• Home
  • Infomina
  • Hasanuddin Atjo: Produksi dan Distribusi Benur Harus Diatur, Deteksi Penyakit Dapat Selamatkan Bisnis Tambak Udang

Hasanuddin Atjo: Produksi dan Distribusi Benur Harus Diatur, Deteksi Penyakit Dapat Selamatkan Bisnis Tambak Udang

| Mon, 03 Feb 2025 - 10:39

Hingga saat ini, penyakit masih enggan meninggalkan tambak udang Indonesia. Dan, "mereka" tidak lagi pilih-pilih tambak. Mulai dari tambak dengan padat tebar rendah (tradisional) hingga padat tebar tinggi (teknologi intensif), semua terserang penyakit.  


Mutu benur dianggap manjadi salah satu penyebab petambak masih sulit terhindar dari penyakit udang. Diperkirakan hampir 60% benur yang beredar saat ini berada pada kondisi yang sudah tidak sehat.




Enam hatchery udang vaname skala besar telah dipantau. Hasilnya memprihatinkan. Sampel benur dari empat hatchery tunjukkan performa yang kurang layak serta terindikasi terinfeksi virus dari kategori sedang hingga berat, seperti White Spot Syndrome Virus (WSSV), Acute Hepatopancreatic Necrosis Disease (AHPND), sampai Enterocytozoon hepatopenaei (EHP).   


Jika hatchery skala besar saja sudah terinfeksi, bagaimana dengan hatchery skala kecil yang fasilitas maupun standar prosedurnya masih dinilai kurang memenuhi syarat produksi benur sehat dan layak diperjualbelikan?


Beberapa "kecelakaan" yang terjadi pada hatchery udang, antara lain benur harus dipanen karena desakan faktor umur dan antrian. Sementara, hasil deteksi laboratorium Polymerase Chain Reaction (PCR) masih belum terbit karena faktor jarak dan keterbatasn laboratorium  dengan akurasi yang tinggi dan terpercaya. 


Dengan mengandalkan hasil stress-test dan pengamatan visual yang mengindikasikan benur sehat, maka benur dipanen dan ditebar di tambak, bahkan ada yang melalui proses nursery.


Hasil deteksi PCR yang terbit belakangan kemudian memberi indikasi bahwa benur tersebut terinfeksi EHP. Petambak yang telah menebar benur tersebut kemudian lebih memperbaiki aspek budidaya seperti kualitas air dan nutrisi dengan harapan bisa menolong keberhasilan budidaya.


Hasil panen menunjukkan bahwa upaya perbaikan tersebut tidak membantu karena terbukti dengan hampir setengah hasil panen udang under size, durasi budidaya lebih dari tiga bulan,  dan penggunaan pakan berlebih. Hasil ini membuktikan udang mengonsumsi pakan tapi sulit bertumbuh. Kasus seperti ini frekuensi kejadiannya cukup tinggi. 


Terdapat kasus budidaya lainnya yang benar-benar melakukan proses deteksi penyakit dini. Sampel post-larvae 3 (lima hari sebelum panen) dikirin ke laboratorium yang terstandarisasi dan tiga hari kemudian hasilnya negatif untuk semua virus. 


Deteksi juga dilakukan secara reguler dan mandiri oleh hatchery yang bersangkutan sebagai bentuk pertanggungjawaban kepada konsumen dan keberlanjutan bisnis benurnya. Hasilnya juga negatif, sehingga tercipta keseimbangan dan keterbukaan informasi.


Benur yang sehat tersebut kemudian dibudidayakan pada dua wilayah yang berbeda. Hasil akhirnya sesuai ekspektasi. Bahkan, pengecekan pada DOC 90 juga masih terindikasi tidak terinfeksi virus, sehingga ada keyakinan untuk produksi size besar. 


Hadirnya virus pada benur yang diproduksi oleh hatchery yang telah berlangsung lama bisa terjadi antara lain melalui tiga mekanisne sebagai berikut:


Induk Terinfeksi

Pertama, terbawa oleh induk udang yang digunakan. Oleh karena itu, meski ada jaminan sertifikat bahwa induk sudah Specific Pathogen Free (SPF) atau bebas virus, proses deteksi masih mutlak dilakukan. Masalahnya, apakah semua hatchery mau berkomitmen untuk  melakukan deteksi ulang?


Pakan Tidak Steril

Kedua, terjangkit melalui pakan induk utamanya pakan alami berupa cacing laut, cumi, dan rajungan. Cacing laut yang diperoleh dari alam menjadi "kambing hitam" atas hadirnya virus pada benur. 


Hasil pengecekan laboratorium menunjukkan bahwa hampir semua cacing laut dari alam terkontaminasi virus. Upaya yang dilakukan oleh hatchery untuk mengurangi resiko virus adalah melalui proses pembilasan dengan air yang steril dan pembekuan untuk menonaktifkan virus. Hal ini tentunya hanya bisa mengurangi risiko. 


Pada saat ini, hanya sebagian kecil hatchery yang memproduksi cacing SPF secara mandiri. Sebagian lagi mengimpor cacing SPF dari beberapa negara, seperti Belanda. Kebutuhan ini tentunya menjadi peluang bisnis baru.




Tata Kelola Hatchery

Ketiga, kualitas tata keloka hatchery juga berpotensi menjadi pintu masuk virus. Tata kelola yang baik mulai infrastruktur, sumber daya manusia, sanitasi, hingga penerapan biosekuriti sangat membantu memproduksi benur yang sehat.


Kompleksitas yang dihadapi oleh petambak udang tentunya perlu dicarikan solusi agar mereka tidak menjadi korban. Petambak udang merupakan motor penggerak utama dalam mendorong ekonomi industri udang pada sektor hulu maupun hilir. 


Berhasilnya produksi udang oleh petambak dapat membuka lapangan kerja pada sektor hilir, hulu, serta budidaya itu sendiri. Keberhasilan tersebut sekaligus mendukung harapan Indonesia Emas 2045. 


Setidaknya terdapat dua rekomendasi berikut yang perlu ditindaklanjuti: 


Penyusunan Alur Produksi & Distribusi

Pertama, asosiasi tambak (Shrimp Club Indonesia, Petambak Muda Indonesia, dan lainnya), asosiasi benur, Asosiasi Pengusaha Pengolahan & Pemasaran Produk Perikanan Indonesia (AP5I), asosiasi perusahaan sarana produksi tambak, serta jasa laboratorium pengujian  penyakit bisa menyusun draf produksi dan distribusi benur sehat serta standar prosedur operasional (SOP) budidaya baku untuk mendukung peningkatan produksi dan ekspor udang.


Pengukuhan Regulasi

Kedua, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), melalui komisi IV bisa menjembatani bersama dengan kementerian teknis antara lain Kementerian Kelautan dan Perikanan serta Badan Karantina agar lahir regulasi yang mendukung produksi benur yang sehat dalam jumlah yang banyak serta SOP budidaya yang baku.


Terakhir, apabila rekomendasi ini mampu direalisasikan, ada keyakinan kuat target produksi udang sebesar 2 juta ton pada era Presiden Jokowi mampu direalisasikan pada era  Presiden Prabowo Subianto. 


Semoga.


Tulisan ini dibuat oleh Hasanuddin Atjo

Artikel lainnya

Terkini 

Tips Cara Olah Ikan Bakar untuk Sambut Tahun Baru Anda

Minapoli

1154 hari lalu

  • verified icon3856
Terkini 

Budidaya Ikan di Dalam Ember Digencarkan PKK-Sudin PKK Jaksel

Minapoli

1700 hari lalu

  • verified icon3347
Terkini 

Model of Cobia Farming in HDPE Round Cage

Minapoli

1346 hari lalu

  • verified icon2691