• Home
  • Infomina
  • Outlook Perikanan 2019 : Memasuki Industri Akuakultur 4.0

Outlook Perikanan 2019 : Memasuki Industri Akuakultur 4.0

| Sat, 30 Mar 2019 - 17:31

Peluang dan tantangan yang dihadapi industri akuakultur, khususnya dalam komoditas udang dan air tawar kedepan serta bagaimana menyikapi berbagai permasalahan yang menghadang

 

Memasuki 2019 ini Outlook Perikanan hadir kembali sebagai ajang mewadahi para stakeholders (pemangku kepentingan) kelautan dan perikanan. Kegiatan yang terselenggara atas kerjasama Gabungan Perusahaan Makanan Ternak (GPMT) dan Majalah TROBOS Aqua bertemakan “Peluang, Tantangan, dan Strategi Menyongsong Industri Akuakultur 4.0”. 

 

Dalam sambutannya,Denny Mulyono, Ketua Divisi Akuakultur GPMT mengungkapkan tentang kondisi perikanan Indonesia. Kemajuan dan perkembangan perikanan, khususnya budidaya, haruslah didukung oleh seluruh stakeholders yang terlibat. “Harus saling mendukung dari hulu ke hilir. Tidak bisa kita bergantung ke perbenihan saja, atau pakan saja misalnya. Tapi kita bicara mengenai apa yang dibutuhkan masyarakat. Sehingga harus ada kepastian dari seluruh pihak terkait, dari hulu hingga hilir,” ucap Denny. 

 

Pada kegiatan kali ini, dalam Outlook Perikanan dihadirkan acara berkonsep talkshow dengan narasumber utama Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya Kementerian Kelautan dan Perikanan (DJPB KKP), Shrimp Club Indonesia (SCI), Asosiasi Pengolahan dan Pemasaran Produk Perikanan (AP5I), Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) yang dirangkum dalam sesi pertama tentang arah kebijakan, peluang, dan tanganan industri budidaya perikanan. Dengan moderator Harris Muhtadi dari GPMT. 

 

Dalam paparan pertama, Hardi Pitoyo, Ketua Harian SCI menjelaskan tentang peluang dan tantangan industri budidaya udang. Secara umum Hardi menuturkan, bisnis udang di Indonesia sangat menjanjikan karena pasar masih terbuka lebar; masih banyak pasar yg belum tergarap, termasuk pasar domestic, harga masih menjanjikan untung, potensi lahan yg masih luas, serta potensi pilihan aneka jenis udang masih tersedia. Namun, patut diperhatikan tantangan yang harus diwaspadai. “Yaitu kendala penyakit, pertumbuhan produksi yang signifikan di negara tetangga sesama pemasok udang, serta harga cenderung turun,” terang Hardi. 

 

Dan masih di sisi budidaya, Arik Hari Wibowo, Direktur Kawasan dan Kesehatan Ikan DJPB menekankan tentang perkembangan budidaya nasional. Arik memaparkan, selama kurun waktu 2015-2018, volume dan nilai produksi perikanan budidaya mengalami peningkatan rata-rata lebih dari 15% per tahunnya. Komoditas yang mengalami peningkatan cukup signifi¬kan diantaranya udang (32,68%), gurami (35,04%), lele (24,66%), kakap (19,26%), dan nila (12,85%). 

 

Dan untuk memajukan sektor budidaya kedepannya, Arik juga menjelaskan strategi pengembangan perikanan budidaya nasional. “Yakni dengan melibatkan tiga aspek utama pembangunan perikanan budidaya, yaitu produktif dari aspek teknologi produksi; ramah lingkungan dari aspek sumber daya alam dan lingkungan; serta menguntungkan secara sosial dan ekonomi dari aspek sosial dan ekonomi untuk mencapai perikanan budidaya yang mandiri, berdaya saing dan berkelanjutan,” ungkap Arik. 

 

 

Sementara dari sisi pengolahan dan pemasaran perikanan, Budhi Wibowo, Ketua Umum AP5I memaparkan tentang peluang dan tantangan produk perikanan di pasar global, khususnya komoditas udang. “Makanya, untuk memanfaatkan peluang serta menekan tantangan produksi udang seperti biaya produksinya, kami mengusulkan agar pemerintah fokus pada pengem¬bangan infrastruktur budidaya terutama listrik, jalan, irigasi (kurangi bantuan yang bersifat langsung, karena tidak efektif dan tidak mendidik); penyederhanaan perijinan yang menghambat budidaya udang; dukungan penelitian untuk mendapatkan benih unggul dan upaya menanggulangi penyakit; serta perlu segera dibuat aturan yang tegas untuk budidaya udang yang berkelanjutan,” jelas Budhi. 

 

Merangkum itu semua, M Rahmat Mulianda, Kepala Sub Direktorat Perikanan, Direktorat Kelautan dan Perikanan Bappenas memaparkan tentang isu strategis yang berkembang di masyarakat terkait pem¬bangunan kelautan dan perikanan. Yaitu, produksi dan produktivitas belum optimal; kesejahteraan pelaku perikanan; tata kelola dan kelembagaan; serta pencemaran dan konservasi laut. Untuk itu, ungkapnya, arah kebijakan dan strategi Bappenas menyangkut isu tersebut adalah peningkatan produksi, produktivitas dan daya saing; revitalisasi kesejahteraan pelaku kelautan dan perikanan; efektivitas tata kelola dan penguatan kelembagaan; serta peningkatan pengelolaan lingkungan laut. 

 

Diskusi pun tak berhenti disitu, sebagai narasumber floor dalam talkshow kali ini, Thomas Darmawan, Ketua Komite Perikanan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) pun memberikan pendapat. Khususnya mengenai peningkatan ekspor udang yang digagas pemerintah. Menurutnya, untuk peningkatan ekspor udang 1 miliar USD, diperlukan tambahan produksi udang vanamei 150.000 ton. “Yaitu berasal dari tambak baru seluas 8.000 – 10.000 hektar (ha), dengan panen rerata 8 ton per siklus yang diperlukan benur sebanyak 15 miliar, pakan udang sebanyak 200.000 ton, serta sarana tambak atau kincir, dan sumber daya manusia (SDM) yang kompeten,” terangnya. 

 

 

Bahasan Budidaya di KJA 

Memasuki sesi kedua dengan tema arah kebijakan dan langkah pengelolaan budidaya di keramba jaring apung (KJA) perairan umum, hadir narasumber dengan berbagai latar belakang. Yakni dari Kementerian Koordinator Kemaritiman (Kemenko Maritim), Pusat Riset Perikanan Badan Riset dan SDM KKP, Masyarakat Akuakultur Indonesia (MAI), serta komunitas pembudidaya Waduk Jatiluhur. Dengan moderator Rully Setya Purnama, CEO Minapoli

 

Dengan topik KJA kali ini, Krismono peneliti senior Pusat Riset Perikanan mengungkap sejarah perkembangan budidaya KJA di Waduk Jatiluhur. “Dimana pada awal-awal pemberdayaan masyarakat sekitar waduk, pengembangan KJA termasuk salah satu cara yang bisa dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar,” terangnya. 

 

Dalam sesi kali ini H Yana Setiawan, Ketua Paguyuban Pembudidaya Ikan KJA Waduk Jatiluhur-Jawa Barat (Jabar) pun memaparkan mengenai peranan budidaya ikan dalam keramba di Jatiluhur; yaitu mendukung usaha peningkatan pembinaan sumber hayati di perairan umum, meningkatkan produksi ikan dan kebutuhan konsumsi ikan, meningkatkan pendapatan para petani ikan, menghindari musim paceklik bagi para nelayan, rekreasi, serta memperluas lapangan kerja dan masyarakat secara umum. “Maka, ada efek multiplier dan sosial di Waduk Jatiluhur; berupa pembenihan (Subang, Purwakarta, Bandung, Cianjur, Sukabumi, Bogor); buruh bongkar muat; buruh transportasi (perahu dan exspedisi); tenaga kerja panen; anak buah kolam (abk); pakan ikan; hingga pemilik warung makan,” terangnya. 

 

Tidak itu saja, juga dipaparkan berbagai isu yang berkembang seputar KJA di danau dan waduk ini. Diungkapkan Tb. Haeru Rahayu, Asdep Pendidikan dan Pelatihan Kemenko Maritim, berdasar data dari berbagai sumber Sungai Citarum sebagai sumber air Waduk Jatiluhur tercemar berat, mulai dari hulu hingga hilir. Yang ditakutkan, kegiatan budidaya KJA di 3 waduk (Jatiluhur, Cirata, Saguling) telah menambah beban pencemaran dan dengan kebijakan pemerintah untuk mengurangi jumlah KJA di danau atau waduk, Haeru menerangkan langkah pengelolaan perairan umum (danau atau waduk) dengan pertimbangan food security vs food safety sehingga harus ada penyiapan alternatif atau alih usaha bagi masyarakat terdampak penataan usaha KJA. 

 

Sementara menurut Rokhmin Dahuri, Ketua Umum MAI, harus ada solusi pengelolaan KJA secara produktif dan berkelanjutan di perairan danau dan waduk. Diantaranya melalui pembatasan produksi ikan budidaya dalam KJA menurut daya dukung lingkungan sesuai perhitungan status trofiknya (oligotrofik/mesotrofik); alokasi kuota produksi untuk KJA secara adil, utamanya untuk masyarakat, misalnya kuota produksi untuk KJA Danau Toba (masyarakat 50 %, swasta 50 %); semua aktivitas budidaya KJA harus ramah lingkungan dan memiliki sertifikat CBIB dari KKP maupun lembaga internasional; serta zonasi lokasi KJA sesuai RTRW perairan yang disepakati oleh semua stakeholders utama. 

 

“Modifikasi KJA ramah lingkungan (smart KJA) juga patut dilakukan agar mampu menampung sisa pakan agar tidak mengendap dan menyebabkan pencemaran perairan. Yakni dengan aplikasi perbaikan kualitas air (filter fisik dan biologis), sisa pakan dapat diangkat ke permukaan hingga 20%, dan bisa memberi keuntungan tambahan seperti adanya pengembangan tanaman kangkung,” ungkap Rokhmin. 

Artikel Asli

 

Artikel lainnya