• Home
  • Infomina
  • KKP Gandeng FAO Kendalikan Resistensi Antimikroba

KKP Gandeng FAO Kendalikan Resistensi Antimikroba

| Thu, 10 Dec 2020 - 13:32

Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya atau DJPB, Kementerian Kelautan dan Perikanan, menggandeng Food and Agriculture Organization atau FAO, mengendalikan resistensi antimikroba atau AMR pada perikanan budidaya. Kolaborasi ini untuk mendukung perikanan budidaya, yang menjadi salah satu punggung ketahanan pangan dan ekonomi nasional selama pandemi covid-19.


Direktur Jenderal Perikanan Budidaya, Slamet Soebjakto menyebutkan produksi perikanan budidaya di Indonesia cukup tinggi. Baik untuk komoditas air payau, air tawar dan laut. Namun, proses produksi kerap terkendala penyakit yang menginfeksi ikan. Berupa virus, bakteri, jamur, maupun parasit.


Upaya mengatasi penyakit, lanjutnya, tidak terlepas dari penggunaan antimikroba, namun dalam pemakaiannya harus dilakukan secara bijak.


"Penggunaan antimikroba secara luas yang tidak terkendali dapat memicu munculnya resistensi antimikroba. Namun begitu, penggunaan antimikroba tidak menjadi masalah apabila digunakan secara tepat sesuai dengan jenis bakteri yang menginfeksi, dosis dan sesuai dengan mekanisme kerja antibakteri tersebut,” kata Slamet Soebjakto dalam siaran pers di Jakarta, Senin (23/11).


Baca juga: Alasan KKP Minta Pembudidaya Ikan Gunakan Produk Hasil Riset Probiotik RICA


Kementerian Kelautan dan Perikanan menetapkan target produksi perikanan pada tahun 2020 sebanyak 26,46 juta ton. Sebanyak 7,38 juta ton dari perikanan tangkap di laut, 636.080 ton perikanan darat dan 7,45 juta ton dari perikanan budidaya, serta 10,99 juta ton dari rumput laut.


Untuk mencegah resistensi antimikroba, DJPB bersama FAO menggelar acara National Training Workshop on Antimicrobial Resistance Surveillance and Monitoring, di Anyer Kabupaten Serang pada tanggal 16 - 19 November 2020 lalu.


Slamet menambahkan, acara tersebut merupakan salah satu upaya DJPB untuk ikut serta mengendalikan resistensi antimikroba khususnya di perikanan budidaya.


Resistensi antimikroba merupakan salah satu permasalahan global yang perlu mendapat perhatian serius baik pada bidang kesehatan manusia, hewan maupun perikanan. Khusus untuk perikanan, pengaturan tentang resistensi antimikroba telah diatur oleh World Organization for Animal Health atau OIE dalam Aquatic Animal Health Code Tahun 2014 terutama pada Bab 6.


Baca juga: Probiotik, Pencegah Penyakit dan Pendorong Produksi Perikanan Budidaya


Pemerintah Indonesia, lanjut Slamet, juga telah mengeluarkan Instruksi Presiden terkait pengendalian antimikroba kepada Menteri Kelautan dan Perikanan melalui Inpres Nomor 4 Tahun 2019. Dan mengatur penggunaan antimikroba yang diperbolehkan di perikanan budidaya sesuai dengan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 01/PERMEN-KP/2019 tentang Obat Ikan, dengan antimikroba meliputi eritromisin, enrofloksasin, klortetrasiklin, oksitetrasiklin, dan tetrasiklin.


Perikanan budidaya menjadi salah satu tulang punggung ketahanan pangan dan pemulihan ekonomi nasional selama pandemi covid-19. Oleh karenanya, lanjut Slamet, DJPB tidak mau di saat kondisi seperti sekarang, produktivitas perikanan budidaya terganggu karena adanya penyakit yang menyerang pada ikan.


“Pada saat seperti sekarang ini harus mampu merumuskan formula penanganan penyakit dalam perikanan budidaya tetapi tidak meningkatkan risiko terjadinya resistensi antimikroba dan pada akhirnya tidak mengganggu produksi perikanan budidaya nasional,” ujar Slamet.


Baca Juga: Probiotik dalam Akuakultur


Kesamaan Persepsi

Direktur Kawasan dan Kesehatan Ikan DJPB, Tinggal Hermawan juga menggarisbawahi pengendalian resistensi antimikroba merupakan upaya untuk memastikan produk akuakultur, khususnya komoditas ikan konsumsi telah memenuhi prinsip keamanan pangan sehingga menjamin kesehatan masyarakat.


“Penggunaan antimikroba yang menyimpang dan berlebihan baik pada bidang kedokteran dan produksi pangan telah menjadi risiko bagi seluruh bangsa di dunia,” ujar Tinggal.


Tinggal menambahkan Indonesia telah menyusun rencana aksi nasional pengendalian AMR tahun 2020-2024 yang dikoordinasikan oleh Kementerian Kesehatan. Penyusunan aksi ini melibatkan Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Pertanian, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta BPOM.


Rencana Aksi Nasional Tahun 2020–2024 ini merupakan kelanjutan rencana aksi nasional sebelumnya.


Guna mendukung keberhasilan pengendalian AMR, ia menilai, komunikasi antar petugas laboratorium baik di lingkup UPT DJPB maupun Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi perlu lebih diperkuat lagi, khususnya dalam melaksanakan surveilan dan monitoring penggunaan antimikroba (AMU)/AMR dan pengujian AMR.


Jejaring antar Laboratorium Kesehatan Ikan dan Lingkungan (Keskanling) ini sangat dibutuhkan. Oleh karenanya penting mulai dari Pusat sampai ke Daerah untuk meningkatkan kapasitas laboratorium yang dimiliki. Serta meningkatkan koordinasi agar dapat lebih bersinergi dalam melakukan kegiatan surveilan dan monitoring tersebut.


“Kegiatan seperti ini sebagai bentuk kesepahaman, keselarasan dalam meningkatkan pemahaman dan kewaspadaan terhadap resistensi antimikroba. Selanjutnya dari hasil penyamaan persepsi dalam pengumpulan data AMR dapat dilakukan pembaharuan Juknis Surveilan dan Metode Uji AMR khususnya dalam bidang perikanan budidaya,” tutur Tinggal.


Baca juga: Cegah AHPND Masuk Wilayah NKRI, KKP Siapkan Strategi Langkah Antisipatif


Ia berharap pelatihan AMR yang digelar bersama FAO akan mengembangkan kapasitas dan kemampuan teknis dari personel laboratorium uji yang ada di Unit Pelaksana Teknis DJPB dalam melakukan Surveilan AMR dan menguji kepekaan antimikroba.


“Sehingga penyakit pada perikanan budidaya bisa ditangani dengan baik dan benar, tanpa menimbulkan risiko terjadinya resistensi antimikroba, serta produksi perikanan budidaya bisa lebih baik dan meningkat,” tandas Tinggal.


National Consultant FAO, Mukti Sri Hastuti menyebutkan kesinambungan dari rangkaian kegiatan pengendalian AMR berupa sebuah Technical Guideline bagi petugas di laboratorium dan data yang dihasilkan merupakan gambaran valid kegiatan Surveilan dan Monitoring AMU/AMR.


“Diharapkan adanya pelatihan AMR ini, semua peserta akan mempunyai persepsi yang sama pengambilan sampel, preparasi sampel, pengujian dan pembacaan data hasil pengujian,” harap Mukti.


Sumber: Valid News

Artikel lainnya