• Home
  • Infomina
  • Target Produksi Udang 2024 dan Masalah Dasar Perikanan Budidaya

Target Produksi Udang 2024 dan Masalah Dasar Perikanan Budidaya

| Tue, 11 Jan 2022 - 10:32

Angka dua juta ton menjadi hitungan sakral yang berusaha diwujudkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) pada 2024 mendatang. Jumlah yang menjadi target produksi udang nasional dari subsektor perikanan budidaya tersebut, dinilai menjadi target ambisius yang sulit untuk diwujudkan.


Penetapan angka dua juta ton sendiri didasarkan pada produksi udang nasional yang berjalan sepanjang 2020 di angka 856.753 ton. Sehingga ada kenaikan target produksi sebesar 133 persen dari salah satu komoditas andalan perikanan budidaya itu.


Untuk mencapai target itu, diperlukan berbagai upaya dengan langkah terobosan dan inovasi untuk memecahkan beragam persoalan yang ada.


Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia Moh Abdi Suhufan menyebutkan bahwa target produksi udang pada 2024 menjadi target yang realistis, jika dilakukan dengan cara yang benar melalui terobosan dan inovasi. Sehingga perlu kerja sama yang baik dan kuat antar semua pihak para pemangku kepentingan yang terlibat pada subsektor perikanan budidaya.


Baca juga: Tren dan Proyeksi Udang Vaname Tahun 2022


“Hal ini mengingat terdapat sejumlah masalah mendasar yang selama ini kurang disentuh dan diselesaikan oleh KKP, sehingga berpotensi menjadi faktor penghambat pencapaian target tersebut,” jelas belum lama ini kepada Mongabay Indonesia.


Masalah mendasar terkait proses produksi udang, yaitu ketiadaan peta detail tambak, status lahan tambak, dan kondisi saluran air yang tidak berfungsi. Ketiga masalah tersebut harus bisa dicarikan jalan keluar dengan baik.


Tiga masalah itu, lanjutnya, didasarkan pada fakta bahwa hingga saat ini Indonesia belum memiliki peta detail tambak untuk keperluan manajemen dan kegiatan teknik pada tingkat budidaya perikanan.


“Harus ada perubahan dan reformasi program budidaya perikanan, jika ingin mencapai target produksi yang ditetapkan,” ungkapnya.


Menurut Suhufan, jika KKP hanya melakukan intervensi sebatas pada penyediaan atau bantuan sarana dan prasarana yang diperlukan seperti benih, pintu air, dan genset, maka itu tidak bisa mendorong peningkatan angka produksi dengan signifikan.


Baca juga: Mitigasi Penyakit Ikan dan Udang


“Sebab, masalah inti budi daya lebih kompleks dari sejumlah bantuan tersebut,” tambahnya.


Di sisi lain, Suhufan mempertanyakan perkembangan rencana KKP untuk melakukan revitalisasi tambak udang tradisional seluas 5.000 hektare (ha) di seluruh Indonesia. Menurut dia, perlu ditegaskan apakah sudah ada peta detail tentang rencana tersebut, dan juga kejelasan status lahan yang bisa dikelola secara intensif.


Dalam penilaian dia, status dan kepemilikan lahan budidaya selama ini selalu menjadi masalah yang sensitif dan berkontribusi menggagalkan program budidaya udang. Hal itu ditemukan di Sulawesi Tenggara, dimana produksi udang terhambat karena keterbatasan lahan hampir 50 persen kawasan tambak di kawasan lindung mangrove.


Permasalahan tersebut khususnya terjadi di Kabupaten Konawe Selatan, Kabupaten Bombana, dan Kabupaten Muna Barat. Contoh yang terjadi di Sultra tersebut patut untuk menjadi perhatian semua pihak yang terkait, dalam menghadapi target 2024.


Sedangkan Peneliti DFW Indonesia Subhan Usman menjelaskan tentang kondisi saluran air untuk mendukung produksi udang. Saat ini, mayoritas saluran air yang ada masih kurang berfungsi dengan baik, karena hampir tidak pernah ada program irigasi secara khusus.


Baca juga: FKPA Terus Berupaya Atasi Pandemi Penyakit Udang


Menurut dia, kegiatan rehabilitas saluran yang ada selama ini lebih banyak dilakukan dengan mengeruk saluran tanpa melakukan perbaikan tata letak. Padahal, saluran air menjadi sangat vital dan bisa mencapai 80 persen keberhasilan faktor produksi.


Akibat saluran air yang tidak baik, banyak tambak yang akhirnya mengalami pendangkalan, keterbatasan mendapatkan suplai air, dan sangat rawan terserang penyakit udang. Semua ancaman tersebut harusnya bisa dihindari, jika ingin mencapai produksi udang yang diharapkan pada 2024.


Selain faktor infrastruktur tambak, hal lain yang juga dinilai menjadi masalah, adalah keberadaan alat penilaian atau sertifikasi untuk kegiatan budidaya perikanan yaitu Cara Budidaya Ikan yang Baik (CBIB). Alat tersebut dinilai belum dijalankan dengan serius dan disiplin.


“Tingkat adopsi dan penerapan CBIB oleh pembudidaya masih rendah, dan KKP hanya mengejar jumlah sertifikat yang dikeluarkan,” terangnya.


Padahal, Subhan menyebut kalau untuk bisa menerbitkan sertifikat CBIB akan diperlukan monitor dan pengecekan 18 item yang menjadi dasar penilaian. Semua itu harus dilakukan dengan sangat ketat dan di bawah pengawasan yang ekstra baik.


Baca juga: Potret Instalasi Pengelolaan Air Limbah Tambak Udang


“KKP perlu melakukan evaluasi terhadap sertifikasi CBIB agar betul-betul diterapkan bukan hanya prosedural administrasi dan persyaratan di atas kertas,” pungkasnya.

 

Tambak Tradisional

Walau mendapat kritikan, namun KKP masih optimis kalau semua program dan rencana yang sudah dilaksanakan saat ini akan berjalan sesuai harapan. Utamanya, dalam upaya mencapai produksi dua juta ton udang pada 2024.


Di antara upaya yang dilakukan, adalah melakukan revitalisasi tambak tradisional di sejumlah daerah, salah satunya di Kabupaten Aceh Tamiang, Provinsi Aceh. Di daerah tersebut, dilakukan penebaran dua juta ekor benur udang yang dilakukan oleh Dirjen Perikanan Budidaya KKP Tb. Haeru Rahayu pada akhir Desember 2021 lalu.


Aceh Tamiang dipilih sebagai salah satu sentra produksi, karena daerah tersebut memiliki potensi besar untuk produksi udang berkat kehadiran tambak tradisional yang aktif ataupun non aktif. Dalam prosesnya, kegiatan budidaya dilakukan dengan mengadopsi prinsip keberlanjutan lingkungan.


Baca juga: Peran Kelompok Bakteri Bacillus Spp dalam Pengelolaan Lingkungan Tambak


Tebe panggilan akrab Tb. Haeru Rahayu mengatakan, program terobosan yang dilaksanakan oleh KKP, terutama pada bidang akuakultur akan selalu mengedepankan keberlanjutan ekologi. Hal itu sejalan dengan konsep pengembangan ekonomi biru yang menjadi tuntutan pembangunan global sekarang dan akan datang.


Pada waktu tiga hingga empat tahun mendatang, KKP akan fokus mengembangkan perikanan budidaya dengan berbasis komoditas unggulan. Dalam prosesnya, akan ada dua program terobosan besar, yaitu pengembangan perikanan budidaya dengan berorientasi ekspor seperti udang, lobster, dan kepiting.


Kemudian, ada juga program pengembangan kampung perikanan budidaya dengan berbasis kearifan lokal yang memanfaatkan komoditas unggulan di pedalaman untuk budidaya ikan air tawar, di pesisir untuk budidaya ikan air payau, dan di laut.


Perlunya menerapkan strategi tepat dengan program terobosan, karena perikanan budidaya dinilai akan bisa menjadi jawaban atas segala permasalahan yang bisa mengancam ketahanan pangan. Dari budi daya perikanan, tantangan akan bisa dijawab dengan peningkatan produksi yang tepat.


“Di satu sisi lonjakan pertumbuhan penduduk kian pesat, namun di sisi lain ada kecenderungan dampak perubahan iklim yang telah memicu penurunan produktivitas,” tuturnya.


Baca juga: Kenapa Harus CBIB?


Sebagai subsektor yang dinilai menjadi masa depan perikanan dunia, perikanan budi daya akan menjadi jawaban terhadap tantangan pemenuhan kebutuhan pangan yang berkelanjutan di tengah permasalahan penurunan kualitas lingkungan dan perubahan iklim secara global, yaitu dengan tetap menjaga keseimbangan antara ekologi dan ekonomi dalam pengembangan usaha.


Salah satu jenis udang yang dikembangkan, adalah udang vaname. Hingga saat ini, jenis tersebut masih menjadi primadona ekspor produk perikanan dari subsektor budidaya. Bersama jenis lain, vaname diharapkan bisa ikut mendukung target produksi dua juta ton udang pada 2024.


Namun menurut Tebe, agar produksi bisa berjalan lancar, ketersediaan induk udang yang unggul dan benih yang bermutu perlu dipastikan untuk selalu ada. Mengingat, induk yang berkualitas, akan menghasilkan benih yang berkualitas, dan akhirnya bisa menghasilkan produksi yang maksimal.


Menurut dia, jika terjadi penurunan kualitas induk dan benih, maka seluruh produksi akan mengalami penurunan kualitas. Karenanya, ketersediaan benih yang unggul harus bisa terus dijaga, demi mencapai target produksi yang diharapkan.


Baca juga: Bangun Pertambakan Ramah Iklim


“Indukan yang baik harus specific pathogen free (SPF), bebas inbreeding dan hasil performance test-nya baik dari sisi pertumbuhan, salinitas rendah, dan ketahanan terhadap penyakit. Dengan begitu produksi bisa maksimal,” urainya.


Sedangkan Plt. Kepala Balai Produksi Induk Udang Unggul dan Kekerangan (BPIUUK) KKP Karangasem Bali I Gusti Putu Agung memastikan bahwa pihaknya sudah melakukan kegiatan pemuliaan untuk mendapatkan galur benih dan calon induk yang cepat tumbuh, tahan terhadap cekaman, berdasarkan seleksi individu dan seleksi famili.


Kegiatan tersebut dilaksanakan dengan menerapkan prinsip-prinsip biosekuriti untuk mencegah masuknya virus atau penyakit dari luar. Dalam prosesnya, kelengkapan seperti laboratorium uji, Cara Pembenihan Ikan yang Baik (CPIB), Cara Karantina Ikan yang Baik (CKIB), dan yang lainnya juga dijalankan.


Dengan kondisi induk yang berkualitas dan produksi benih yang telah dicapai, BPIUUK Karangasem sangat yakin dapat menghasilkan benih berkualitas berkelanjutan didukung dengan kapasitas produksi benih kita yang mencapai 50 juta benih per tahun.


Baca juga: Pentingnya IPAL untuk Tambak Udang


Pada kesempatan sebelumnya, Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia (MAI) Rokhmin Dahuri menyatakan bahwa perikanan budidaya dinilai bisa menjadi solusi dalam menjawab tantangan penyediaan kebutuhan pangan bagi manusia di masa akan datang.


Menurut dia, dengan sumber daya di daratan yang semakin sulit untuk dikembangkan dan terus berkurang, maka subsektor perikanan budi daya bisa menjadi pendukung utama untuk keberlanjutan ekonomi dan ekologi secara bersamaan.


Peran tersebut semakin kuat, karena dalam dua dekade terakhir daya dukung subsektor perikanan tangkap berjalan stagnan. Kondisi itu tak hanya terjadi di Indonesia saja, namun juga di seluruh dunia, utamanya di negara perikanan.


Rokhmin meyakini, melalui penerapan CBIB, integrasi rantai pasok, dan prinsip pengembangan yang berkelanjutan, perikanan budi daya akan bisa melaksanakan produksi untuk memenuhi kebutuhan protein manusia.


“Juga, untuk memenuhi kebutuhan bahan baku makanan, obat-obatan, kosmetik, bahan bakar, dan berbagai industri lainnya,” pungkasnya.


Sumber: Mongabay.co.id


Artikel lainnya