Fillet, Solusi Piutang Macet dan Oversuplai

| Mon, 30 Mar 2020 - 09:55

Peningkatan pendapatan budidaya patin bisa lima kali lipat menanam padi

 Prinsip penjualan ikan patin atau populernya pangasius (Pangasius hypophthalmus) dalam bentuk fillet tampaknya sudah dilakukan oleh Sirkam Efendi (49 tahun) pembudidaya patin asal Lampung. Warga  Desa Lugusari, Kecamatan Pagelaran, Kabupaten Pringsewu ini sudah menebar 80 hingga 120 ribu ekor bibit patin per bulan dengan produksi 40 hingga 60 ton per bulan. Luas kolam keseluruhan mencapai 5 ha dengan total 50 kolam dan 2 ha di antaranya milik sendiri yang tersebar di 10 lokasi.

Untuk mensuplai pabrik, masa pemeliharaan patin berkisar antara 6-7 bulan untuk menghasilkan patin berukuran 0,8 hingga 1,3 kilogram (kg) per ekor dan dijual dengan harga Rp14 ribu hingga Rp14.500 per kg. Margin keuntungan yang diperolehnya berkisar antara Rp1.500 hingga Rp2 ribu per kg.

Menurut Sirkam, skala ekonomi budidaya patin, minimal dengan menebar 5 ribu ekor bibit untuk bisa menghasilkan pendapatan Rp3 - 4 juta per bulan. Dibandingkan dengan menanam padi, peningkatan pendapatan dari budidaya ikan bisa mencapai lima kali lipat. Hanya perlu modal awal yang besar untuk membuat kolam ikan.  

Pengalaman Sirkam selama ini, untuk kolam 3 ribu meter dengan kedalaman air 1,5 meter ditebar 40 ribu ekor bibit patin. Selama enam bulan kebutuhan pakan mencapai 12 ton. Setelah dipanen pada usia enam bulan dengan SR 70 % maka diperoleh ikan sebanyak 27-28 ton. Dengan harga jual Rp14 ribu per kg dan margin keuntungan Rp2 ribu per kg maka keuntungan bersih sekitar Rp56 juta.

Manajemen Budidaya

Untuk usahanya, bibit patin ukuran 1,5 inci ia beli dari Kota Metro dengan harga Rp160 hingga Rp180 per ekor sudah sampai di tempat. Bibit tersebut ditebar di kolam tanah dengan kepadatan 10 ekor per meter kubik (m3). 

Diakuinya, citarasa daging patin yang dibesarkan di kolam plastik atau terpal lebih baik. Sebagai solusinya, untuk meningkatkan kualitas daging maka Sirkam menggunakan pakan pabrik dari awal budidaya hingga panen.

Kecuali itu, ia tetap bertahan dengan kolam tanah, karena masa budidaya lebih pendek dibandingkan dengan kolam plastik sehingga selisih keuntungan hanya 2-3 %. Sebab SR pada kolam plastik hanya 63 %, sementara pada kolam tanah bisa mencapai 70 %. 

Hanya kelemahnnya pada kolam tanah, sehabis panen perlu menyedot lumpur dengan mesin pompa alkon sehingga masa persiapan budidaya untuk siklus berikutnya minimal seminggu hingga dua minggu, termasuk untuk melakukan pengisian air.

Sementara itu, ia juga menekankan titik kritis budidaya patin terletak pada saat usia dua bulan. Penyakit yang biasanya menyerang berupa bintik merah yang disebabkan bakteri. Pencegahannya dengan aplikasi probiotik ke air dari awal budidaya dengan frekuensi dua  minggu sekali untuk memperbaiki kualitas air.

Lalu pada musim kemarau sering terjadi ikan mati massal karena keracunan amoniak akibat kesulitan air untuk melakukan penggantian dan penambahan air. Kematian massal ini umumnya terjadi pada kepadatan tinggi. Terakhir Sirkan mengalami kasus kematian massal pada 2017. Untuk mencegahnya dibuat sumur bor sehingga tetap bisa melakukan penggantian dan penambahan air pada musim kemarau. 

 

Selengkapnya baca di majalah TROBOS Aqua edisi 94/15 Maret – 14 April 2020


Artikel Asli: Trobos Aqua

 

 

 

Artikel lainnya

Patin 

Tantangan Pengembangan Induk Patin Berkualitas

Trobos Aqua

1408 hari lalu

  • verified icon3389
Patin 

Pelatihan Komunikasi Branding Online untuk UKM Komoditas Patin

Trobos Aqua

1861 hari lalu

  • verified icon2378