Patuhi Aturan Food Safety
| Fri, 25 Feb 2022 - 14:09
AMR menjadi perhatian serius karena menimbulkan efek bola salju bagi manusia, hewan, dan lingkungan.
Masalah keamanan pangan (food safety) mendapat perhatian besar dalam produksi udang. Food safety, menurut SNI 8228.1:2015, adalah upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia. Jadi, food safety menargetkan aman untuk dikonsumsi manusia. Bagaimana penerapannya di tambak udang Indonesia?
Manajemen Obat dan Bahan Kimia
Prof. Dr. Ir. Sukenda, MSc, Dosen FPIK IPB University membuat beberapa catatan penting terkait food safety pada produksi udang. “Dalam kegiatan keseharian kita di tambak, tidak ada obat atau bahan kimia yang dilarang atau berbahaya di area tambak, di udang, bahkan di penerapannya tidak boleh. Acuan kita Permen KP No. 1 Tahun 2019,” jelasnya saat webinar SOP Budidaya Udang Vaname yang Produktif dan Berkelanjutan (20/1).
Lalu, bahan kimia atau obat-obatan yang digunakan harus disimpan dengan benar. Catatan ketiga, agen terapeutik hanya untuk mengobati penyakit yang sudah terdiagnosis dan bukan buat pencegahan. “Artinya, kita harus pastikan betul apa penyebab penyakitnya ketika terjadi outbreak (wabah). Apakah viral disease, bacterial disease, atau fungal disease, dan sebagainya. Sehingga, kita mengambil tindakan terapi yang tepat untuk mengobati penyakit tersebut,” urainya. Terakhir, pencatatan bahan kimia atau obat-obatan untuk keterlacakan produk.
Baca juga: Mengintip Budi Daya Udang Vaname Ramah Lingkungan, Bagaimana Caranya?
Menurut doktor lulusan Universitas Tokyo, Jepang itu, food safety berikatan pula dengan lama waktu henti obat (withdrawal period) dan batas maksimum residu (Maximum Residue Limits, MRLs). Setiap obat memiliki withdrawal period dan MRLs yang spesifik. Withdrawal period mengacu pada waktu penggunaan terakhir obat pada udang dan waktu panennya atau konsumsi pertama oleh manusia. Withdrawal period umumnya ditetapkan oleh pemerintah.
Yang penting lagi, batas maksimum residu obat atau turunannya di tubuh udang yang masih diperkenankan untuk dikonsumsi manusia. “Setiap negara memberikan batasan MRLs yang mungkin berbeda, ada yang 0 atau sekian ppm bahkan sekian ppb. Intinya ketika kita menggunakan obat-obatan atau antibiotik, maka pertimbangkan withdrawal period dan MRLs karena ini sangat berdampak sekali, terutama MRLs ketika nanti terdeteksi levelnya melebihi ambang batas yang diperbolehkan oleh tujuan ekspor produk kita,” bedahnya.
Titik Kritis
Sukenda mengungkap beberapa titik kritis penggunaan obat untuk udang di lapangan. Pertama, antibiotik nitrofuran dan kloramfenikol secara proaktif dilarang digunakan dalam produksi makanan di semua negara. “Jadi berhati-hatilah, jangan coba-coba menggunakan antibiotik itu,” ia mengingatkan. Kedua, bahan kimia dan obat lainnya seperti malachite green, logam berat, pestisida, dan antibiotik ada yang diperbolehkan atau dilarang di beberapa negara.
Baca juga: Riset BRDSM: Tanaman Herbal Jadi Solusi Obat Aman untuk Budidaya Ikan
Isu yang menghangat dalam penggunaan obat adalah resistensi antimikroba (antimicrobial resistance, AMR). AMR menjadi perhatian serius bagi kesehatan manusia dan hewan. “Kita kadang memberikan sumbangan pada AMR. Bisa terjadi karena kita memberikan obat-obatan antibiotik ikan ataupun udang melebihi rasional dosis yang ditetapkan oleh label produk,” kata praktisi tambak udang itu.
Karena dosis antibiotik berlebih, populasi bakteri di tubuh udang yang awalnya didominasi bakteri baik dan sedikit bakteri resisten antibiotik, menjadi mati. Tapi, ada pula bakteri yang masih hidup dan tumbuh lantas berkembang dan mendominasi tubuh udang.
Yang paling persoalan lagi, urainya, “Bakteri yang sudah resisten ini bisa mentransfer ketahanan terhadap obat-obatan ke bakteri lain yang menyebabkan problemnya menjadi lebih luas lagi. Sehingga, berhati-hatilah dalam menggunakan obat ini. Lakukanlah tindakan proaktif dibandingkan terapeutik.”
Sumber: Agrina