Kupas Tahapan Teknis Pembesaran Lele
| Mon, 30 May 2022 - 10:19
Terapkan standar baku cara pembenihan dan pembesaran yang baik dan benar, guna optimalkan peluang panen budidaya lele
Ada beragam alasan mengapa budidaya lele hingga saat ini masih banyak dilakukan oleh masyarakat Indonesia. Salah satunya karena permintaan pasar akan lele yang terus tumbuh dari waktu ke waktu. Budidaya lele sendiri dimulai dari segmen pembenihan, pendederan hingga pembesaran. Masing-masing segmennya memiliki kelebihan yang menjadi daya tarik tersendiri.
Seperti di segmen pembesaran lele, menurut Susilo Hartoko, seorang Pengusaha Budidaya Lele di daerah Jatinangor, Bandung kalau dilihat dari aspek ekonomi, segmen ini perputaran uang terjadi lebih cepat jika dibandingkan dengan segmen pembenihan lele. Peluangnya pun lebih besar di segmen pembesaran sehingga mempermudah dalam pemasarannya.
Sementara itu, kata Susilo, pada segmen pembenihan, diperlukan ada nya proses grading (seleksi) beberapa kali untuk mendapatkan benih yang berkualitas. Sementara itu, di segmen pembesaran hanya membutuhkan 2 - 3 kali grading di 1 siklusnya.
Baca juga: Kunci Sukses Budidaya Lele Puluhan Tahun
Kelebihan lainnya lanjut Susilo, yaitu risiko terhadap faktor-faktor alam seperti serangan bakteri dan jamur akan lebih rentan menyerang segmen pembenihan ketimbang ikan-ikan yang sudah berada di segmen pembesaran. Kemudian, jika dipersentasekan, seorang pembudidaya yang bergerak di segmen pembesaran lele mampu meraup keuntungan mencapai 30 % dari biaya produksi yang dihabiskan.
“Misalnya, biaya produksi yang dihabiskan sebesar Rp 7 juta, maka keuntungan yang diperoleh sekitar Rp 2,1 juta. Angka tersebut terjadi pada budidaya yang menggunakan full pellet dengan FCR (Food Conversion Ratio) 0,9 – 1,1 dan nilai sintasan yang normal (90 – 95 %). Dengan harga jual ke pedagang pasar seharga 21 rb per kg-nya,” jelas Susilo kepada TROBOS Aqua.
Budidaya Pembesaran
Dalam kegiatan pembesaran, benih salah satu kunci kesuksesan budidaya. Susilo yang juga bergerak di segmen pembenihan dan pendederan, mengatakan, selama ini ia menggunakan benih hasil produksinya sendiri untuk segmen pembesaran lelenya.
“Benih-benih yang saya gunakan untuk pembesaran merupakan hasil dari pemijahan di farm sendiri. Nantinya benih tersebut juga akan saya kirimkan ke kemitraan saya. Dan yang perlu diketahui, benih yang diproduksi telah sesuai dengan Standar Operasional Prosedur (SOP) dan Cara Pembenihan Ikan yang Baik (CPIB),” terang Susilo pria yang telah membudidayakan lele sejak 2004.
Baca juga: Lele Bersih, Profit Tak Berhenti
Selain benih yang berkualitas, pembesaran lele harus didukung dengan langkah budidaya yang benar dan sesuai Cara Budidaya Ikan yang Baik (CBIB). Pada umumnya, sebelum ditebar, benih harus diaklimatisasi terlebih dahulu. Lantaran benih yang Susilo gunakan merupakan dari lokasi yang sama, maka proses aklimatisasi ia lewatkan.
Susilo menjelaskan, pada prinsipnya semua pasti melakukan aklimatisasi. Sehubungan ikan tersebut berasal dari satu tempat yang sama dan hanya berpindah wadah, maka ia tidak melakukan aklimatisasi lagi. Kecuali benih yang gunakan hasil kiriman dari daerah lain, maka tentu perlu dilakukannya aklimatisasi secara benar jika ingin memperoleh panen yang maksimal.
Benih yang digunakan untuk pembesaran adalah benih-benih yang berukuran 5 - 7 centimeter (cm), 6 - 8 cm, dan 7 – 9 cm. Ukuran benih akan disesuaikan dengan padat tebar yang digunakan. Sementara itu, padat tebar akan disesuaikan dengan sistem budidaya apa yang diterapkan di lokasi tersebut.
Dikarenakan di farm milik Susilo menggunakan sistem bioflok asli hasil kreasinya sendiri, maka padat tebarnya pun ia sesuaikan sendiri. Berdasarkan pengalamannya selama bertahun-tahun di budidaya lele, apabila menggunakan wadah budidaya berdiameter 3 m dengan tinggi air 70 - 90 cm dan menggunakan benih berukuran 5 – 7 cm maka titik padat tebar maksimalnya yaitu di 5 ribu ekor.
Baca juga: Cara Panen Lele yang Dibudidayakan dengan Bioflok
Di wadah yang sama, apabila menggunakan benih berukuran 6 – 8 cm maka kepadatan maksimalnya yaitu 4 ribu ekor. Sementara itu, jika menggunakan benih berukuran 7 – 9 cm maka padat tebar maksimalnya yaitu sebanyak 3 ribu ekor benih.
“Beragam ukuran benih yang digunakan sebagai awalan kegiatan pembesaran akan mempengaruhi lama waktu pemeliharaan yang dibutuhkan. Waktu panen antar ukuran akan selisih 2 sampai 3 minggu,” terang Susilo.
Ia pun melanjutkan penjelasannya, apabila menggunakan benih 5 – 7 cm biasanya dari awal tebar hingga panen membutuhkan waktu selama 3,5 bulan. Benih yang ditebar berukuran 6 – 8 cm dapat dipanen 3,2 bulan kemudian. Sementara jika yang ditebar benih berukuran 7 – 9 cm maka pembudidaya membutuhkan waktu 2,5 bulan untuk ikan dapat panen.
—
Artikel ini pertama kali dipublikasikan oleh TROBOS Aqua. Ketepatan informasi dan efektivitas metode budidaya yang terdapat di dalamnya di luar tanggung jawab Minapoli.