Penyakit Udang Masih Jadi Persoalan: Pentingnya Standarisasi Hatchery, Laboratorium Penyakit, dan SOP Budidaya
| Thu, 02 Jan 2025 - 15:27
Udang merupakan salah satu komoditas unggulan sektor kelautan dan perikanan (KP), karena menyumbang hampir 40 persen dari devisa ekspor perikanan dan bisa menyerap tenaga kerja hingga jutaan jiwa, apabila potensi dimaksimalkan
Pada tahun 2023, devisa dari “si bongkok” adalah sekitar 2,2 miliar USD dari total devisa ekspor hasil perikanan Indonesia (5,6 miliar USD) dengan volume ekspor hampir 250.000 ton, dari total produksi udang hasil budidaya mendekati angka 500.000 ton.
Kinerja komoditas ini dalam lima tahun terakhir cenderung tidak bergerak, mengalami stagnasi. Padahal, udang menjadi salah satu prioritas dan major project kabinet Indonesia bersatu pada tahun 2019-2024.
Bahkan, telah dibuat proyeksi maupun strategi peningkatan produksi sebesar 250% pada akhir tahun 2024, menjadi 2 juta ton. Namun, keinginan itu masih jauh dari harapan, harus dievaluasi dan membutuhkan kerja keras lagi.
Harapan itu sebaiknya diteruskan oleh Kabinet Merah Putih tahun 2024-2029 melalui Asta Cita, terutama Asta ketiga (Pengembangan Infrastruktur), keempat (Sumber Daya Manusia, Sains, dan Teknologi), kelima (Hilirisasi-Industrialisasi), serta kedelapan (Menjaga Lingkungan).
Penyakit udang seperti White Spot Syndrome Virus (WSSV), Taura Syndrome Virus (TSV), Acute Hepatopancreatic Necrosis Disease (APHND) dan Enterocytozoon hepatopenaei (EHP) telah menjadi penyebab utama, sehingga peningkatan produksi sulit direalisasikan.
Ekuador, negara dengan iklim tropis sama dengan Indonesia, pada saat ini menjadi produsen udang terbesar dunia. Posisi yang kemudian diikuti oleh Cina, India, Vietnam, lalu Indonesia, serta Thailand.
Pada tahun 2023, negara yang bergaris pantai sekitar 2.700 kilometer ini memproduksi udang 1,3 juta ton dari produksi udang dunia sebesar 5,7 juta ton. Devisa ekspor udang Ekuador sendiri hampir tembus 9 miliar USD.
Lima negara utama lainnya mencakup produksi udang pada kisaran 350.000-800.000 ton. Hingga saat ini, negara-negara tersebut terus meningkatkan kinerjanya melalui perbaikan inovasi dan teknologinya untuk mengisi kebutuhan pasar dunia sekitar 7 juta ton.
Ekuador juga sempat “babak belur” karena serangan virus udang pada periode 2000-2010. Pada kala itu, produksi udang Ekuador tidak sampai 100.000 ton, dan masih berada di bawah Indonesia (kisaran 200.000 ton). Kondisi ini kemudian tidak membuat mereka patah arang, namun terus berjuang mencari solusi.
Tahun 2011, industri udang Ekuador mulai bangkit setelah mereka berhasil melakukan domestikasi dan juga perbaikan genetik induk udang vaname secara mandiri. Hal ini kemudian memicu berkembangnya bisnis breeding yang menghasilkan induk udang berkualitas.
Pemerintah Ekuador kemudian mengeluarkan regulasi tidak memperbolehkan impor induk, namun memperbolehkan untuk ekspor. Impor induk dinilai memiliki resiko membawa masuk penyakit dari luar negara mereka.
Inovasi dan teknologi budidaya terus dikembangkan, antara lain budidaya udang two-step yaitu nursery dan grow out, sistem monitoring penyakit, pakan fungsional untuk imun dan pertumbuhan.
Selain itu, penggunaan sensor diaplikasikan untuk menggerakkan mesin pelontar pakan maupun kincir air untuk mensuplai oksigen. Pelontar pakan akan bekerja pada saat udang mulai lapar, demikian juga dengan kincir akan berfungsi pada saat oksigen berada pada kadar minimum.
Dengan inovasi dan teknologi yang dikembangkan, maka Harga Pokok Produksi (HPP) udang di Ekuador menjadi lebih murah $US 0.75 per kilogramnya dibandingkan dengan Indonesia. Hal ini menjadikan daya saing udang Ekuador lebih tinggi untuk mengisi pasar udang dunia, terutama ke Amerika Serikat dan Cina.
Penyakit udang dalam proses budidaya terjadi melalui dua mekanisne. Pertama, secara vertikal terbawa oleh benih yang diproduksi oleh hatchery. Kita dihadapkan pada kenyataan bahwa benih sebagian tidak “bersih” lagi. Benih telah terkontaminasi bakteri, virus, atau lainnya.
Kontaminasi ini bisa terjadi karena induk yang dipergunakan tidak sehat atau sanitasi yang tidak mendukung, seperti pakan induk berupa cacing, air pasok, pakan benih, peralatan yang tidak steril.
Kontaminasi kedua terjadi secara horizontal, bisa tertular melalui air yang masuk ke dalam petak budidaya yang tidak lagi steril dari bakteri maupun virus, sehingga dengan mudah terjadi outbreak penyakit secara tiba-tiba.
Belum semua tambak udang memiliki sistem budidaya yang terstandarisasi. Hal ini disebabkan persoalan biaya investasi dan modal kerja terutama pada tambak tradisional, yang hampir mencakup 80% dari total luas area tambak di Indonesia.
Sejumlah hasil penelitian telah memberikan petunjuk bahwa kualitas benur menjadi faktor dominan yang mempengaruhi keberhasilan budidaya udang. Kemudian, diikuti oleh teknologi budidaya yang diterapkan.
Penelitian disertasi dari Atjo (2004) menyimpulkan bahwa keberhasilan budidaya udang windu yang datanya diolah menggunakan instrumen Structural Equation Model (SEM), sebesar 63% dipengaruhi oleh kualitas benih. Sebagian lainnya, 37% adalah pengaruh teknologi budidaya dan faktor lainnya.
Teknologi budidaya udang di Indonesia yang dilakukan oleh pelaku usaha saat ini sangat berkembang pesat mengikuti tren teknologi dunia. Sementara itu, teknologi memproduksi induk udang, hatchery, dan teknologi produksi pakan hidup (cacing) untuk induk masih kurang berkembang.
Berkaitan dengan informasi itu, lembaga riset dan perguruan tinggi diharapkan dapat mengembangkan riset seperti yang dilakukan oleh Atjo pada produksi udang vaname sebagai komoditas yang mendominasi budidaya.
Informasi tersebut sangat diperlukan untuk menyusun satu strategi terhadap upaya peningkatan produksi udang Indonesia sebagai negara kepulauan yang bergaris pantai hampir 100.000 km, atau sekitar 40 kali garis pantai Ekuador.
Sebagai informasi, hasil uji benih yang diproduksi oleh beberapa hatchery telah terdeteksi mengandung kontaminasi virus maupun bakteri yang kelimpahannya masuk kategori “lampu kuning" sebagai alarm waspada.
Sambil menunggu hasil riset itu, maka strategi jangka pendek yang dapat dilakukan adalah pemetaan hatchery yang masih aktif berproduksi sebagai upaya standarisasi mutu benih. Hal yang sama juga dapat dilakukan untuk teknologi budidaya.
Jumlah laboratorium iki penyakit yang terstandarisasi harus ditambah dan berada di sentra produksi agar mudah melakukan upaya pelayanan. Selama ini, jarak dari sentra budidaya ke laboratorium uji penyakit masih cukup jauh karena terpusat di Jakarta.
Gagasan ini bisa terealisasi apabila terdapat regulasi yang memberi akses pembiayaan bagi lahirnya usaha breeding, pakan induk udang (cacing), peningkatan standar hatchery, teknologi atau sistem budidaya serta pendirian laboratorium uji penyakit.
Terakhir, Asta Cita Presiden Prabowo Subianto seyogyanya menjadi pijakan formal bagi Kementerian dan Lembaga yang berwenang secara teknis untuk menyusun skenario peningkatan kinerja sektor KP dan kesejahteraan masyarakat.
Kolaborasi dengan para pelaku usaha melalui asosiasi yang telah terjalin dipandang perlu lebih ditingkatkan agar tercipta akselerasi. Peran dari DPR RI, terutama komisi IV, tentunya penting sebagai jembatan penghubung.
Semoga.