KKP Intensifkan Sosialisasi Pencegahan Penyakit EMS
| Tue, 11 Jun 2019 - 09:41
Makassar – Sosialisasi upaya pencegahan penyakit early mortality syndrome (EMS) yang disinyalir memiliki kemiripan dengan penyakit Acute Hepatopancreatic Necrosis Disease (AHPND) semakin intensif dilakukan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan. Sepanjang bulan April hingga Mei 2019 KKP bersama stakeholder perikanan budidaya seperti Shrimp Club Indonesia (SCI), Gabungan Perusahaan Makanan Ternak (GPMT), usaha pengolahan dan lainnya melakukan road show sosialisasi pencegahan penyakit ini di Aceh, Sumatera Utara, Banten, Jawa Barat, Jawa Timur, Bali, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Barat, Kalimantan Utara, dan Nusa Tenggara Barat. Selain itu, KKP juga membentuk dan mengintensifkan peran tim taskforce (gugus tugas) pencegahan penyakit AHPND beranggotakan unsur pemerintah, pelaku usaha, akademisi dan pakar.
Direktur Jenderal Perikanan Budidaya, Slamet Soebjakto menjelasakan bahwa sosialisasi tersebut merupakan bagian dari tindaklanjut hasil surveilan EMS/AHPND yang dilakukan oleh DJPB dan BKIPM tahun 2018 lalu serta 12 poin kesepakatan bersama antara pelaku usaha dan pemerintah saat pertemuan tanggal 20 Pebruari 2019 di Surabaya tentang upaya pencegahan EMS/AHPND.
Sedangkan pemilihan lokasi sosialisasi sendiri menurut
Slamet, didasarkan pada pertimbangan bahwa daerah-daerah tersebut secara
tradisional merupakan sentra penghasil udang utama di Indonesia.
“Perlu kita sosialisasikan 12 kesepakatan ini kepada suluruh pembudidaya dan stakeholder lainnya. Namun demikian, yang lebih penting lagi adalah bagaimana hasil dari sosialisasi ini kita implementasikan ke seluruh tambak maupun hatcehry masing-masing. Kita harus sama-sama memiliki komitmen yang kuat mencegah penyakit ini. Masing-masing stake holder harus tahu perannya sesuai dengan 12 butir kesepakatan tersebut” ujar Slamet dalam sambutannya pada sosialisasi Nasional: Pencegahan EMS/AHPND Dalam Budidaya Udang Di Provinsi Sulawesi Selatan, Selasa (14/05).
"KKP terus melakukan surveilance atau pengawasan terhadap cara budidaya ikan yang baik, penggunaan induk, dan memonitor residu. Oleh karena itu, sebagai tindak lanjut sosialisasi ini DJPB akan menerjunkan pengawas pembudidaya ikan untuk memonitor kegiatan budidaya di masyarakat" lanjutnya.
Sebagaimana diketahui EMS/AHPND merupakan penyakit serius yang dapat menyebabkan berbagai kerugian fisik dan finansial pada industri budidaya udang yang telah terjadi di beberapa negara sehingga berpotensi mengancam produksi udang.
Penyakit ini ditimbulkan oleh adanya infeksi Vibrio parahaemolyticus (Vp AHPND) yang mampu memproduksi toksin. Pada umumnya, AHPND rentan menyerang udang windu (Penaeus monodon) dan udang vaname (Penaeus vannamei) dengan mortalitas mencapai 100% pada stadia postlarvae (PL) umur 30-35 hari dan udang usia < 40 hari setelah tebar di tambak.
Pertama kali ditemukan di Republik Rakyat China pada tahun 2009 dengan sebutan Covert Mortality Disease. Pada Tahun 2011, AHPND dilaporkan telah menyerang Vietnam dan Malaysia, disusul Thailand (2012), Mexico (2013) dan Philipina (2015). Saat ini India juga dilaporkan diduga terserang AHPND, namun belum ada notifikasi dari pihak pemerintah India;
FAO mencatat bahwa dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun produksi udang di Thailand mengalami penurunan produksi yang sangat drastis dari 609.552 ton pada tahun 2013 menjadi 273.000 ton di tahun 2016 akibat serangan AHPND. Sedangkan dampak kerugian ekonomi yang dialami Vietnam selama kurun waktu 2013 – 2015 adalah sebesar US$ 216.23 million atau rata—rata sebesar US$ 72 million per tahun.
“Indonesia hingga saat ini masih terbebas dari penyakit EMS/AHPND, namun jika melihat dari latar belakang munculnya penyakit ini, maka segala potensi resiko dalam industri budidaya udang nasional harus diantisipasi secara serius. Indonesia mewaspadai masuknya penyakit lintas batas (transboundary disease) yang dapat mengancam industri perudangan nasional dalam hal ini wabah AHPND dari negara terjangkit”ujarnya.
“Ini tentu jadi fokus perhatian kita agar Indonesia tidak mengalami nasib yang sama. oleh karena itu, jangan sampai ada kejadian AHPND di Indonesia, jika sudah ada tampak gejala saja, kita harus segera bertindak. Mencegah lebih baik daripada pengobatan” lanjut Slamet tegas.
Pengalaman hancurnya usaha budidaya udang windu akhir tahun 90-an menurut Slamet harus menjadi pelajaran berharga bagi Indonesia untuk mencegah kejadian serupa pada udang vanname. Menteri Kelautan dan Perikanan (Susi Pudjiastuti) di awal menjabat jelasnya, telah mengingatkan hal ini, karena dapat menyebabkan seluruh usaha hulu hilir yang terhubung dengan komoditas udang dapat gulung tikar.
“Mengapa ini menjadi penting, karena udang adalah primadonanya komoditas ekspor dari Indonesia. Meskipun volumenya lebih kecil dari tuna namun nilai ekspornya lebih besar. Sehingga udang berkontribusi signifikan terhadap pertumbuhan PDB perikanan” jelasnya.
Slamet menerangkan bahwa gejala indikasi penyakit ini dapat ditemukan baik di hatchery seperti pada post larva benur, air bak benur dan induk, pakan alami (artemia dan cumi) serta feses. Sedangkan pada tambak, dapat ditemukan pada udang, kepiting, air tambak dan sedimen (lumpur).
“Oleh karena itu dari hulu hilir harus benar-benar aman. Di tahun 90an kita mengenal panca usaha, yakni lima usaha yang harus dilakukan oleh pembudidaya seperti persiapan lahan, benur, sarana prasarana (peralatan dan pakan), manajemen usaha, serta pengendalian penyakit dan lingkungan. Kita perlu hidupkan kembali konsep yang cukup baik ini” ajak Slamet.
“Sungguh sangat tidak bisa dibayangkan apabila kita terlambat dalam menyikapi kejadian ini. Capaian produksi udang yang selalu kita upayakan terus meningkat dari tahun ke tahun, seketika itu industri udang kita akan hancur seperti yang terjadi di Thailand dan Vietnam. Dampak yang akan ditimbulkan tidak hanya dirasakan oleh pembudidaya, melainkan oleh industri lainnya seperti pengolahan, pakan, serta penurunan devisa dari sektor perikanan”Slamet mengingatkan.
Ada 6 (enam) langkah atau upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah dalam mencegah penyakit ini yaitu: pertama, Peningkatan kewaspadaan (public awareness) terhadap gejala-gejala serta cara penanganan EMS/AHPND melalui sosialisasi, peningkatan kapasitas pengujian laboratorium serta meningkatkan pengawasan terhadap lalu lintas induk, calon induk, benur, serta pakan alami (polychaeta dan artemia) khususnya dari negara wabah. Kedua, mengajak untuk penebaran benur intensif 80 – 100 ekor per m2.
Selanjutnya ketiga, kembali melakukan persiapan seperti prinsip-prinsip dasar atau panca usaha (back to basic). Keempat, pelarangan menggunakan induk tambak untuk HSRT atau Naupli Center. Kelima, pengembangan kawasan budidaya perikanan berbentuk klaster secara terpadu dan terintegrasi dalam satu kesatuan pengelolaan, baik lingkungan, teknologi, input produksi maupun pemasaran. Keenam, upaya mempertahankan keberlanjutan usaha budidaya perikanan melalui pengaturan izin lokasi dan izin lingkungan (AMDAL/UKL-UPL), penyediaan saluran inlet/outlet yang terpisah.
“Saya akan keluarkan edaran berupa larangan penggunaan induk-induk yang diperoleh dari tambak. Kita akan ganti dari hasil breeding program dari broodstock centre yang dimiliki pemerintah. Ini upaya pembenahan nyata untuk pencegahan penyakit ini. Pada tahap awal edaran ini sifatnya himbauan namun pada akhirnya akan kita wajibkan” jelas Slamet.
Selain itu tambah Slamet, upaya-upaya lain juga sudah dilakukan, “tahun 2019 ini anggaran monitoring residu dan sertifikasi ditingkatkan, tiap kawasan usaha budidaya juga kita dorong harus memiliki AMDAL. Kemudian tahun 2020 nanti akan kita optimalkan lagi peran posikandu,”lanjutnya.
“Saya berharap agar melalui pertemuan ini mampu menghasilkan langkah-langkah yang tepat dan efisien dalam pecegahan serta penanganan AHPND, juga agar seluruh stakeholder segera berbenah dalam upaya menangkal penyakit AHPND. Semua ini untuk mencegah agar penyakit ini tidak ada di Indonesia” pungkas Slamet mengakhiri sambutannya.