Teknologi HSRT, Inovasi Pembenihan Ikan untuk Skala Rakyat
| Wed, 27 May 2020 - 08:56
· Penataan sistem logistik induk dan benih nasional untuk perikanan budidaya terus dilakukan Pemerintah Indonesia dalam beberapa waktu terakhir ini. Upaya tersebut menjadi bagian dari perbaikan tata kelola sistem logistik induk dan benih untuk mendorong peningkatan produktivitas budi daya
· Di antara upaya yang dilakukan, adalah dengan mengembangkan inovasi teknologi pembenihan ikan untuk bisa diadopsi oleh masyarakat perikanan yang menjalankan perikanan budi daya skala kecil di seluruh Indonesia
· Inovasi teknologi skala rakyat untuk ikan Nila tersebut, oleh Balai Besar Perikanan Budi daya Air Tawar (BBPBAT) Sukabumi, Jawa Barat sengaja dirancang menjadi hatchery skala rumah tangga (HSRT) agar mudah diadopsi masyarakat
· Meski untuk skala kecil, namun HSRT memiliki keunggulan seperti bisa menerapkan efisiensi air, lahan yang tidak luas, kelulushidupan (survival rate/SR) tinggi, dan bisa melakukan pemijahan sepanjang tahun.
Ketersediaan benih berkualitas yang sesuai dengan kebutuhan, menjadi syarat mutlak yang harus ada untuk bisa melaksanakan upaya peningkatan produksi perikanan budi daya nasional. Upaya tersebut menjadi bagian dari program industri benih nasional yang di dalamnya ada penataan sistem logistik pada sentra produksi budi daya.
Untuk bisa mendukung program tersebut, beragam inovasi pada bidang perbenihan terus dibuat oleh Pemerintah Indonesia. Salah satunya, adalah inovasi yang berhasil dikembangkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) melalui Balai Besar Perikanan Budidaya Air Tawar (BBPBAT) Sukabumi, Jawa Barat.
Direktur Jenderal Perikanan Budi daya KKP Slamet Soebjakto mengatakan, teknologi perbenihan yang berhasil dikembangkan oleh BBPBAT Sukabumi adalah teknologi untuk ikan Nila dengan skala rakyat. Teknologi tersebut dirancang sebagai hatchery skala rumah tangga (HSRT) agar bisa mendorong masyarakat di seluruh Indonesia bisa mengadopsinya dengan mudah.
Menurut dia, pengembangan model pembenihan ikan skala rakyat tersebut akan memicu banyak hal positif, termasuk untuk mendukung kebijakan KKP dalam mendorong terwujudnya industrialisasi benih secara nasional. Untuk itu, teknologi HSRT diharapkan bisa menjadi hal yang mudah diterapkan di masyarakat.
“Inovasi HSRT ikan nila ini merupakan bagian yang akan didorong mulai sekarang. Dengan penerapan teknologi ini, para pembenih akan mampu menaikkan produktivitas benih hingga dua kali lipat dari sistem biasa,” jelas dia belum lama ini.
Benih ikan nila dalam sistem hatchery skala rumah tangga (HSRT), yang dikembangkan Balai Besar Perikanan Budi daya Air Tawar (BBPBAT) Sukabumi, Jawa Barat. Foto : Humas KKP
Selain itu, Slamet menilai kalau inovasi HSRT juga akan menjadi sangat efisien saat diterapkan oleh pembudi daya ikan skala kecil. Hal itu, karena teknologi tersebut bisa menggunakan air maupun lahan dengan sangat tepat dan hemat.
Dengan kata lain, HSRT dinilai sangat cocok untuk diterapkan di wilayah urban, termasuk sentra perikanan budi daya ikan yang ada di seluruh Indonesia. Pada akhirnya, inovasi HSRT akan menjadi lapangan pekerjaan alternatif bagi masyarakat perkotaan yang ingin mendapatkan penghasilan menjanjikan.
“Tahun ini kita akan mulai kembangkan di masyarakat. Langkah awal saya telah menunjuk BBPBAT Sukabumi untuk mendorong diseminasi teknologi ini di dekat sentral sentral produksi budidaya ikan nila,” tutur dia.
Kajian Panjang
Kepala BBPBAT Sukabumi Supriadi dalam keterangan resmi kepada Mongabay, menyebutkan kalau inovasi HSRT ikan Nila yang sekarang ada, sebelumnya sudah melalui berbagai kajian yang berjenjang dan dalam waktu yang lama. Proses yang lama tersebut, membuat kajian dilakukan dengan rinci dan komprehensif sampai menghasilkan teknologi yang pas dan tepat untuk bisa diadopsi oleh warga.
Proses panjang untuk mendapat hasil akhir inovasi yang pas dan tepat guna itu, harus dilalui dalam hitungan waktu hingga dua tahun. Selama waktu tersebut, tim melakukan kajian yang dimulai dari menganalisa kepadatan tebar (benih), pakan, dan juga performa hasil yang akan didapatkan nantinya.
“Saat ini kami sudah mendapatkan hasil yang secara teknis dan nilai keekonomian pas untuk diadopsi di masyarakat,” jelas dia.
Setelah melewati proses yang panjang dan lama, inovasi teknologi yang dihasilkan akhirnya membuahkan beragam keunggulan yang akan memberi manfaat baik untuk perikanan budi daya. Bagi dia, keunggulan yang dimiliki tersebut menegaskan kalau HSRT berbeda dengan sistem biasa yang sebelumnya sudah ada dan diterapkan oleh masyarakat perikanan budi daya.
Inovasi teknologi pembenihan skala rakyat untuk ikan nila oleh Balai Besar Perikanan Budi daya Air Tawar (BBPBAT) Sukabumi, Jawa Barat sengaja dirancang menjadi hatchery skala rumah tangga (HSRT) agar mudah diadopsi masyarakat. Foto : Humas KKP
Adapun, rincian keunggulan dari HSRT adalah efisiensi air karena teknologi tersebut dirancang dengan sirkulasi tertutup, tidak memerlukan lahan yang luas dengan inovasi desain kolam yang bulat, kelulushidupan (survival rate/SR) tinggi yang bisa mencapai 80 persen, dan bisa melakukan pemijahan sepanjang tahun.
“Selain itu yang membedakan dari sistem biasa, produktivitas dengan HSRT lebih tinggi hingga mencapai dua kali lipatnya,” papar Supriadi.
Tak hanya untuk perbenihan, teknologi HSRT juga disebut bisa digunakan untuk mendorong berbagai segmentasi usaha pendederan. Bahkan, hingga 2019 lalu sudah ada banyak yang melakukan diseminasi pada kolam ikan budi daya yang ada di Kabuapten Sleman dan Bantul, DI Yogyakarta dan menunjukkan hasil yang sangat baik.
Menurut Supriadi, teknologi HSRT akan bisa membantu upaya pengembangan industri benih nasional dengan memetakan di mana saja yang perlu untuk fokus dikembangkan. Untuk menuju ke sana, unit HSRT yang sudah ada perlu didorong untuk dijadikan sebagai larvae center dan sekaligus pusat benih untuk menyuplai benih langsung ke pembudi daya ikan di sentra produksi.
“Di samping, balai akan kita dorong untuk terus memproduksi calon induk/induk unggul. Saya kira ini langkah konkrit bagaimana membangun sistem logistik benih yang efektif,” tutur dia.
hatchery skala rumah tangga (HSRT), inovasi teknologi pembenihan skala rakyat untuk ikan nila oleh Balai Besar Perikanan Budi daya Air Tawar (BBPBAT) Sukabumi, Jawa Barat. Foto : Humas KKP
Kendala Perikanan Budi daya
Mengutip pernyataan organisasi pangan dan agrikultur Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO), ada tiga kendala yang dihadapi oleh perikanan budi daya di masa mendatang. Itu adalah keterbatasan lahan yang terus meningkat akibat alih fungsi lahan, peningkatan krisis air, dan tantangan untuk meningkatkan produktivitas perikanan budi daya.
Di sisi lain, agar perikanan budi daya bisa berkembang dengan baik hingga mencapai produksi yang maksimal, diperlukan pasokan pakan ikan berkualitas untuk semua pelaku usaha budi daya ikan, baik sekala besar maupun kecil. Kebutuhan tersebut, mutlak dipenuhi karena akan menentukan kualitas ikan yang dihasilkan.
Bagi KKP, kebutuhan tersebut tidak akan bisa dipenuhi dari pasokan yang diproduksi oleh pabrik pakan ikan skala besar. Melainkan, harus dipasok juga dari produksi pakan ikan secara mandiri yang sedang gencar dilakukan oleh Pemerintah Indonesia dalam beberapa bulan terakhir.
Pakan ikan mandiri yang diproduksi sendiri oleh pembudi daya ikan, diyakini sudah bisa setara dengan pakan ikan produksi pabrik besar yang fokus pada kualitas melalui kandungan protein yang tinggi. Tetapi, keunggulan pakan mandiri, bisa diproduksi dengan harga yang murah dan mudah dilakukan.
Asisten Perwakilan FAO untuk Indonesia dan Timor Leste Ageng Herianto mengatakan, penyediaan pakan ikan murah untuk pembudi daya ikan skala kecil memang menjadi fokus dari Pemerintah Indonesia saat menjalin kerja sama dengan FAO. Fokus tersebut dilakukan, karena selama ini harga pakan ikan dinilai terlalu tinggi yang ada di pasaran.
“Kalau untuk (pembudi daya ikan) skala besar, harga pakan ikan yang diproduksi pabrikan masih sangat terjangkau. Namun, bagi skala kecil ini jadi masalah,” jelas dia.
Ia menyebut formula yang dihasilkan dapat menjadi solusi untuk menekan biaya produksi yang 70 persen-nya dipicu dari harga pakan yang tinggi. Ia juga memastikan bahwa produk pakan formula FAO telah memenuhi standar mutu sesuai SNI dengan kisaran protein sebesar 20 – 25 persen.
“Di sisi lain, produk ini aman dari tambahan bahan bahan kimia dan biologis yang berbahaya,” tegas dia.
Pengembangan produksi budi daya perikanan yang tengah dilakukan KKP sekarang, tidak lain karena keinginan Presiden RI Joko Widodo yang ingin mendorong produksi perikanan dari subsektor budi daya. Mengingat, selama lima tahun terakhir, subsektor tersebut nyaris tidak mendapat perhatian seperti halnya ‘saudara’-nya, subsektor perikanan tangkap.
Sumber: Mongabay