• Home
  • Infomina
  • I Wayan Suwarbawa, Pelopor Rumput Laut dari Nusa

I Wayan Suwarbawa, Pelopor Rumput Laut dari Nusa

| Sat, 26 Dec 2020 - 17:55

Sosok yang sering disebut-sebut sebagai motor budidaya rumput laut di Desa Lembongan – Bali dan sekitarnya ialah I Wayan Suwarbawa. Laki – laki ini tak surut bergelut menekuni budidaya rumput laut sejak ia masih bujangan hingga kini mulai ubanan. 

 

“Rumput laut sudah bertahun-tahun memberikan kita penghidupan masak sih kita harus berpaling. Yang mesti kita lakukan kan bagaimana mensinergikan itu yang perlu. Kalau mengabaikan, itu juga dosa. Di awal-awal mulai, saya berpikiran bagaimana rumput laut itu hanya dijadikan penghasilan sampingan oleh masyarakat. Okelah mereka menjadi pengusaha tetapi dia juga bisa menjadi wirausaha di budidaya rumput laut, sehingga akan tetap survive dalam situasi bagaimanapun,” tegas lelaki kelahiran 11 Maret 1972 ini.

 

Pada 2008, Suwarbawa mendatangkan strain rumput laut yang baru (jenis Cottonii karang jahe) dari  Nusa Dua dan berhasil mengembangkannya hingga menjadi bibit yang dikirim ke Nusa Penida, Nusa Tenggara Timur (NTT), hingga Papua. Ia juga mengembangkan varietas Sakul (Kappaphycus striatum) dan Alvarezii (Kappaphycus alvarezii) yang kini dominan berkembang di perairan Nusa Lembongan, Nusa Ceningan dan Nusa Penida. 

 

Cinta Lingkungan

Ia yang mengarahkan kecintaannya pada lingkungan, menjadi lebih aware terhadap rumput laut setelah pengalaman di berbagai pekerjaan terkait pelestarian lingkungan. Usai menamatkan pendidikan Arkeologi di Universitas Udayana pada 1996, I Wayan Suwarbawa mulai bekerja sebagai fasilitator lingkungan pada sebuah NGO Lingkungan. Ia lantas tergelitik untuk menekuni bidang pelestarian lingkungan. 

 

“Awalnya jadi fasilitator lingkungan di TNC (The Nature Conservacy), mau tidak mau jadi ikut peduli lingkungan. Waktu itu begini, kenapa orang luar yang datang ke Lembongan malah peduli dengan daerah saya, sedangkan kami yang di Lembongan masih suka buang sampah sembarangan, makan sate penyu, merusak mangrove. Akhirya dari ilmu itu kami menekuni dan ketagihan,” kisah Suwarbawa.

 

Dua tahun berkecimpung dalam kerja-kerja fasilitasi pemberdayaan di beberapa daerah di Bali, ayah dua anak ini kemudian memutuskan pulang kampung guna mengembangkan rumput laut di kampungnya, yakni Desa Lembongan. “Pas awal - awal di rumput laut itu, nangis saya. Karena banyak yang mencemooh. Belum lagi waktu itu mau kawin dan sebagainya. Kata orang tua, jauh - jauh sekolah cuma jadi petani rumput laut apa bedanya dengan yang tidak bersekolah,” ceritanya. 

 

Dia pun melanjutkan, waktu itu dirinya pun menguatkan diri. Karena, baginya berbudidaya rumput laut perlu pengetahuan dan penguasaan teknologinya. “Sehingga, tatkala kita menguasai itu, kita tidak akan mudah menyerah pada alam, tapi kita akan mencoba membuat harmoni alam itu terjadi. Paling tidak, kita bisa beradaptasi terhadap lingkungan,” kenang Suwarbawa. 

 

Tak Bergeming

Di saat banyak yang beralih usaha ke pariwisata, Suwarbawa tetap bergeming. Setelah mengenalkan  bibit rumput laut semenjak 2008 lalu, pada 2014 ia bersama pembudidaya rumput laut lainnya menemui tantangan.

 

Sekitar 2014, harga rumput laut turun drastis. Dari seharga Rp 8 ribu per kilogram (kg), menjadi hanya Rp 2.500 per kilogram. Hal ini disebabkan karena cuaca yang tidak menentu, hama yang menyerang hingga penyakit ais ais (ice – ice). 

 

Ditambah lagi kran pariwisata masif mulai dibuka di Lembongan. Bersamaan dengan itu, mata pencaharian warga mulai bergeser. “Gejalanya mulai 2014 hingga 2016, orang sudah mulai banyak yang keluar dari rumput laut. Pada 2017, sudah tidak ada petani lagi. Saya sendiri wara – wiri  ke Nusa Tenggara Timur (NTT), Papua kasih training dan gak sempat juga bertahan karena istri ngurus salon dan spa. Begitu balik, lihat rumput laut sudah tidak ada ya sedih juga karena kita kehilangan strain yang unggul,” kenang Suwarbawa.

 

Semarak Budidaya

‘Hasil itu jarang mengkhianati usaha’, begitu pepatah mengatakan. Pada Februari 2018, Suwarbawa kembali mencoba ‘bermain - main’ dengan rumput laut jenis Sakul. “ Saat itu nyoba pakai kantong. Hama ikan masih mengganas. Saat itu, pemerintah belum melakukan kajian. Saya coba dengan ngambil bibit di Semaya dapat 20 kantong. Begitu panen, jadi 80 kantong,” katanya. 

 

Percobaan tersebut berlangsung hingga Maret 2018. Di April, pemerintah kabupaten melakukan penelitian dengan menggunakan jaring penutup.  Kala itu (periode April, red), bisa dikatakan sebagai awal kegiatan budidaya rumput laut kembali hidup di Lembongan. Hingga Desember 2018, hasilnya bagus. 

 

Termasuk juga menjawab asumsi masyarakat selama ini bahwa limbah pariwisatalah yang merusak rumput laut. “Ternyata, secara kajian limbah tidak signifikan mempengaruhi. Sebab, rumput laut hasilnya tetap bagus. Syukurnya lagi, awal 2019 ada program GEF-SGP (Global Environmental Facility - Small Grants Programme) Indonesia yang berkolaborasi dengan Yayasan Wisnu dan Yayasan Kalimajari untuk kegiatan pembudidayaan bibit. Kita melanjutkan yang sudah ada dan mendatangkan strain baru dari Sulawesi dan NTT,” imbuh Suwarbawa. 

 

Kemudian, pada April 2019, perlahan-lahan mulai ada masyarakat yang ikut menanam. “Ada lima orang yang turun. Pada Maret 2019, untuk program Kalimajari di Semaya yang perlu bibit, kita support untuk bibit jenis Alvarezi itu. Karena di Semaya itu paceklik, begitu dicoba di sana alvarezi-nya bagus, bisa ngembang. Di Agustus, mereka (warga) sudah beli bibit,” terang Suwarbawa. Berikutnya, di September 2019, tercatat 15 orang ikut menanam dan berlanjut di Oktober. Hingga Desember 2019, ada 150 orang yang turut berbudidaya. 

 
Covid adalah Momentum

Ketika sebagian besar lini bisnis pariwisata keok gara - gara covid, tidak halnya dengan sektor budidaya rumput laut. Di Nusa Lembongan, selama masa pandemi, aktivitas berbudidaya rumput laut justru makin bergairah. 

 

Para pelaku pariwisata yang tidak lagi bekerja, kini ramai - ramai mematok lahan, mengikat rumpun - rumpun bibit rumput laut dan membentangkan tali - tali tersebut di perairan yang sekian tahun ditinggalkan. “Kalau saya ngelihatnya manusiawi juga. Bukan berarti mereka tidak punya uang. Kadang-kadang stres itu kan disebabkan karena tidak punya uang dan tidak punya kegiatan. Yang punya uang, diambil - ambil terus, gak kerja kan bingung juga. Lama - lama kan habis. Ya pilihannya mereka turun juga,” tukas Suwarbawa. 

 

Ia pun mencatat, kurun waktu April hingga Juli, setidaknya ada 850-an kepala keluarga (KK) yang menanam rumput laut. “Yang gila - gilaan sekitar Juni - Juli hingga sekarang, ada 850-an KK yang turut menanam. Itu yang di Teluk Ceningan saja. Belum di Jungut Batu yang belakangan juga mulai kapling lahan juga untuk menanam. Teman - teman yang ada vila, yang punya usaha dive cruises mulai ikut turun laut juga,” imbuh Suwarbawa. 

 

Dalam masa pandemi ini ia pun punya harapan. “Kepada masyarakat pesisir yang memiliki potensi budidaya rumput laut, berbudidayalah. Karena akan ada peningkatan kualitas hidup. Ada peningkatan kesejahteraan di sana. Bagi pembudidaya, tetaplah telaten, sabar melakukan budidaya dalam situasi apapun,” tuturnya.


Meskipun akan ada tantangan harga turun, ada ais ais, dan lainnya. “Namun, dengan kesabaran itulah kita akan menemukan titik harmoni yang paling tinggi. Kalau kita nggak sabar, kita akan meninggalkan budidaya.Kalau kita meninggalkan sesuatu yang sudah terbukti menopang kehidupan kita, kita akan kualat,” pungkas Suwarbawa


Artikel lainnya

Rumput Laut 

KKP: Rumput Laut Jadi Solusi Masalah Limbah Plastik

Minapoli

1243 hari lalu

  • verified icon2246