Budidaya Udang Windu: Belajar dari Ilmu Virus
| Fri, 24 Sep 2021 - 09:24
Virus menjadi trending topic sejak November 2019. Indonesia juga tidak berkuasa untuk tidak menerima virus ini sampai saat ini, April 2020. Untuk mendapat pengetahuan yang cukup tentang topik virus ini saya mencoba untuk membuka buku lama diterbitkan pada tahun 2009. Judul buku ini adalah, “Origin of Group Identity, Viruses, Addiction and Cooperation”. Buku ini ditulis oleh Luis P. Villarreal seorang Professor Emeritus, Department of Molecular Biology and Biochemistry; University of California, Irvine.
Saya menyadari betul bahwa saya belum sanggup membaca keseluruhan buku ini. Saya hanya baca Chapter 1 yang berisi tentang “an overview: Identity from Bacteria to Belief” dan langsung berpindah ke Chapter 6 yang berisi tentang “Group Identity in Aquatic Animals: Learning to Belong” yang di dalam salah satu bagiannya membahas tentang virus di udang dan crustacean lainnya.
Ternyata virus di udang mempunyai identitas dan saling mengenali kesamaan mereka sehingga dapat disebut sebagai suatu identitas kelompok yang bisa bekerjasama secara kelompok. Virus-virus ini juga secara stabil menjajah bakteri yang dapat secara langsung mempengaruhi identitas kelompok inang mereka. Sebagai parasit genetik, virus bergantung pada organisme lain untuk reproduksi mereka. Ketergantungan inilah yang memaksa dan membuat mereka menjadi agen kerja sama.
Beberapa bulan terakhir ini topic virus ini akhirnya “menjangkiti” dunia usaha perikanan budidaya khususnya udang, dan yang terkhusus lagi udang windu. Ada banyak pertanyaan kenapa derajat kelangsungan hidup udang windu kita masih di bawah 25%, padahal budidayanya hanya memakai sistem tradisional dan tradisional plus.
Pembahasan dimulai dari mana asal induk, bagaimana mereka ditangkap di alam, bagaimana perlakuan induk di tempat “baru” mereka, bagaimana komposisi makanannya dan dari mana asalnya, bagaimana jenis makanan alami yang diberikan serta berapa banyak, berapa umur dari post larvae yang pada saat mereka dijual untuk selanjutnya dibawa ke kolam budidaya. Apakah mereka langsung diadaptasikan di kolam budidaya atau digelondongkan lagi di bak-bak sebelum ditebar ke kolam budidaya, dan masih banyak lagi pertanyaan tentang proses sebelum selama proses pemeliharaan.
Yuk, ikuti juga: Kompetisi LensaMina, Membuka Cakrawala Akuakultur Indonesia
Isu-isu di atas ini sebenarnya sudah lama dilaksanakan dan terjawab sejak jaman keemasan udang windu di Indonesia di tahun 1980 - pertengahan tahun 1990-an. Pertanyaannya adalah mengapa pertanyaan ini muncul lagi? Mungkin salah satu jawabannya adalah karena kelompok virus sudah menguasai mulai dari makanan induk di laut, induknya sendiri, makanan alami larvanya sampai mereka dipanen, kelompok virus ini terus “mengikut”. Kemungkinan lainnya adalah “desakan” importir yang mempersyaratkan sertifikasi hasil udang windu dan salah satu indikatornya adalah derajat kelangsungan hidup dari produksi udang windu yang dibudidayakan “harus” di atas 25%.
Buku Prof. Villarreal menjelaskan bahwa virus udang terlihat berkelompok pada inang yang kuat dan mendorong penghancuran inang yang tidak kuat. Sekelompok udang budidaya yang padat, tampaknya sangat rentan terhadap agen virus akut, seperti yang dialami di tambak udang sistem intensif. Hanya saja tidak dijelaskan bagaimana hubungan dari virus yang bertahan ini dengan infeksi oleh virus lain atau pengembangan larva. Juga tidak diketahui banyak apakah kepadatan mempengaruhi hasil virus dalam pengaturan alami.
Udang yang dipelihara secara massal yang sangat rentan terhadap virus, dan ini bisa dijelaskan sebagai resultante dari kepadatan inang. Bagaimana dengan budidaya tradisional atau tradisional plus yang notabene tidak memiliki kepadatan tinggi? Seperti yang dijelaskan oleh Villarreal bahwa bisa jadi kelompok udang yang yang jumlahnya sedikit ini berkelompok pada inang yang kuat. Sekiranya kelompok udang yang padat berkelompok di inang yang tidak kuat maka virus akan lebih mudah mendorong penghancuran inang yang tidak kuat. Dari penjelasan ini jelas sekali bahwa inang dan parasit genetik akut memiliki potensi besar untuk memberikan penentu kelangsungan hidup kelompok khususnya kelompok yang padat populasinya.
Sejatinya kita bisa belajar dari ilmu virus yang memperlihatkan kepada kita bahwa mereka akan berkelompok “menyerang” ketidak seimbangan untuk tidak mengatakan kelompok inang yang tidak kuat. Mereka tidak akan bisa menyerang di kelompok inang yang kuat. Makhluk hidup termasuk udang windu yang tidak terbebani oleh ketidakseimbangan dan menikmati keseimbangan akan sulit diserang. Kelompok makhluk hidup lainnya dikelilingi oleh parasit genetik seperti virus dan ini merupakan “penyeimbang alam” yang sudah diciptakan “satu paket” dengan makhluk-makhluk hidup lainnya.
Cacing-cacing laut di alam yang merupakan salah satu makanan utama induk udang windu sudah terpapar virus sejak di alam, induk udang windu juga terdapat virus di dalam tubuhnya dan seterusnya. Pertanyaannya adalah apakah kita akan berhenti berbudidaya udang windu? Jawaban arifnya adalah “tidak” dengan catatan harus berdamai dengan virus sehingga si virus akan berkelompok di inang yang kuat dan jangan memberi kesempatan berkelompok di inang yang tidak kuat.
Untuk kasus budidaya udang windu, sejatinya yang dimaksud dengan kelompok kuat adalah kelompok yang bisa bertumbuh tanpa adanya stress yang berlebihan sehingga udang windu dan virus di sekitarnya bisa tumbuh bersamaan dengan baik. Pelajaran pandemic Covid19, sejatinya bisa ditarik sebagai suatu pelajaran berharga tentang arti sekelompok virus dan ketidakseimbangan. Pelajaran itu sudah diperlihatkan oleh udang windu.
Penulis: Muhammad Iqbal Djawad
Profesi: Dosen
Instansi: Universitas Hasanuddin