Pengembangan Tambak Udang Vaname Manfaatkan Satelit Amerika
| Wed, 21 Apr 2021 - 09:56
Udang Vaname menjadi salah satu komoditas ekspor yang terus meningkat setiap tahunnya dari Indonesia. Sentuhan teknologi diyakini mampu meningkatkan hasil panen udang Vaname melalui pemantauan air dan lokasi yang tepat.
Selama ini dalam pembudidayaan udang Vaname dibutuhkan perhatian khusus, terutama kualitas air tambak. Para petani tambak udang Vaname melakukan pengukuran kualitas air tambak menggunakan teknik pengukuran parameter kualitas air secara konvensional.
Andi Hamim Zaidan, M.Si, Ph.D, bersama tim Lembaga Ilmu Hayati Teknik dan Rekayasa (LIHTR) Universitas Airlangga mengembangkan teknik baru pengukuran kualitas air manfaatkan teknologi hiperspektral untuk budidaya tambak udang Vaname yang bekerja sama dengan PT. Surya Windu Kartika dari Banyuwangi.
“Kami menawarkan solusi yang lebih praktis dan jauh lebih mudah, murah, dan juga lebih baik. Sehingga nanti, para petani tambak bisa melakukan praktis budidaya udang vanamei lebih baik. Teknologi ini diharapkan dapat meningkatkan kuantitas dan kualitas hasil panen persiklusnya,” kata Zaidan, Jumat (16/4/21).
Baca juga: KKP Ciptakan Inovasi Kincir Air Tambak Hemat Energi Berbahan Baku Lokal & Ramah Lingkungan
Ia melanjutkan, dalam pengembangan teknologinya, selain membuat sistem hiperspektral juga memanfaatkan satelit milik Amerika dan Eropa, yakni LANDSAT dan SENTINEL. Satelit-satelit tersebut digunakan sebagai surveillance untuk melihat kondisi tambak dan sekitarnya.
Bahkan, data perairan seluruh Indonesia 10 tahun terakhir telah dipetakan dan dianalisis. Data tersebut digunakan untuk mengetahui area perairan mana yang berpotensi untuk dikembangkan sebagai tambak udang vanname.
“Sehingga nanti kalau ada pengusaha untuk berminat membuka tambak baru, kita bisa memberikan data strategis lokasi-lokasi mana di Indonesia yang bisa dibuka untuk tambak udang vanamei,” jelas dosen Fisika itu.
Zaidan mengungkapkan, dalam riset tersebut dikembangkan teknologi big data dan artificial intelligence. Sehingga data baik dari satelit maupun sistem hiperspektral yang dikembangkan dapat diolah dan bisa didapatkan data-data strategis sesuai dengan kebutuhan.
Baca juga: Sistem Resirkulasi Air, Investasi Keberhasilan Budidaya Anda
Dalam pengolahan data, untuk mendapatkan parameter-parameter yang dibutuhkan dipilih kombinasi panjang gelombang dari satelit dan sistem hiperspektral yang dikembangkan. Kemudian dibuat satu algoritma untuk mendapatkan parameter-parameter yang dibutuhkan. Seperti distribusi dan kuantitas fitoplankton, potensi penyakit, dan nutrien baik yang ada di tambak maupun di perairan sekitar tambak.
Untuk mengetahui akurasi teknologi baru ini, informasi yang didapat dibandingkan dengan pengukuran di lapangan. Dari riset yang dilakukan, didapatkan hasil yang sangat baik.
Salah satu kelemahan surveillance dengan satelit adalah panjang gelombang yang tersedia terbatas, selain itu resolusinya kurang baik. Dengan begitu, tim LIHTR juga sedang mengembangkan teknologi yang dapat menangkap dari 300 hingga 315 panjang gelombang dengan resolusi yang baik.
Baca juga: Aplikasi Teknologi Ini untuk Genjot Produktivitas Perikanan Budi Daya
“Tapi memang kalau device kita sendiri memang terbatas. Artinya tidak bisa seperti satelit yang bisa meng-cover seluruh dunia. Jadi memang biasanya dipakai di tambak-tambak untuk melakukan surveillance kualitas air,” katanya. Baca juga: Pelaku Usaha Keluhkan Pasokan Udang Minim, Ini Kata Menteri Trenggono
Dalam jangka panjang, teknologi hiperspektral nantinya akan dicoba dalam bidang medis sebagai alat diagnostik. “Selain untuk pertanian dan budidaya perairan, kami akan manfaatkan untuk aplikasi kesehatan nantinya,” jelasnya
Sumber: SINDOnews.com