Asa dan Nestapa Pembudidaya Ikan Air Tawar

| Wed, 17 Nov 2021 - 17:50

“Jika jumlahnya banyak pasti harganya jatuh, tetapi saat awal musim, barang tentu harganya menjadi mahal”, balas seorang teman dari balik ponsel. Sebut saja teman saya itu sebagai si N. N merupakan seorang anak pemilik tambak ikan air tawar di daerah Turi, Kabupaten Lamongan. Dia menyebutkan bahwa harapan memperoleh untung selama panen raya, tidak jarang berakhir menjadi buntung. Sesuai dengan Hukum Permintaan dan Penawaran, ketika panen tiba, harga ikan air tawar ibarat harus tenggelam hingga ke lapisan dasar lumpur. Mulai dari mujair, tombro (mas), bader (tawes), nila, bahkan bandeng, semua harganya ‘tidak masuk akal’ bagi petambak yang selama berbulan-bulan merawatnya.


“Ikan air tawar itu lebih banyak permasalahannya”, ujar Sugi Surya Galih, Kasi Teknologi Produksi dan Usaha Budidaya, Dinas Perikanan Kabupaten Tangerang. Bukan tanpa alasan, selama ini suplai air tawar untuk tambak berasal dari alam. Padahal banyak sumber air tawar yang sudah tercemar limbah industri nakal. Air tersebut mengandung zat nitrit, nitrat, dan residu logam berat yang membayangi kematian mendadak pada ikan. Selain harga yang menurun saat panen raya, ancaman kondisi lingkungan yang memburuk, semakin mencekik petambak ikan air tawar. Lantas masih adakah harapan untuk budidaya ikan air tawar agar tetap eksis?


Alam Melemah, Petambak Merana

Apabila dibandingkan, konsumsi ikan air tawar masih kalah saing dengan ikan air laut. Hasil riset Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2016 menunjukkan bahwa pola konsumsi ikan air laut segar sebesar 22,10 kg/kapita/tahun, sementara ikan air tawar/payau segar hanya sekitar 16,75 kg/kapita/tahun. Padahal produksi ikan air tawar terus digenjot sebagai alternatif perikanan tangkap. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menargetkan produksi ikan dari budidaya bisa mencapai 19,47 juta ton pada 2021. Sayangnya, dengan modal besar yang lebih banyak dialokasikan untuk pakan (70-80%), hasil yang diperoleh petambak tidaklah sepadan.




Gejolak perubahan alam juga semakin membuat petambak ikan air tawar sengsara. Seperti yang terjadi pada awal tahun 2021 lalu, anak sungai Bengawan Solo meluap dan mengakibatkan banyak tambak terendam di Lamongan dan Gresik. Ikan-ikan banyak yang hanyut terbawa arus banjir dan hanya menyisakan sekitar 10% saja. Belum lagi jika diikuti dengan curah hujan yang tinggi dan pada akhirnya mempengaruhi tingkat keasaman serta kualitas air tambak. Tidak mengherankan jika banyak petambak yang gulung tikar, misalnya sekitar 80% atau 15 orang petambak berhenti melakukan aktivitas budidaya di Kabupaten Tangerang pada kurun waktu tahun 2018. Alih fungsi lahan hijau menjadi pemukiman juga mengkerdilkan kesempatan bagi petambak baru yang akan muncul. 


Harapan Besar Bagi Negara yang Tidak Lagi ‘Agraris’

“Indonesia tidak cocok lagi disebut sebagai negara agraris”, pungkas Bayu Krisnamurthi, Mantan Wakil Menteri Pertanian. Sejak era 1970-an, jumlah produksi sektor agribisnis dan agroindustri terus meningkat. Namun di masa kini, justru sebaliknya, jumlah rasio lahan pertanian dengan areal pemukiman tidak sebanding dan terus menurun. Alhasil, Jokowi melalui programnya, mencanangkan negara kita sebagai Poros Maritim Dunia. Presiden mengamanatkan untuk terus memacu produksi sumber daya kelautan dan perikanan.


Yuk, ikuti juga: Kompetisi LensaMina, Membuka Cakrawala Akuakultur Indonesia


Sayangnya, untuk mencapai target tersebut, masih ada banyak PR yang harus segera dituntaskan. Food and Agriculture Organization (FAO) tahun 2012 menyebutkan bahwa Indonesia masih kalah telak dari Cina dan India dalam produksi perikanan budidaya. Hal ini menyebabkan Indonesia harus berpuas diri menempati posisi rangking ketiga saja di dunia. Termasuk pula ada lagi tantangan untuk mengentaskan masalah kesejahteraan petambak ikan air tawar.


“Masih belum ada asuransi untuk petani tambak, karena program asuransi dari pemerintah pusat hanya untuk petani padi”, ucap Kabid Perikanan Budidaya, Dinas Perikanan Lamongan saat menyampaikan bahwa 6.519 hektar tambak terdampak banjir tahun 2021. Hal ini dapat mengindikasikan bahwa pembudidaya ikan masih dianggap sebagai kelompok masyarakat kelas dua. Padahal sebagai pengusaha yang sangat menggantungkan diri kepada kondisi alam dan cuaca, petambak memiliki penghasilan yang tidak menentu. Dan kepada pembudidaya pula, kita bisa menggantungkan angan agar potensi sumber daya perikanan dapat tergali dengan baik. Sebab, mereka tidak mengeruk ikan yang ada di alam, justru mereka melakukan proses pemulihan lingkungan dari eksploitasi dengan budidaya ikan sendiri.


Oleh karena itu, selain dibekali potensi alam yang luar biasa. Petambak juga harus didukung dengan program-program yang bisa menyelamatkan mereka dari risiko kerugian. Pemberian bantuan modal dan pelatihan, pembangunan infrastruktur memadai, serta informasi pemasaran menjadi segelintir harapan yang mungkin akan bisa diwujudkan dan diterima petambak di masa depan.


Referensi:

Imtihany, N. (2021). Meski banjir, Dinas Perikanan klaim produksi ikan budidaya naik. https://radarbojonegoro.jawapos.com/berita-daerah/lamongan/15/03/2021/meski-banjir-dinas-perikanan-klaim-produksi-ikan-budidaya-naik. 

Suaranusantara.com. (2018). Limbah industri merajalela, petambak ikan makin terancam. https://suaranusantara.com/2018/09/26/limbah-industri-merajalela-petambak-ikan-makin-terancam/. 

---


Penulis: Melynda Dwi Puspita 

Profesi: Alumni Universitas Brawijaya

Artikel lainnya