Nelayan Tradisional Lhok Seudu

| Mon, 08 Nov 2021 - 15:02

Jam menunjukkan pukul 3 dinihari. Geladak kapal masih basah bekas hujan semalam. Suasana begitu gelap dan dingin. Sejauh mata memandang yang terlihat hanyalah lautan. Sabirin, kapten kapal nelayan yang kami tumpangi mulai memberikan instruksi untuk menurunkan jaring penangkap ikan. Sabirin sendiri mengintip dari sebuah celah di lantai geladak untuk memastikan lagi bahwa lokasi tersebut adalah tempat yang tepat menurunkan jaring.


Tak berselang lama, jaring diangkat. Terlihat ribuan ikan teri berloncatan di atas jaring. Para nelayan segera mengangkat ikan-ikan tersebut dengan mempergunakan timba yang diikat tali. Total ada 40 keranjang ikan teri mereka dapatkan hari itu. Belum lagi cumi, tongkol dan berbagai jenis ikan lainnya yang mereka dapatkan dari hasil memancing.


Usai subuh, saat matahari mulai sedikit membias, para nelayan bekerja menurunkan keranjang-keranjang tersebut ke perahu lain yang lebih kecil. Pagi itu juga hasil tangkapan tersebut akan dibawa ke Tempat Pelelangan Ikan untuk langsung dijual.




“Kami bekerja pada pukul 2.30 pagi untuk menjaga hasil tangkapan agar tetap segar. Ikan-ikan kecil cenderung cepat busuk jika kami bekerja (misalnya) sejak pukul 10 malam,”jelas Zaenal, salah seorang nelayan Palong. Hasil tangkapan berupa ikan teri, cumi-cumi atau gurita akan langsung diangkut ke Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Lhok Seudu tanpa menggunakan es dan pengawet. “Rata-rata palong tidak membawa es untuk menghemat biaya operasional,” tambah Sabirin (42), kapten kapal Palong.


Hampir tujuh belas tahun berlalu sejak bencana gelombang Tsunami meratakan propinsi Aceh pada 26 Desember 2004, masyarakat Desa Teupin Layeu, Kabupaten Aceh Besar, yang sebagian besar merupakan nelayan, tetap setia melaut di Teluk Lhok Seudu secara tradisional dimana kebanyakan nelayan Lhok Seudu masih menggunakan palong, yaitu bagan apung yang ditopang oleh dua perahu lebih kecil, untuk menangkap ikan. 


Yuk, ikuti juga: Kompetisi LensaMina, Membuka Cakrawala Akuakultur Indonesia


Palong merupakan metode tradisional masyarakat Aceh yang sudah dijalani selama puluhan tahun dan dianggap lebih aman untuk lingkungan karena hanya menggunakan alat-alat sederhana, seperti lampu dan jaring untuk menarik perhatian dan menangkap ikan. “Penggunaan Palong memang sudah lazim disini karena sasaran kami memang ikan-ikan kecil yang bisa ditangkap dengan jhab atau jaring palong,” kata Hasan Is, salah seorang pemilik palong. Satu palong dipimpin oleh satu orang kapten yang bertugas mencari titik labuh dan lokasi ikan. Kapten biasanya dibantu oleh tujuh nelayan dalam mengoperasikan palong. Untuk menangkap ikan, mereka menyebarkan jaring di sekitar palong yang dilengkapi oleh lampu dengan tujuan untuk menarik perhatian ikan.


“Lampu-lampu itu berguna untuk menarik perhatian ikan agar masuk ke dalam jhab”, jelas Zaenal menambahkan. Mereka menebar dan menarik jhab hingga tiga kali dalam semalam. Untuk satu hari kerja, para nelayan akan mengambil satu keranjang lalu dibagikan untuk dibawa pulang dan sisanya dijual. Hasil penjualan tangkapan, jelas Zaenal, berkisar antara lima sampai sepuluh juta rupiah per minggu.


“Kalau cuaca lagi bagus, kami bisa membawa pulang 80 sampai 100 keranjang ikan teri perhari, satu sampai dua ton perminggunya.Tapi, kadang-kadang dalam sehari, ikan bisa tak ada,” sambung Zaenal menambahkan para nelayan biasanya bekerja enam hari seminggu, kecuali hari Jumat. Hasan, pemilik palong, menjelaskan bahwa nelayan akan mendapatkan upah kerja tergantung dari hasil penjualan yang sudah dibagi dua, antara pemilik dan tujuh nelayan lainnya. Jumlah ini, lanjutnya, sudah dipotong biaya operasional sebanyak empat hingga lima juta rupiah per-minggu. 


“Para nelayan menerima upah kerja setiap Jumat perminggunya. Jumlahnya bervariasi tergantung hasil penjualan yang dibagi dua antara pemilik palong dan tujuh orang nelayan,” jelas Hasan yang memiliki satu palong. Meski di anggap adil, Zaenal menyatakan bahwa para nelayan masih belum puas karena belum sepenuhnya memenuhi kebutuhan sehari-hari. 


“Perjanjian bagi hasil antara nelayan dan pemilik palong sudah adil dan sesuai dengan penjualan, tapi kalau untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari memang belum memadai,  maka untuk menambal kebutuhan sehari-hari setiap pagi sepulang dari melaut saya bertani bersama istri saya, siang beristirahat lalu kembali melaut sore harinya,” ungkap Zaenal.

 ---


Penulis: Fahreza Ahmad

Profesi: Wartawan

Instansi: The Atjeh Post


Artikel lainnya

LensaMina 

Kampung Nelayan Modern

Minapoli

1141 hari lalu

  • verified icon3083
LensaMina 

Why Sea Farming?

Minapoli

1188 hari lalu

  • verified icon2829
LensaMina 

Pekerja Lokal sebagai Pondasi Akuakultur

Minapoli

1140 hari lalu

  • verified icon2288