Bangun Pertambakan Ramah Iklim

| Mon, 23 Aug 2021 - 10:07

Hilangnya mangrove merupakan sumber emisi karbon terbesar pada aktivitas tambak

 

Perubahan iklim, termasuk di dalamnya pemanasan global akibat efek gas rumah kaca telah menjadi salah satu isu terhangat di dunia. Isu ini tak pelak menyasar berbagai industri yang aktivitasnya menghasilkan karbon penyebab efek gas ruma kaca. 

 

Industri akuakultur, terutama tambak udang termasuk industri yang dihadapkan pada isu ini. Beberapa riset global menyebutkan bahwa tambak udang merupakan salah satu industri yang meninggalkan jejak karbon bagi planet bumi sehingga tak jarang mendapatkan citra yang negatif. 

 

Hal tersbut disampaikan oleh Director of Ocean Program The National Conservancy (Yayasan Konservasi Alam Nusantara), Muhammad Ilman, dalam acara seminar daring Fostech ke-9 yang diadakan oleh Masyarakat Akuakultur Indonesia (MAI) beberapa waktu lalu. Acara daring yang rutin digelar MAI kali ini mengusung tema “Towards Friendly-Climate Aquaculture”.

 

Baca juga: Pentingnya IPAL untuk Tambak Udang


Menurut Ilman, aktivitas tambak udang memang meninggalkan jejak karbon. Tetapi itu jauh lebih kecil dibanding aktivitas sejenis di daratan, yakni peternakan. Namun demikian, jejak karbon ini tetap perlu diminimalisir agar kegiatan akuakultur menjadi lebih ramah lingkungan dan ramah terhadap iklim. 

 

Jejak Karbon Tambak

Jejak karbon yang dihasilkan oleh aktivitas tambak udang terjadi saat tambak dibangun dan saat beroperasi. Pada saat pembangunan, emisi karbon terjadi akibat penebangan tanaman mangrove dan penggalian tanah. Menurut Ilman, kedua aktivitas tersebut memicu pelepasan karbon. “Jadi waktu tambak ini dibuka, mangrove yang ditebang itu menghasilkan emisi. Demikian juga dari tanahnya ini terus menerus mengeluarkan emisi karbon,” katanya. 

 

Suatu paper (penelitian) internasional menunjukkan adanya perbedaan antara tambak intensif dan tradisional dalam menghasilkan emisi karbon. Studi itu menyimpulkan bahwa tambak tradisional cenderung menghasilkan emisi karbon jauh lebih besar dibanding tambak intensif. Menurut Ilman, mengutip paper tersebut, untuk mengahasilkan 1 kg udang vannamei pada lahan intensif dibutuhkan kurang lebih 2 kg CO2. Sementara pada tambak ekstensif atau tradisional, untuk menghasilkan vannamei 1 kg dibutuhkan hingga 1,6 - 2 ton CO2. Salah satu sebab tingginya emisi ini karena banyak lahan mangrove yang hilang. 

Baca juga: KKP Ciptakan Inovasi Kincir Air Tambak Hemat Energi Berbahan Baku Lokal & Ramah Lingkungan
 

Isu ini mejadi sangat penting karena Indonesia memiliki kawasan mangrove terbesar di dunia. Dari seratus negara yang memiliki mangrove, sebesar 25 persen kawasannya ada di Indonesia. Hal ini menjadi lebih buruk setelah sejak tahun 1800-an hingga saat ini, sudah ada sekitar satu juta hektar lahan mangrove yang hilang. Seluas 800 ribu hektar diantaranya hilang akibat pembukaan tambak yang masif pada tahun 1980-an. “Ini lah faktor kenapa emisi gas rumah kaca dari tambak kita ini sangat besar,” ungkap Ilman. 


Sumber: TROBOS Aqua


Artikel lainnya

Udang 

Percontohan Klaster Budidaya Udang Berkelanjutan Dibangun

Minapoli

1908 hari lalu

  • verified icon3344
Udang 

Langkah Penetrasi Digital di Perudangan

Trobos Aqua

960 hari lalu

  • verified icon2417
Udang 

Ambisi Genjot Udang 250%, Investasi Tambak Harus Dipermudah

Trobos Aqua

1868 hari lalu

  • verified icon3456
Udang 

Study of Co-Infection of WSSV and Vibrio Parahaemolyticus

Minapoli

1867 hari lalu

  • verified icon3233