Ikan Nila, Sumber Pangan dan Gizi untuk Pencegahan Stunting
| Thu, 11 Jun 2020 - 10:47
Hambatan pertumbuhan tubuh atau stunting pada anak biasanya terjadi karena masalah kurang gizi yang kronis dan diakibatkan kurangnya asupan gizi dalam waktu yang cukup lama. Kondisi itu membuat pertumbuhan pada anak menjadi terganggu, di Nusa Tenggara Timur, angka stunting masih menjadi yang tertinggi di Indonesia dengan mencapai 43,8 persen. Fakta tersebut menegaskan bahwa NTT menjadi salah satu provinsi yang kesulitan mengakses sumber pangan bergizi dengan mudah dan murah. Untuk mengatasinya, Pemerintah Indonesia melaksanakan budi daya perikanan dengan teknologi sistem bioflok untuk ikan Nila di NTT. Program tersebut diharapkan bisa memecahkan persoalan kurangnya pasokan ikan dengan harga yang murah.
Selain Nila, pemenuhan kebutuhan gizi untuk masyarakat juga bisa didapat dari Lele Mutiara. Ikan yang dikembangkan dari hasil riset Badan Riset Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan (BRSDM KP), diketahui memiliki banyak keunggulan dibandingkan lele biasa. Konsumsi ikan oleh masyarakat secara rutin, diyakini tak hanya akan memenuhi kebutuhan pangan dengan harga yang murah saja. Dengan mengonsumsi ikan, kebutuhan gizi yang dibutuhkan oleh anak-anak yang sedang mengalami masa pertumbuhan, juga akan bisa terpenuhi dengan baik. Dari ikan pula, hambatan pertumbuhan tubuh atau stunting akan bisa dihilangkan di seluruh Indonesia.
Direktur Jenderal Perikanan Budi daya Kementerian Kelautan dan Perikanan Slamet Soebjakto menjelaskan, dari data Badan Pusat Statistik (BPS) yang dirilis pada 2019, angka penderita stunting di Indonesia terus mengalami penurunan hingga 27,7 persen. Namun, untuk angka per provinsi, Nusa Tenggara Timur (NTT) tercatat menjadi yang tertinggi dengan 43,8 persen. Atas pertimbangan tersebut, Pemerintah Indonesia kemudian memutuskan dilakukan pengembangan budi daya ikan nila (Oreochromis niloticus) dengan menggunakan teknologi bioflok yang terkenal ramah lingkungan dan efisien penggunaan air. Dengan teknologi tersebut, kebutuhan produksi akan bisa dicapai dan harga ikan juga bisa tetap terjangkau untuk masyarakat.
“Dengan dikembangkan budi daya Nila dengan sistem bioflok di NTT, itu menjadi tepat karena bisa menjadi solusi untuk memenuhi kebutuhan gizi masyarakat sekitar,” jelas dia belum lama ini di Jakarta.
Menurut dia, penerapan teknologi bioflok pada budi daya nila yang dilakukan di NTT menjadi langkah nyata dari Pemerintah untuk meningkatkan produksi ikan air tawar secara nasional. Terlebih, karena provinsi tersebut sampai sekarang masih sangat memerlukan pengembangan potensi perikanan budi daya. Slamet mengatakan, membangun kawasan Indonesia Timur, termasuk NTT dalam rencana perikanan budi daya nasional, adalah salah satu kebutuhan yang penting untuk sekarang. Apalagi, daerah-daerah di Indonesia timur sampai sekarang masih banyak yang belum melek terhadap penggunaan teknologi yang bisa mempercepat proses budi daya perikanan.
“Potensi sumber daya alam yang tinggi di kawasan Indonesia bagian timur harus dapat kita manfaatkan dengan menciptakan alternatif usaha berbasis inovasi teknologi budi daya,” tutur dia.
Bagi Slamet, penggunaan teknologi budi daya ikan sistem bioflok yang diperkenalkan kepada masyarakat NTT diharapkan akan mampu meningkatkan nilai sumber daya alam yang ada. Dengan bioflok juga, diharapkan bisa memicu ruang pemberdayaan masyarakat yang lebih luas, dan akan menumbuhkan ekonomi masyarakat lokal. Melalui penggunaan teknologi seperti bioflok, aktivitas budi daya perikanan yang ada di Indonesia timur, khususnya di NTT bisa mendorong semakin banyak produksi ikan yang bisa dilakukan sepanjang tahun. Dari situ, diharapkan produksi ikan bisa menjadi sumber pangan bagi masyarakat untuk memenuhi kebutuhan gizi.
Sumber Gizi
Slamet menyebutkan, produk nila saat ini sudah menjadi sumber gizi yang cukup digemari di masyarakat. Untuk itu, teknologi bioflok pada budi daya perikanan, khususnya untuk nila akan terus didorong di berbagai daerah sebagai solusi untuk memenuhi kebutuhan gizi masyarakat.
“Dengan semakin banyak anak Indonesia mengkonsumsi ikan, diharapkan akan lahir generasi baru yang tumbuh sehat, bergizi baik dan bebas dari stunting,” tegas dia.
Hingga sekarang, komoditas yang paling banyak menggunakan bioflok, adalah lele (Clarias) dan nila. Khusus untuk nila, Slamet menyebutkan bahwa penggunaan bioflok bisa meningkatkan kelulushidupan (survival rate/SR) komoditas tersebut hingga mencapai 90 persen saat berada di dalam tambak. Keunggulan lainnya, adalah tingkat penggunaan pakan menjadi semakin efisien, dan nilai feed conversion ratio (FCR) atau perbandingan antara berat pakan dengan berat total (biomass) ikan dalam satu siklus periode budi daya juga semakin rendah menjadi 1,05.
“Angka tersebut menunjukkan, jika pembudi daya ingin menghasilkan ikan nila sebanyak 1 kilogram, maka dibutuhkan pakan sebanyak 1,05 kg,” papar dia.
Teknologi bioflok pada budi daya ikan nila juga terbukti meningkatkan kepadatan dalam kolam. Jika menggunakan sistem konvensional, kepadatan maksimal hanya 10 ekor ikan nila/meter kubik, maka dengan menggunakan bioflok kepadatan menjadi 100 ekor/meter kubik. Menurut Slamet, keberhasilan yang sudah dicapai tersebut, semakin menguatkan bahwa pengembangan budi daya nila dengan sistem bioflok menjadi salah satu terobosan untuk meningkatkan produksi nila secara nasional. Teknologi tersebut diyakini bisa meningkatkan pendapatan pembudi daya secara signifikan dan tetap mengutamakan prinsip keberlanjutan.
“Penerapan teknologi ini terbukti efektif dan efisien dalam penggunaan sumber daya air dan lahan serta adaptif terhadap perubahan iklim,” tuturnya.
Sementara, untuk budi daya nila dengan sistem bioflok mulai dilaksanakan di NTT di Seminari Pius XII Kisol, Kecamatan Kota Komba, Kabupaten Manggarai Timur, pada 2019. Kurang dari setahun, budi daya nila di daerah tersebut sukses memproduksi sampai 100 kilogram dan ditarengkan bisa terus meningkat produksinya. Penanggung jawab Seminari Pius XII Kisol Marsel Zosimus Erot mengatakan, sebelum mengenal sistem bioflok, budi daya ikan air tawar seperti nila yang dilakukan di Seminari Pius XII harus memerlukan penggunaan bak air permanen. Selain itu, tanpa bioflok, budi daya harus dilaksanakan pada lokasi yang memiliki saluran irigasi yang baik.
“Tetapi dengan sistem bioflok ini, penggunaan air bisa efisien, namun produktivitas juga bisa meningkat berkali lipat. Keunggulan sistem bioflok yang minim penggunaan air ini sangat cocok untuk diterapkan di sini,” jelas dia.
Dengan produksi yang banyak dan biaya lebih murah, Marsel meyakini kalau konsumsi ikan masyarakat akan semakin baik lagi. Sehingga, tujuan untuk membebaskan masyarakat NTT dari stunting diyakini akan bisa tercapai di kemudian hari.
lustrasi. Dirjen Perikanan Budi daya KKP Slamet Soebijakto (tiga dari kiri) melihat penggunaan teknologi bioflok pada budi daya ikan nila di Kabupaten Sukabumi, Jabar. Foto : Ditjen Perikanan Budidaya KKP/Mongabay Indonesia
Lele Mutiara
Selain nila, upaya untuk memenuhi kebutuhan pangan dan gizi masyarakat dari ikan, juga dilakukan Pemerintah dengan mendorong produksi lele di banyak daerah. Salah satu contohnya, adalah di Kabupaten Subang, Provinsi Jawa Barat yang melaksanakan produksi budi daya perikanan lele mutiara di Pondok Pesantren Minhajut Thalibin. Untuk melaksanakan produksi, KKP mendistribusikan sebanyak 6.000 benih lele mutiara ke lembaga pendidikan tersebut. Selain itu, KKP juga menyiapkan sarana penunjang untuk proses produksi seperti kolam dengan adopsi bioflok dan juga pakan ikan.
Pendistribusian lele mutiara, dilakukan oleh Badan Riset Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan (BRSDM KP) dengan bersinergi bersama Balai Riset Pemuliaan Ikan (BRPI) Subang. Lele mutiara diharapkan bisa menjadi produk perikanan yang dikonsumsi para penguni pondok pesantren dan sekaligus sebagai sumber gizi yang bermanfat untuk meningkatkan daya tahan tubuh.
BRSDM KP KKP bersama BRPI Subang mendistribusikan sebanyak 6.000 benih lele mutiara ke Pondok Pesantren Minhajut Thalibin, Subang, Jabar. KKP juga membantu budi daya lele tersebut dengan sistem bioflok. Foto : KKP
Kepala
BRSDM KP Sjarief Widjaja mengatakan lele mutiara adalah komoditas hasil riset
berbasis produktivitas unggul yang dilakukan oleh BRSDM KP. Penamaan mutiara
merujuk pada akronim “mutu tinggi tiada tiara” yang menjelaskan bahwa Lele
hasil riset tersebut bernilai ekonomi dan kualitas yang tinggi.
“Kita berharap, budi daya bioflok bisa menjadi sebuah nilai tambah bagi Ponpes dalam mengembangkan kewirausahaan serta memenuhi kebutuhan sumber protein,” ucap dia, dua pekan lalu.
Keunggulan dari lele mutiara, di antaranya adalah memiliki laju pertumbuhan yang tinggi dan lama pemeliharaan yang singkat. Kemudian, juga memiliki keseragaman ukuran yang relatif tinggi, daya tahan terhadap penyakit relatif tinggi, toleransi lingkungan relatif tinggi, dan produktivitas yang relatif tinggi. Semua spesifikasi keunggulan tersebut diungkapkan Kepala BRPI Joni Haryadi dengan rinci. Menurut dia, dengan karakteristik yang unggula, lele mutiara perlu untuk disebarluaskan penggunaannya kepada masyarakat dan pelaku usaha budi daya lele yang ada di seluruh Indonesia.
“Diharapan itu bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat pembudi daya dan masyarakat pelaku ekonomi ikan lele,” tambah dia
Sumber: Mongabay