• Home
  • Infomina
  • Tes Genetika, Cara Baru Penelitian Keragaman Hayati Laut Indonesia

Tes Genetika, Cara Baru Penelitian Keragaman Hayati Laut Indonesia

| Wed, 08 Jul 2020 - 10:40

Keragaman hayati Indonesia kini bisa diteliti dengan data masif. Sekelompok peneliti melakukan percobaan meneliti keragaman genetik di lima titik penyelaman populer di nusantara dan menggunakan model yang bisa memproses data besar.

Hal ini didiskusikan dalam Oceanogen Talk 01 Live bertajuk Next Generation Sequencing (NGS) and Big Data for Marine Biodiversity Research in Indonesia, Challenges and Opportunities pada Senin (15/6/2020). Ni Kadek Dita Cahyani, peneliti perempuan dari Bali yang sedang menyelesaikan riset Phd di Ecology and Evolutionary Biology Department UCLA Amerika Serikat dan pegiat di Yayasan Bionesia memaparkan generasi terbaru sekuensing data masif ini.

Dimoderatori oleh Hawis Madduppa yang memperkenalkan fasilitas laboratoriumnya Oceanogen, yang membawa semangat The Genetic Code of Innovation. “Fasilitas kami sudah bisa identifikasi cepat, buat database keanekaragaman hayati untuk pengelolaan berkelanjutan,” ujar Hawis. Lembaga ini melakukan digitalisasi sampel, melayani berbagai pelayanan DNA, melakukan DNA barcoding, identifikasi makanan, seafood, daging, buah, identifikasi bakteri, melayani industri jenis-jenis makanan, dan lainnya. Misalnya dalam satu kaleng makanan, apa saja genetiknya sehingga bisa melakukan identifikasi secara rigid.

Salah satunya Next Generation Sequencing (NGS). Pihaknya juga mengadakan pelatihan dan internship bagi peneliti. Pelatihan terakhir tentang DNA barcoding. Ini adalah metode mengidentifikasi sesuatu atau spesies dengan gen yang spesifik. “Laboratorium sudah makin maju meneliti genetik,” sebut Hawis.

Baca juga: A Pioneering Perspective on Shrimp Genetics

 

Meneliti keragaman genetik di lima lokasi penyelaman populer dengan ARMS. Foto : repro Dita Cahyani

 

Sementara Dita Cahyani memaparkan makin banyak penelitian genetika kelautan di dunia. Karena itu, peneliti Indonesia harus aktif berperan serta. Misalnya untuk penamaan spesies, filogenetik atau pohon kekerabatan, DNA barcoding, dan meneliti konektivitas genetik yang kini banyak digunakan di bidang konservasi dan industri akuakultur. Akuakultur adalah budidaya ikan hias dengan tujuan mengurangi penangkapan di alam.

Salah satu risetnya adalah mengidentifikasi genetik di kedalaman bawah laut Raja Ampat dan Teluk Cendrawasih di Papua, Pulau Weh-Aceh, Kepulauan Seribu, dan Teluk Pemuteran-Bali.

Autonomous Reef Monitoring Structure (ARMS), sebuah plat PVC dengan 9 tingkat ditenggelamkan di kedalaman sekitar 10 meter pada 2013 oleh sejumlah peneliti dari berbagai institusi dan universitas di Indonesia. Struktur ini dipasang 90 buah di kelima titik lokasi penyelaman itu, dan yang bisa diambil kembali sekitar 80 buah pada 2016. “Ada yang sudah dibuka oleh seseorang, dan dibuang kembali jadi rusak,” ujar Dita saat dikonfirmasi kembali lewat telepon.

Penggunaan struktur materi PVC untuk pengambilan sampel dinilai cukup efektif karena bisa dipakai beberapa kali. Tinggal membersihkan sampel dan ditaruh lagi. Sampel yang melekat di permukaan ARMS ini dikerik, lalu diblender, untuk tes genetiknya. Sampel dianggap mewakili semua organisme yang hidup di titik perairan tersebut.

Data yang bisa diolah dengan NGS sangat masif atau istilahnya big data. Bisa jutaan sekuens DNA yang diteliti. Hasil penelitian organisme, ada sejumlah ikan unidentified atau tak teridentifikasi dengan bank sampel yang ada. Artinya, keberagamannya bagus. “Di Raja Ampat paling banyak unidentified, ada keragaman biodivesitas karena tidak terdeteksi di database sebagai taksonomi, karena tak ada pembanding,” paparnya. Intinya, dengan NGS, sampling bisa jauh lebih banyak dan lebih cepat dalam asesmen. Sementara bisa disimpulkan, di Raja Ampat, keragaman karang lebih banyak dan menyediakan berbagai habitat organisme yang cukup kaya.

Salah satu hipotesis yang diuji, Aceh tidak termasuk dalam kawasan coral triangle, yang dikenal memiliki keragaman laut yang tinggi. Teori lain adalah referensi hubungan arus laut dan juga keragaman habitat.

Baca juga: How Genetics is Leveling The Aquaculture Playing Field

 

Struktur PVC ini mengandung sampel genetik berbeda sesuai lokasi, yang terkaya adalah struktur sampel di Raja Ampat, Papua. Foto : Dita Cahyani

 

Metode penelitian ini juga bisa melihat pola secara molekuler, apakah berbeda di tiap lokasi? “Mikrobia tak memiliki kelompok genetik yang spesifik di tiap lokasi, di mana-mana ada. Metazoa, hewan bersel banyak keragamannya beda-beda di Indonesia,” lanjutnya. Misalnya ikan yang jenisnya sama, genetiknya beda. Jika diteliti, walau jenisnya sama, namun tiap lokasi genetiknya beda-beda.

Secara ekologis, manfaat penelitian keragaman genetik ini adalah untuk preservasi sumber plasma nutfah tiap daerah. “Kita perlu tahu punya apa saja. Screening invasive spesies bisa dilakukan dengan data seperti ini,” jelas Dita. Tantangannya, perlu makin banyak database untuk komparasi. Misal untuk jenis invasif, berapa banyak yang invasif dan yang masih ada di Indonesia.

Manfaatnya juga di bidang farmakologi, makin tertarik dengan sumber-sumber genetik baru dan mencari perbedaannya di tiap lokasi. Misalnya sponge mana yang genetiknya bagus, bolehkah diambil? Dita menyebut ini yang perlu diatur, pemanfaatannya oleh pemerintah seperti KKP dan LIPI, menilai spesies apakah endemik atau tidak. Database ini menurutnya wajib bisa diakses peneliti. Sebagai baseline riset.

Menurutnya banyak yang masih merasa bahwa database itu sebaiknya jangan dibuka untuk umum, karena takut dengan pencurian data, dan lainnya. Padahal database secara umum diperlukan untuk bisa diakses lebih banyak kalangan, dan ini adalah tanggung jawab peneliti untuk bisa menyediakan data penelitian secara terbuka untuk kepentingan orang banyak. Dita mengatakan, jika riset ini selesai, akan diserahkan ke LIPI.

Ketersediaan laboratorium juga penting. Sementara, untuk Indonesia, lokasi terdekat fasilitas sekuensing dengan data masif sebelumnya hanya di Singapura. Syukurnya kini sudah bisa di Indonesia seperti Oseonogen itu. Laboratorium milik Eijkman, menurut Dita, juga mampu namun saat ini sedang fokus di penelitian COVID-19.

Baca juga: Why Genetics is Key to The Evolution of Aquaculture

 

Struktur PVC ini mengandung sampel genetik berbeda sesuai lokasi, yang terkaya adalah struktur sampel di Raja Ampat, Papua. Foto : Dita Cahyani

 

Identifikasi Spesies

Secara sederhana, Dita menjelaskan, model ini bisa mengurai susunan DNA dari individu dengan teknik molekuler untuk membedakan spesiesnya. Sebagai contoh, kini banyak penjualan sirip hiu, pemerintah susah mengidentifikasi apakah berasal dari spesies dilindungi atau tidak. Kalau dari visual atau morfologi mungkin bisa diidentifikasi seperti ciri black tip, dan lainnya.

Namun akan menyulitkan jika sudah tak bisa dilihat fisiknya. Karena itu diperkenalkan identifikasi molekuler. Identifikasi molekuler juga bisa dimanfaatkan untuk kasus mamalia terdampar. Walau sejumlah dokter hewan sudah ahli membedakan morfologi, tapi jika menemukan yang sudah membusuk, maka pengujian molekuler bisa membantu menjawab.

Untuk bidang konservasi, penelitian ini bisa menentukan lokasi marine protected area, dan konektivitas satu populasi dengan lainnya. Di mana area pemijahan, lokasi larva menyebar, dan lainnya untuk menentukan zona perlindungannya.

Dita menjelaskan, umumnya jenis riset seperti ini memakai pendekatan standar sekuensing. Cara membaca urutan DNA. Pada dasarnya membaca satu gen yang diperbanyak dari satu individu. Hasilnya adalah satu gen dan satu urutan basa dari satu individu. Keuntungan cara ini murah dan cenderung sederhana. Karena itu paling banyak digunakan di Indonesia.

Namun saat ini perkembangan genome sekuensing sangat ketat, tak hanya pada manusia juga organisme lain seperti hewan dan tumbuhan. Alat dan reagen makin murah, dan caranya bergeser dari sekuensing jadi next generation. “Ini pembacaan DNA yang baru, lebih masif dan cepat dibanding sekuensing generasi sebelumnya. Bisa lebih banyak gen dari satu individu atau gen sama dari banyak individu,” papar Dita.

Baca juga: Blue Genes: How Genome Research Can Boost Global Aquaculture

Implementasi NGS ini misalnya di environmental DNA (eDNA), sebuah metode mengambil sampel dari lingkungan tanpa terlihat organismenya di sana. Misalnya ketika ambil dari air, saat itu ada ikan yang lewat dan selnya keluar, ini bisa diidentifikasi. Bisa dipisahkan genetiknya.

Jika dulu mengambil sampel satu individu satu gen. Sekarang bisa ambil dari satu komunitas, untuk mendapat banyak spesies dan bisa diidentifikasi berdasar gen yang ditarget. “Laboratorium kita bisa mengerjakan, kita udah siap dengan metode ini,” imbuhnya.

Jika tidak bisa menganalisis, Dita menyebut cukup dengan memberikan ekstraksi DNA ke fasilitas sekuensing. Bagian paling menantang menurutnya adalah pengalaman menggunakan bioinformatic pipeline, mengidentifikasi data yang besar dan rumit dengan computer based analysis. Tipsnya harus disiplin mengikuti alur analisis, mencatat data dengan teliti dan simpan raw data jika sewaktu-waktu diperlukan untuk analisis ulang.

Bioinformatic Pipeline ini bekerja dengan empat proses besar, pertama menarik raw dana, clean-up, misal hapus barcode tertentu atau sekuens dengan kualitas buruk. Kedua, mengelompokkan sekuens yang sama dari ribuan sekuens. Proses ketiga, melihat taksonominya, dan proses keempat, visualisasi data untuk memudahkan pembaca memahami hasil penelitian“Banyak data genetik Indonesia belum ada di bank data sehingga banyak ditemukan unidentified,” keluh Dita. Harapannya, penelitian genetik terus berkembang di Indonesia, sehingga semakin banyak data genetik yang tersedia di bank data.

Pengelolaan data di Indonesia dengan server bagus sangat bermanfaat agar peneliti bisa menganalisis data mandiri dan tak tergantung partner di luar negeri.

 

Potensi wisata bawah laut Kabupaten Berau. Foto: WWF-Indonesia/Cipto A Gunawan

 

Dita juga pernah meneliti untuk tesisnya dari mana saja penyu yang makan di kawasan ruaya Berau, Kalimantan Timur. Hasilnya, berdasarkan data genetik, penyu yang makan di daerah Berau berasal dari sejumlah pesisir yang menjadi lokasi peneluran . “Penyu cenderung kembali ke lokasi bertelur, sehingga dengan melihat apakah seekor penyu memiliki genetik yang spesifik berdasarkan daerah peneluran, kita bisa memperkirakan asal dari penyu yang sedang makan di Berau, asumsi itu diuji,” sebutnya.

Akhirnya simpulan diperkuat, Berau adalah daerah pakan bagi penyu-penyu dari berbagai daerah peneluran di sekitar laut Sulu Sulawesi, termasuk Malaysia dan Filipina. Penyu adalah satwa lintas negara, karena itu konservasinya tak bisa satu negara saja. Metode ini diturunkan ke adik kelasnya, mahasiswa S2 FKH Unud mengaplikasikan penelusuran genetik ini untuk identifikasi penyu yang diselundupkan di Bali.

 

Sumber: Mongabay.co.id


Tentang Minapoli

Minapoli merupakan marketplace++ akuakultur no. 1 di Indonesia dan juga sebagai platform jaringan informasi dan bisnis perikanan budidaya terintegrasi, sehingga pembudidaya dapat menemukan seluruh kebutuhan budidaya disini. Platform ini hadir untuk berkontribusi dan menjadi salah satu solusi dalam perkembangan industri perikanan budidaya. Bentuk dukungan Minapoli untuk industri akuakultur adalah dengan menghadirkan tiga fitur utama yang dapat digunakan oleh seluruh pelaku budidaya yaitu Pasarmina, Infomina, dan Eventmina. 

Artikel lainnya

Teknologi 

Land-based Aquaculture Promises More Sustainable Seafood

Minapoli

1106 hari lalu

  • verified icon2080
Teknologi 

Reeldata Enters Prestigious Accelerator Program

Minapoli

1922 hari lalu

  • verified icon2273
Teknologi 

Lighting in Aquaculture Facilities

Minapoli

1382 hari lalu

  • verified icon3547