FUI Sarankan Sejumlah Langkah agar Peningkatan Nilai Ekspor Udang 250 Persen Tercapai
| Fri, 28 Jan 2022 - 15:28
Berdasarkan data BPS yang diolah oleh KKP, ekspor udang Indonesia tahun 2021 telah mencapai 250.700 ton atau senilai USD2,23 miliar. Jika dibandingkan dengan ekspor udang tahun 2020, memang terdapat kenaikan volume sebesar 4,9 persen dan kenaikan nilai sebesar 8,5 persen. Namun kenaikan tersebut masih lebih rendah jika dibandingkan dengan pertumbuhan ekspor di tahun 2020 yang masing-masing mencapai 14,9 dan 18,6 persen untuk volume dan nilainya. Dengan tren tersebut, Forum Udang Indonesia (FUI) khawatir target peningkatan nilai ekspor hingga 250 persen sulit tercapai.
Seperti diketahui, KKP menargetkan pertumbuhan nilai ekspor udang sebesar 250 persen selama 5 tahun. Yaitu dari USD1,7 miliar pada tahun 2019 menjadi USD4,25 miliar pada tahun 2024. Target tersebut bisa tercapai jika setiap tahun secara konsisten nilai ekspor udang Indonesia tumbuh sebesar 20 persen. Dan dengan memperhitungkan kenaikan harga rata-rata ekspor udang sebesar 5 persen, karena banyaknya ekspor udang value added, maka dibutuhkan pertumbuhan secara volume sebesar 15 persen setiap tahunnya.
Tetapi pada tahun 2021, pertumbuhan ekspor udang hanya naik 5 persen untuk volumenya dan kurang dari 10 persen untuk nilainya. Berkaca dari tren tersebut, maka FUI menyarankan agar ada upaya ekstra dari semua pemangku kepentingan agar laju pertumbuhan bisa kembali seperti pada tahun 2020.
Baca juga: Target Produksi Udang 2024 dan Masalah Dasar Perikanan Budidaya
Ketua Umum FUI Budhi Wibowo mengatakan, hal mendasar yang perlu dilakukan oleh pemerintah adalah memberikan kejelasan perizinan tambak udang yang semula ada 22 jenis menjadi jauh lebih sederhana. Terutama setelah adanya peraturan baru Undang-undang Cipta Kerja (UUCK) dan turunanya. Menurutnya, pemerintah perlu membuat daftar perizinan secara jelas sehingga tidak terjadi multitafsir dalam penerapanya di lapangan, dan dapat menutup peluang bagi oknum-oknum yang ingin mengambil keuntungan dengan mempersulit proses jalannya usaha para petambak.
Selain itu, Budhi juga menyarankan agar pemerintah pusat serius mengembangkan tambak-tambak tradisional menjadi tradisional-plus agar produktivitasnya meningkat. Tambak tradisional sangat potensial untuk dikembangkan karena memiliki luas lahan sekitar 300 ribu hektar.
Sementara saat ini tambak tradisional belum menjadi target utama dalam peningkatan produksi udang. Padahal jika produktivitasnya bisa ditingkatkan dari rata-rata saat ini sebesar 400 kg/ha menjadi 1-2 ton/ha saja, maka produksi nasional akan meningkat secara drastis.
Peningkatan produktivitas tambak tradisional tentu saja bisa dilakukan dengan melakukan perbaikan pada tata cara budidaya, infrastruktur seperti saluran irigasi, serta penerapan teknologi tepat guna yang murah. Oleh karenanya, kata Buhdi, SOP budidaya untuk tambak tradisional plus perlu segera disusun dan dibuat beberapa proyek percontohannya agar bisa ditiru oleh petambak tradisional di seluruh Indonesia.
Baca juga: Urgensi Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) dalam Budidaya Udang
Sementara itu, Sekjen FUI Coco Kokarkin menggarisbawahi pentingnya upaya menanggulangi berbagai penyakit yang selalu menjadi isu serius di tambak udang. Sehingga perlu juga SOP untuk penanggulangan penyakit. Bahkan tidak hanya yang bersifat pengobatan, tapi juga pencegahan seperti dengan adanya sistem peringatan dini (early warning system/EWS) patogen tertentu melalui satelit. Terutama untuk mengantisipasi potensi dan keberadaan populasi bakteri Vibrio dari golong gram negatif seperti yang sudah diterapkan di beberapa negara di AS dan Uni Eropa.
Bahkan dua negara tetangga Indonesia seperti Vietnam dan Thailand sudah menggunakan layanan EWS tersebut. Keduanya menerapkan EWS berbasis citra satelit Copernicus untuk melihat keberadaan Vibrio parahaemolyticus. EWS tersebut telah diterapkan di 80 ribu tambak di Vietnam dan 15 ribu tambak di Thailand. Menurut Coco, sistem seperti ini juga bisa dikembangkan dan diterapkan di Indonesia melalui kerjasama antar lembaga pemerintah seperti KKP, LIPI/BRIN, dan BMKG dengan memanfaatkan fasilitas penginderaan KKP. Pengembangannya juga bisa dengan melibatkan berbagai startup di tanah air.
Selain upaya-upaya tersebut, FUI juga menyarankan perbaikan di berbagai segmen dalam rantai nilai perudangan, seperti peningkatan induk unggul, penerapan sistem nursery, dan pembangunan laboratorium di sentra-sentra produksi. Dengan upaya keras dan sinergi semua pemangku kepentingan, baik pemerintah pusat, pemerintah daerah, akademisi, dan para pelaku usaha dari hulu ke hilir, maka FUI optimis target peningkatan nilai ekspor 250 persen masih bisa dicapai.