• Home
  • Infomina
  • Hasanuddin Atjo Jelaskan Pentingnya Nursery Udang

Hasanuddin Atjo Jelaskan Pentingnya Nursery Udang

| Mon, 26 Sep 2022 - 09:31

AQUAINDONESIA, Jakarta -Selama ini proses pendederan benur hingga pembesaran udang banyak dilakukan sekaligus di tambak. Namun, akhir-akhir ini mulai berkembang teknologi baru sebelum benur masuk ke dalam fase pembesaran (grow out) di tambak yang dikenal dengan istilah nursery.


Hal tersebut dibahas pada webinar BincangUdang #4 yang diselenggarakan oleh Forum Komunikasi Pembenih Udang Indonesia (FKPUI) dan Forum Udang Indonesia (FUI) bersama Minapoli bertemakan “Nursery Udang: Strategi Tingkatkan Kuantitas dan Frekuensi Produksi,” melalui Zoom, Jumat (23/9).


Hasanuddin Atjo selaku Ketua Shrimp Club Indonesia wilayah Sulawesi yang merupakan narasumber acara tersebut, menjelaskan bahwa beberapa negara seperti Ekuador, Thailand, dan Vietnam telah menggunakan konsep budidaya two step yakni dari hatchery ke nursery lalu ke shrimp pond. Bahkan di Ekuador sudah jauh lebih baju sampai dua step di nursery.


Simak Berita Berikut: Peran Genetik dalam Mendukung Peningkatan Produksi Udang Nasional


Terkait dengan inovasi two step yang sudah dijalankan, nursery berperan sangat signifkan dalam meningkatkan produksi udang miliknya. Nursery yang diterapkan menggunakan indoor system. Berdasarkan data yang dimiliki, tampak perbedaan cukup mencolok antara hasil budidaya menggunakan one step dan two step.


“Untuk yang menggunakan nursery (two step), hasilnya berkisar antara 121-145 ton/ha/siklus. Sementara yang one step (tanpa nursery) hasilnya 71-100 ton/ha/siklus. Saya menggunakan nursery dengan luas 17×17 meter dengan kedalaman 2 meter, sedangkan untuk grow out menggunakan tambak seluas 1.000 meter persegi dengan kedalaman 3 meter,” jelasnya.


Dalam menjalankan inovasi nursery, Hasanuddin Atjo berujar bahwa ada tiga poin dalam menunjang keberhasilannya yakni induk harus berkualitas, manajemen pakan, dan lingkungan nursery. Menurutnya, benur yang akan ditebar adalah hasil dari hatchery yang menerapkan prinsip benih berkualitas dan ber-SPF (Spesific Pathogen Free). Selain itu harus tahu karakteristik daripada benur itu sendiri.


“Kita harus tahu benur itu memiliki karakter yang seperti apa, apakah yang pertumbuhannya cepat, punya karakter tahan terhadap penyakit atau yang toleran terhadap lingkungan ekstrem. Informasi ini perlu terbuka sehingga kita tahu persis apa yang harus dilakukan di nursery dengan kondisi karakter benur tersebut,” imbuhnya.


Baca Juga: Dorong Keberlanjutan Produksi Udang Nasional dengan Mengoptimalkan Zonasi


Poin selanjutnya yakni kualitas dan jenis pakan yang digunakan juga penting untuk diperhatikan. Berdasarkan pengalamannya, untuk satu juta benur, 3 hari pertama diberikan artemia dengan dosis 1 kaleng 454 gram. Pakan buatan berkadar protein 40-50% dengan water stability tinggi. Dosis pakan buatan 3-6 ppm untuk 1 minggu pertama. Setelah itu menyesuaikan 10-12% dari perkiraan biomass.


“Untuk frekuensi pemberiannya, artemia dan pakan buatan diberikan 4 kali sehari. Setelah itu untuk hari ke-4 tanpa artemia, hanya diberi pakan buatan 8 kali sehari. Lebih bagus lagi mengunakan auto feeder di nursery,” kata Hasanuddin Atjo.


Poin yang terakhir yakni skenario lingkungan. Saat ini banyak nursery di masyarakat yang kondisinya sangat memprihatinkan, bahkan dengan kondisi seperti itu bisa-bisa malah terkena penyakit. Oleh karena itu, kesimpulan nursery yang tidak bermanfaat ada alasannya karena standardisasi di nursery yang tidak betul.


“Saya berharap SCI, FUI, FKPUI untuk bersama-sama mencoba membuat sebuah percontohan nursery yang terstandar sehingga bisa bermanfaat bagi masyarakat dan pelaku usaha. Bagaimana membuat nursery yang bisa bersaing di lapangan,” pungkasnya.

 

Artikel ini pertama kali dipublikasikan oleh Aqua Indonesia. Ketepatan informasi dan efektivitas metode budidaya yang terdapat di dalamnya di luar tanggung jawab Minapoli.

Artikel lainnya