• Home
  • Infomina
  • Dorong Keberlanjutan Produksi Udang Nasional dengan Mengoptimalkan Zonasi

Dorong Keberlanjutan Produksi Udang Nasional dengan Mengoptimalkan Zonasi

| Fri, 13 May 2022 - 17:40

Isu penyakit masih menjadi tantangan utama dalam budidaya udang di Indonesia. Isu ini menjadi salah satu faktor pembatas dalam meningkatkan produksi udang nasional. Menurut Ketua Umum Forum Udang Indonesia (FUI) Budhi Wibowo, tidak adanya informasi yang jelas mengenai zonasi pertambakan berdasarkan kesehatan lingkungannya turut mempercepat penyebaran penyakit udang. 


Hal tersebut ia sampaikan dalam sambutannya pada serial webinar BincangUdang yang ke-3, Kamis (13/5). Webinar hasil kerjasama FUI, FKPUI (Forum Komunikasi Pembenih Udang Indonesia), dan Minapoli pada kali ini mengangkat tema “Optimalisasi Zonasi untuk Tambak Udang Berkelanjutan”.


Selain menyoal peta penyebaran penyakit, dalam kaitannya dengan zonasi, Budhi juga menekankan pentingnya mengatur area tambak agar tidak mengganggu ekosistem sumber daya alam sekitar, terutama mangrove. Menurutnya, saat ini konversi mangrove untuk tambak menjadi salah satu isu paling disorot oleh para aktivis global di bidang lingkungan. Sehingga menurutnya, keberadaan mangrove perlu diatur dalam zonasi agar pertambakan Indonesia lebih berkelanjutan dan memiliki citra positif di pasar global.


Hal tersebut diamini oleh Prof Bambang Widigdo sebagai salah satu pembicara pada webinar tersebut. Menurut akademisi sekaligus praktisi ini, tambak udang harus ramah bagi lingkungan dan juga bagi sosial. Sebab poin ini menjadi salah satu tuntutan konsumen global terhadap produk budidaya, selain kualitas, keamanan pangan, ketelusuran, dan jejak karbon. Pertambakan yang ramah lingkungan dan sosial ini dapat diakomodasi dalam peraturan zonasi.


Baca juga: FUI Sarankan Sejumlah Langkah agar Peningkatan Nilai Ekspor Udang 250 Persen Tercapai


Empat Komponen Zonasi Tambak

Secara umum, zonasi dapat diartikan sebagai tata letak atau ruang di suatu area yang mengakomodir berbagai aktivitas yang tidak saling merugikan dengan tujuan untuk mengoptimalkan area tersebut. 



Webinar BincangUdang #3 diikuti oleh lebih dari 500 peserta dari berbagai kalangan di industri perudangan


Dalam industri udang, zonasi juga dapat diterjemahkan menjadi pengelolaan daerah-daerah produksi berdasarkan segmentasinya, mulai dari broodstock center, hatchery, hingga pertambakannya. Sebab masing-masing segmen tersebut membutuhkan lokasi dengan kriteria yang berbeda-beda.


Sedangkan secara spesifik pada area pertambakan, Prof Bambang Widigdo menyebut bahwa zonasi tambak dapat menjadi bagian dari biosecurity dan idealnya memiliki empat komponen utama. Antara lain greenbelt, reservoir, modul/klaster tambak, dan IPAL (instalasi pengolahan air limbah). Keempatnya penting untuk keberlanjutan budidaya.


Konsep zonasi ini, kata Bambang, menjadi tantangan besar untuk diaplikasikan di tambak-tambak tradisional. Sebab tambak tradisional mendominasi luas pertambakan di Indonesia hingga 80 persen. Selain itu, karakter tata letak yang tidak teratur dan dimiliki oleh beberapa petambak membuat pembuatan reservoir dan IPAL menjadi sulit. 


Baca juga: Budidaya Tradisional-plus sebagai Jalan Pintas Peningkatan Produksi Udang Nasional


Namun ia menyarankan agar di tambak-tambak tradisional, para petambak yang menggunakan sumber perairan yang sama dalam suatu area pertambakan dapat saling komunikasi dan bekerja sama untuk membangun reservoir dan IPAL secara bersama. Tentunya hal ini perlu diinisiasi dengan percontohan yang baik. “Bagaimanapun harus memberi contoh klasterisasi dalam satu kawasan seperti ini” ujar Bambang.


Tiga Zonasi Penyebaran Penyakit

Sementara itu,  Koordinator Hama dan Penyakit Ikan, Dit. Kawasan dan Kesehatan Ikan DJPB-KKP, Christina Retna Handayani dalam presentasinya memaparkan bahwa ada 3 zonasi pertambakan di Indonesia berdasarkan kondisi penyebaran penyakitnya. Zona hijau untuk area tambak dengan penyebaran penyakit yang rendah, zona merah untuk area dengan penyebaran penyakit yang tinggi, dan zona kuning untuk area dengan kondisi antara keduanya.


Menurut Retna, tinggi rendahnya status penyebaran penyakit ini ditentukan oleh tingkat kematian udang karena penyakit tersebut. Untuk area dengan kasus penyakit yang ringan atau zona hijau ditandai dengan tingkat kematian udang di bawah 30 persen, sementara untuk kasus sedang atau zona kuning ditandai dengan tingkat kematian 30 - 60 persen. Dan untuk kasus yang tinggi atau zona merah, tingkat kematiannya di atas 60 persen. Parameter ini mengacu pada organisasi dunia untuk kesehatan hewan OIE (Office International des Epizooties).


Baca juga: Langkah Penetrasi Digital di Perudangan


Petambak senior yang juga menjabat Ketua Harian Shrimp Club Indonesia (SCI), Hardi Pitoyo, mengatakan bahwa data zonasi yang disajikan oleh KKP tersebut alangkah baiknya jika dilengkapi dengan data parameter kualitas air di perairan umum sekitar tambak, dari tahun ke tahun. Menurut Pitoyo, seri data parameter kualitas air tersebut akan memberikan gambaran korelasi penyebaran penyakit dengan kondisi lingkungan sekitar tambak. Sehingga jika data-data tersebut menjadi sebuah pola, petambak bisa menggunakannya sebagai acuan dalam berbudidaya. 


Menurutnya, alam dalam hal ini perairan laut dapat memberikan ecological feedback untuk tambak berdasarkan apa yang dibuang dari tambak ke laut. Jika pertambakan membuang sisa bahan organik budidaya ke laut tanpa diolah, perairan akan mengakumulasinya dan dalam jangka waktu tertentu akan memberikan timbal balik yang negatif untuk tambak. Sehingga menurutnya, IPAL menjadi salah satu strategi untuk memperlambat akumulasi bahan organik di laut dan menekan efek negatifnya untuk tambak. 


Asisten Deputi Pengembangan Perikanan Budidaya Kemenko Kemaritiman dan Investasi, Mohamad Rahmat Mulianda secara tidak langsung mendukung usul tersebut. Dalam keynote speechnya ia mengatakan bahwa pemetaan zonasi kawasan dan sistem surveillance perlu dibuat berbasis digital, dengan melibatkan peran pemda, penyuluh lapangan, dan tentu saja para pelaku usaha. 


“Pembuatan zonasi ini diarahkan dengan cakupan yang tidak berdimensi makro saja,” usul Rahmat yang juga berperan sebagai Ketua Tim Pelaksana Pokjanas Peningkatan Produksi Industri Udang Nasional ini. 


Saksikan webinar BincangUdang #3 selengkapnya di sini


Artikel lainnya