Waspada Penyakit Udang 2019

| Mon, 25 Mar 2019 - 14:31

WSSV menjadi pembunuh utama budidaya udang di Indonesia, sementara di Asia penyebab EMS semakin bertambah.
 
Hingga 2021 Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) berencana menambah devisa US$1 miliar dari ekspor udang. Target itu terancam gagal jika pembudidaya tidak mewaspadai penyakit yang siap menggerogoti si bongkok. Apa saja penyakit udang yang kemungkinan aktif berkeliaran sepanjang tahun ini?
 
Penyakit Terkini
Menurut Dr. Heny Budi Utari, M. Kes, Head of Animal Health Service PT Central Proteina Prima, Tbk. penyakit utama yang kerap merugikan pembudidaya udang di Asia dan Indo Pasifik terdiri dari virus, bakteri, parasit, dan penyakit noninfeksi. Penyakit yang disebabkan virus ialah White Spot Syndrome Virus (WSSV), Infectious Myonecrosis Virus (IMNV), Infectious Hypodermal and Hematopoietic Necrosis Virus (IHHNV), Taura Syndrome Virus (TSV), dan Shrimp Hemocyte Iridescent Virus (SIHV). “SIHV merupakan penyakit baru, hanya ada di China. Di Indonesia tidak ada,” ujarnya.
 
Bakteri mendatangkan Early Mortality Syndrome (EMS)/Acute Hepatopancreatic Necrosis Disease (AHPND) yang sekarang menjadi masalah terbesar di Asia dan penyakit yang disebabkan Vibrio sp. Parasit yang mengganggu udang berupa Microsporidia dan Haplosporodia. Microsporidia mengakibatkan Enterocytozoon Hepatopenaei (EHP) atau Hepatopancreatic Microsporidiasis (HPM) dan White Feces Disease (WFD). Sedangkan penyakit noninfeksi misalnya insang hitam, toksik plankton, dan kram otot yang masih banyak terlihat di beberapa lokasi budidaya. 
 
Penyakit paling penting sekarang yang menyerang si bongkok, kata Heny, adalah IMNV atau yang akrab disebut myo, WSSV, EHP, WFD, dan EMS atau AHPND. “Myo menjadi kendala buat kita. Bahkan, ada supplier Indonesia yang ditolak ekspor di luar negeri karena myo. Kebetulan diuji dan myo-nya positif,” ulasnya pada acara Outlook Penyakit Ikan dan Udang 2019. 
 
Myo dan WSSV berjalan sesuai pergerakan musim. Musim kemarau didominasi myo, sedangkan musim penghujan gantian WSSV yang mendominasi. EHP dan WFD juga masih muncul. Bahkan setelah 2016, persentasenya mengalami kenaikan seiring penambahan padat tebar dan sulitnya membuang bahan organik. “Seiring ada EHP, WFD pasti naik karena ini hampir ada korelasinya,” ucapnya. 
 
Selain pengaruh lingkungan, menurut Prof. Dr. Slamet Budi Prayitno, M.Sc., WSSV, IMNV, EHP merupakan penyakit endemik yang mengancam produksi udang 2019. Tahun ini, Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Diponegoro, Semarang, itu, menjelaskan, pola penyakit udang belum bergeser dari WSSV, WFD, IMNV, dan HPM/EHP. “Di tambak, AHPND ancaman serius karena sudah tiga tahun ini kita punya WFD. Selain itu masih ada WSSV, myo, dan HPM. Pesan saya, harus ada kepedulian bersama,” ia mewanti-wanti mengingat Thailand dan Vietnam terkena AHDNP selepas berturut-turut diserang WFD. 
 
Perubahan Penyakit 
Penyakit WSSV, ungkap Heny, trennya menjadi pembunuh utama udang budidaya. Apalagi, sekarang penyakit ini pintar berkamuflase. “Kalau dulu WSSV kelihatan ada bercak atau spot putih, sekarang tidak dengan spot putih tapi kemerahan. Kematiannya hanya berlangsung 2-3 hari. Bahkan kalau dilihat, sangat progresif. Kematiannya cukup banyak,” ulas dia.
 
Penanganannya perlu hati-hati. Segera kubur udang yang mati akibat WSSV. Yang paling utama adalah menjaga biosekuriti, misalnya memperhatikan jangka waktu panen dengan penebaran. Atau, memasang perangkap untuk mencegah masuknya hewan liar, seperti udang kecil, kepiting. cacing, dan burung ke dalam kolam yang bisa menularkan penyakit. 
 
Eliminasi hewan carrier (pembawa penyakit) itu dengan saringan dan disinfeksi. “Carrier ada beberapa macam. Jentik nyamuk, telur ikan juga positif. Penting memasang saringan 200 mikron karena telur ikan dan kepiting rata-rata berukuran 50-500 mikron. Ini yang saya lihat masih banyak diabaikan petambak,” kritik Heny. 
 
Sementara, IMNV memperlihatkan ciri insang menghitam, otot putih, dan ekor kemerahan. “Sekarang ekor kemerahan ini susah dicari, rata-rata putih aja semuanya,” timpalnya. Mula-mula myo ada di Situbondo, Jatim, lalu menulari Lampung, Bali, Lombok, dan lainnya. Yang terbaru, ‘Myo rasa WS’ banyak terjadi di Lampung, Banyuwangi dan Situbondo (Jatim), Bali, Jawa Barat bagian Selatan, dan Bengkulu. Penyakit ini akibat tiga infeksi, yaitu bakteri vibrio, EHP, dan IMNV. 

Sumber : Agrina

Artikel lainnya

Udang 

Feed Additive, Seberapa Perlu?

Info Akuakultur

1838 hari lalu

  • verified icon6416