terbaik.
Andi menjelaskan, teknologi budidaya dengan KJA submersible yang dikembangkan Aquatec ini bisa ditempatkan di pesisir mana saja. Sebagian konstruksi dan peralatannya menggunakan kerangka stainless steel dan plastik HDPE (high density polyethylene) yang ramah lingkungan.
Andi mencontohkan paket yang dikirim ke Australia. Sistem KJA ini terdiri dari 22 keramba kerangkeng lobster dari ukuran S (kecil), M (menengah), dan L (besar). Ukuran terkecil digunakan untuk mengembangkan benih dan akan dipindahkan seiring bertambahnya ukuran lobster.
”Setiap kerangkeng ini dibenamkan dengan ketinggian tertentu sesuai kebutuhan. Posisi kerangkeng di tengah, tidak di permukaan atau di dasar, ini baik untuk lobster, agar terhindar dari polusi dan kontak lainnya karena benih lobster ini sensitif,” ujarnya.
Baca juga: Aquatec, Pionir Budidaya Lobster di Indonesia
Metode ini, lanjut Andi, telah diuji coba bersama sejumlah pihak. Tidak hanya dari pemerintah melalui Balai Besar Perikanan Budidaya Laut (BBPBL) Lampung, perguruan tinggi seperti Universitas Padjadjaran (Unpad) dan IPB University juga ikut mencoba teknologi tersebut.
Budidaya ini juga tidak merusak lingkungan dan mengganggu kelestarian lobster, karena SR lobster di alam hingga dewasa itu hanya 0,001 persen, sedangkan sisanya dimakan predator atau lainnya. Bandingkan dengan budidaya yang mencapai 60 persen,” papar Andi.
Maksimalkan Potensi
Wakil Dekan I Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unpad Rita Rostika menjelaskan, kerja sama dengan pihak kampus ini dijalin melalui Program Kedaireka Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) pada 2021. Unpad sendiri melakukan uji coba di Kampus Pangandaran dengan hasil yang memuaskan.
Menurut Rita, kerja sama ini mampu memberikan sumbangsih dalam perkembangan budidaya lobster di Indonesia. Apalagi, pengembangan ini bisa menambah komoditas unggulan sektor perikanan Tanah Air.
Baca juga: Pakan pada Budidaya Lobster (Panulirus Spp)
”Saya sangat setuju budidaya benih lobster ini jadi prioritas bagi Indonesia. Secara alamiah, alur benih lobster bergerak dari utara Australia ke selatan Indonesia, termasuk ke lokasi kami di Pangandaran. Ini menjadi alasan Indonesia memiliki potensi lobster yang besar,” ujarnya.
Selain itu, laut terbuka Indonesia yang luas menjadi potensi yang baik untuk budidaya sistem KJA yang dibenamkan tersebut. Menurut Rita, pengembangan teknologi hingga riset akademis yang berujung pada peningkatan produktivitas mampu menarik minat masyarakat untuk melakukan budidaya lobster.
”Saat ini tantangan yang dihadapi sebagian besar dari pesimisme masyarakat karena lobster tidak menguntungkan. Saya yakin, melalui kajian ilmiah dan pengaplikasian teknologi, budidaya lobster bisa sangat menguntungkan. Bahkan, kita bisa mengalahkan negara tetangga yang selama ini diuntungkan dari benih lobster Indonesia,” ujarnya.
Perpaduan riset dan teknologi menjadi pijakan penting untuk pengembangan budidaya lobster di Indonesia. Produksi dan permintaan yang tinggi bisa memicu gairah budidaya, bahkan bisa menyalip negara tetangga dan menjadi produsen lobster budidaya yang berpengaruh di pasar dunia.
—
Artikel ini pertama kali dipublikasikan oleh Kompas.id. Ketepatan informasi dan efektivitas metode budidaya yang terdapat di dalamnya di luar tanggung jawab Minapoli.