Produksi dan Ekspor Udang Turun, Semangat dan Daya Saing Harus Dibangun
| Tue, 19 Sep 2023 - 09:45
Tiga tahun terakhir, 2020 - 2023 menjadi masa yang kurang baik bagi industri udang nasional. Pasalnya harga udang dunia terus menurun sehingga mempengaruhi harga udang yang diterima pembudidaya. Ujungnya dikhawatirkan menurunkan minat dan semangat berbudidaya.
Turunnya harga udang dunia lebih disebabkan oleh daya beli negara importir yang terpapar krisis global terutama Amerika Serikat. Selain itu, kesuksesan Ekuador, India, dan Vietnam serta pendatang baru dalam berbudidaya, meningkatkan ketersediaan stock bahan baku dunia.
Sebagai gambaran, harga udang di tingkat pembudidaya Sulawesi Selatan sebelumnya adalah 70 ribu rupiah per kg untuk size 100 ekor per kg. Namun pada saat ini, dengan size yang sama harga tidak pernah melewati angka 50 ribu rupiah setiap kg. Ini kemudian membuat sejumlah pelaku usaha budidaya mulai siaga satu, mencari solusi agar bisnis ini bisa bertahan dan tidak tutup.
Selain harga turun, HPP udang di Indonesia lebih mahal 0,7 $ US dari Ekuador, 0,5 $ US dari India dan 0,3 $ US dari Vietnam. Tingginya angka kematian udang di tambak karena kasus penyakit dan ongkos logistik yang lebih mahal juga menjadi penyebab tingginya HPP.
Ongkos logistik jadi tinggi, karena Indonesia merupakan archipelagos state (negara kepulauan ) yang kondisi infrastruktur konektifitasnya masih terkendala. Berbeda dengan Ekuador, China, Vietnam dan India yang merupakan negara continental dengan infrastruktur konektifitasnya sudah lebih baik sehingga memiliki ongkos logistik yang lebih murah.
Selain itu, sistem budidaya udang multistep (berbasis nursery atau pentokolan), padat tebar rendah dan penggunaan autofeeder jadi kunci sukses Ekuador, Vietnam dan India sehingga bisa menekan HPP dan berujung pada daya saing yang lebih baik.
Hasil diskusi non formal bersama sejumlah asosiasi, diperkirakan produksi udang Indonesia tahun 2023 turun kurang lebih 20 % dari 450 ribu MT tahun sebelumnya menjadi 370 ribu MT. Kondisi ini tentunya akan menurunkan volume maupun nilai ekspor Indonesia.
Bahkan, akan berdampak terhadap pencapaian target Kementrian KP dalam upaya peningkatan produksi dan nilai melalui revitalisasi tambak udang tradisional serta mendorong tambak teknologi intensif maupun semi intensif dengan cara-cara yang baru.
Turunnya produksi tahun 2023 merupakan dampak menurunnya permintaan benur, pakan dan input produksi lainnya, karena sejumlah pembudidaya menurunkan padat tebar dan sebagian lagi berhenti untuk sementara waktu dengan menunggu kondisi yang membaik.
Bila kondisi seperti ini terus terjadi dan berkepanjangan tanpa upaya solusi, dikhawatirkan akan berdampak terhadap tutupnya sejumlah usaha perbenihan, pakan, sapras dan lainnya, yang mana fenomenanya mulai terlihat. Boleh jadi industri hilir juga harus diperkenankan mengimpor bahan baku untuk diproses sebagai upaya mempertahankan serapan tenaga kerja.
Selain kasus penyakit dan ongkos logistik yang tinggi, mutu udang Indonesia juga dinilai rendah karena penerapan Cold Chain System (CCS) tidak maksimal, antara lain karena ketersediaan es dan air bersih yang terbatas pada sejumlah sentra produksi dengan akses infrastruktur yang juga belum memadai .
Mutu, juga diperparah oleh rantai tataniaga yang panjang. Sebagai informasi, produksi udang di Palu, Sulawesi Tengah, harus di angkut ke Makassar dan waktu tempuh sekitar dua hingga tiga hari tiba di industri processing dengan ongkos logistik sekitar 5.000 rupiah per kg.
Jika produksi harus dipasarkan ke Surabaya, karena harga dan daya serap lebih tinggi dari Makassar, maka waktu tempuh menjadi lima hari menggunakan transportasi integrasi darat dan laut. Ongkos logistik dengan cara seperti ini, dua kali lipat dibanding dipasarkan ke Makassar.
Berdasarkan data yang dirilis ITC Trade Market (2023) bahwa ekspor udang ke pasar dunia pada tahun 2020 sebesar 2.507.223 MT, oleh Ekuador (657.122 MT), India (575.426 MT), dan Vietnam (378.310 MT), serta Indonesia (229.995 MT) sedangkan sisanya dari negara lain.
Selanjutnya ekspor ke pasar dunia tahun (2022) meningkat menjadi 3.085.386 MT. Dan diprediksi pada tahun 2023, eksport udang tetap meningkat, meskipun harga udang di pasar dunia cenderung turun. Disinilah pertarungan efisiensi strategi yang dibangun oleh negara produsen utama.
Ekspor Ekuador pada tahun (2022) meningkat dua kali lipat menjadi (1.140.881 MT), India (704.031 MT), Vietnam (379.193 MT), sedangkan Indonesia tidak meningkat signifikan, tumbuh 0,62 % (231.413 MT). Diperkirakan pada tahun 2023 ekspor Indonesia akan turun menjadi (202.262 MT) atau sebesar -12,59 persen.
Persoalan Indonesia tidak hanya mahalnya HPP, tetapi pasarnya dominan ke Amerika Serikat yang saat ini sedang mengalami krisis ekonomi yang cukup panjang dan berdampak terhadap menurunnya permintaan udang negeri paman Sam karena daya beli terganggu .
Berdasarkan data dari NOAA (2023), bahwa ekspor udang Indonesia ke pasar Amerika Serikat tahun 2020 sebesar 145.934 MT atau kurang lebih (63,5 %) dari total ekspor. Selebihnya diekspor ke Jepang , Uni Eropa dan China. Pada tahun 2020 Amerika Serikat mengimpor udang sebesat 747.384 MT.
Pada tahun 2022 ekspor udang Indonesia ke pasar Amerika Serikat sebesar 139.939 MT atau turun sekitar - 4,1 %. Dan diperkirakan ekspor tahun 2023 akan menurun lagi pada kisaran angka 120.000 MT dengan harga tidak sebaik dari sebelumnya.
Ekuador, India dan Vietnam lebih dahulu memperbesar pasar ke Uni Eropa. Negara-negara ini juga telah membuka pasar ke Cina karena permintaan mendekati 1 juta ton meskipun harga lebih murah dari Uni Eropa, Jepang dan Amerika Serikat.
Melihat dinamika industri udang yang telah diuraikan , Indonesia seyogianya melakukan upaya yang antisipatif dan perbaikan kinerja antara lain: (1) menjaga semangat pembudidaya, (2) membuka pasar baru, termasuk dalam negeri, (3) memperbaiki sistem budidaya, dan (4) mengembangkan industrialisasi berbasis cluster pulau besar.
Menjaga semangat pembudidaya menjadi poin penting, karena saat ini sejumlah pembudidaya sedang mengalami “shock” karena harga yang diterima berkurang hingga 30 % dari sebelumnya dengan resiko usaha yang tinggi karena ancaman penyakit.
Mematuhi aturan perizinan yang telah dibuat sejumlah kementrian teknis dinilai penting dalam upaya keteraturan dan membangun daya saing memenuhi tuntutan tamah lingkungan . Hanya saja “tekanan-tekanan” oleh pihak tertentu terkait dengan penerapan aturan itu perlu diminimalkan dahulu.
Upaya menerapkan standarisasi terkait dengan perizinan tentunya bisa dilakukan secara persuasif, karena pembudidaya udang pada saat ini dalam kondisi “sakit”. Dan juga sementara berupaya melalui asosiasi dan personal memperbaiki sistem budidaya dan efisiensi agar usaha bisa membaik , meski tidak akan sebaik dari sebelumnya.
Membuka pasar baru seperti ke UE dan Cina diperlukan effort ekstra. Menembus ke pasar UE menuntut mutu yang lebih tinggi dan harus bisa ditelusur terkait cara budidaya dan pasca panennya hingga cara process-nya. Dan hal inilah masih menjadi salah satu kendala serius.
Sementara itu menembus ke pasar China relatif lebih mudah, hanya saja harga pembelian lebih murah ketimbang dipasarkan ke UE dan Jepang maupun Amerika Serikat. Karena itu efisiensi menjadi kunci agar udang Indonesia mampu dan bisa bersaing di pasar China
Pasar dalam negeri dengan kondisi harga seperti ini tentunya sangat penting ditumbuhkan . Kampanye budaya makan udang harus terus digalakkan dalam upaya perbaikan kualitas SDM, karena stunting di negeri ini masih sekitar 24 % diatas standar WHO 20 % , dan menjadi salah satu yang tertinggi di Asia Tenggara.
Sudah saatnya pengembangan industrialisasi udang menerapkan pendekatan cluster berbasis pulau besar. Dengan pendekatan seperti itu, pabrik input produksi seperti benih, pakan dan sapras lainnya berada pada satu daratan.
Demikian pula dengan hilirisasinya yang harus dirancang berorientasi Blue Economy yang menjadi salah satu target Indonesia Emas 2045 yang saat ini senentara disusun. Dengan pendekatan seperti ini, maka efisiensi dan daya saing bisa terbangun.
Oleh Hasanuddin Atjo, Dewan Pakar SCI