Manajemen Budidaya Ikan Lele di Pedesaan Skala Kecil Bisa Panen Cuan Fantastis Setiap Bulan
| Sun, 07 Nov 2021 - 16:37
Ikan sejuta umat, ya, nama itu cocok disandang oleh si hitam berkumis yaitu ikan lele. Siapa yang tidak tahu ikan lele, hampir semua kalangan tau kelezatan dari ikan ini. Ikan ini sangat laku di pasaran baik di kalangan menengah ke bawah maupun menengah ke atas. Meski begitu ada beberapa orang yang tidak menyukainya, karena identik dengan tempat hidup ikan yang kotor. Namun saat ini ikan lele sudah banyak dibudidayakan di tempat yang layak dari mulai di kolam tanah hingga di kolam dengan sistem bioflok.
Konsumsi ikan lele oleh masyarakat di pedesaan cukup tinggi, pasalnya harga ikan ini sangat merakyat berkisar diangka Rp 20.000-an/kg. Hal ini seharusnya menjadi keuntungan besar bagi pembudidaya ikan lele di pedesaan. Namun kenyataanya banyak dari mereka yang gulung tikar, ini disebabkan karena dalam sekali produksi jumlah populasinya sangat banyak. Akibatnya mereka terpaksa menjual ke pengepul dengan harga rendah di angka Rp 14.000an/kg. Padahal jika bisa menjual ikan lele ke end user langsung potensi keuntungan yang diperoleh sangat tinggi.
Sehingga perlu adanya manajemen budidaya ikan lele yang baik agar produksinya dapat diserap langsung oleh end user di pedesaan. Salah satu cara manajemennya dengan menerapkan “Model Budidaya Continue”. Model ini menatur pola penebaran bibit ikan secara terjadwal dengan jumlah populasi yang disesuaikan berdasarkan jumlah serapan produk oleh pasar. Model ini sangat cocok dikombinasikan dengan kolam sistem bioflok karena akan meningkatkan efisiensi dan efektifitas budidaya ikan lele yang dilakukan.
Menggunakan kolam dengan sistem bioflok yang diimbangi dengan Model Budidaya Continue dirasa mampu meningkatkan pengahasilan pembudidaya ikan lele di pedesaan. Menggunakan skema satu kali panen setiap bulan dengan pangsa pasar 150-200 konsumen maka cukup dengan tiga unit kolam berdiameter 1,5 m dan tinggi 1 m, masing-masing populasi kolam 1.000 ekor. Hal ini mengacu pada usia panen ikan lele dalam waktu 3 bulan. Jumlah kolam dan populasi disesuaikan dengan kebutuhan pasar di lokasi tempat tinggal masing-masing.
Pada kasus di atas model budidaya dapat disiasati dengan penebaran bibit dilakukan setiap bulan, diakhir bulan ke-3 kolam I akan panen dan bisa diisi kembali untuk bulan ke-4. Akhir bulan ke-4 kolam II akan penen dan bisa diisi kembali untuk bulan ke-5. Pada akhir bulan ke-5 kolam III akan penen dan bisa diisi kembali untuk bulan ke-6. Siklus ini dilakukan secara terus menerus dengan tetap memperhatikan kondisi kolam yang baik. Jika permintaan pasar lebih banyak makan dapat mengaturnya panen dua kali sebulan dengan menambah jumlah kolam menjadi 6 unit.
Yuk, ikuti juga: Kompetisi LensaMina, Membuka Cakrawala Akuakultur Indonesia
Melihat dari aspek bisnisnya pola diatas dapat dijadikan sebagai usaha sampingan di pedesaan yang menjanjikan. Harga kolam dengan ukuran diameter 1,5 m dan tinggi 1 m berkisar diangka Rp 1.500.000. Biaya variabel (bibit, pakan, alat dan obat-obatan) yang diperlukan untuk satu kolam dengan populasi 1.000 ekor sebesar Rp 1.250.000 per siklus.
Potensi panen yang diperoleh pada satu kolam mencapai 200 kg. Jika harga per kg ikan lele Rp 17.000, maka pendapatan yang diperoleh dari satu kolam sebesar Rp 3.400.000. Sehingga keuntungan perbulan dari satu kolam adalah sebesar Rp 2.150.000.
Ini adalah peluang bagi para pembudidaya ikan lele pun untuk para pemula yang tertarik usaha sampingan yang potensi cuan yang fantastis setiap bulan. Budidaya ikan lele dengan kolam bioflok yang menerapkan Metode Budidaya Continue mampu memperoleh keuntungan hingga 58% dari modal usaha. Usaha ini mampu memberikan dampak kesejahteraan yang baik bagi masyarakat karena dapat memutus rantai distribusi yaitu tengkulak. Dengan seperti diatas maka pembudidaya ikan lele akan memperoleh harga jual yang tinggi dan konsumen akan memperoleh harga yang rendah dari harga pasaran pada umumnya. Mari sama-sama sejahterakan kehidupan masyarakat di pedesaan dimulai dari diri sendiri.
Hidup di Desa, Penghasilan Kota.
---
Penulis: Rois Abdillah
Profesi: Mahasiswa
Instansi: Universitas Lampung