• Home
  • Infomina
  • Menuju Pengembangan Desa Berbasis Pengawasan

Menuju Pengembangan Desa Berbasis Pengawasan

| Thu, 04 Nov 2021 - 10:56

Alat tangkap ikan jenis pukat harimau (trawl) merupakan puncak pengembangan teknologi alat tangkap ikan, karena tidak ada lagi ditemukan teknologi alat tangkap ikan seproduktif trawl, hal ini disampaikan karena salah satu permasalahan IUU (Illegal Unreported, Unregulated) Fishing yang terjadi di Indonesia, salah satu penyebabnya adalah masih maraknya penggunaan trawl dengan segala turunannya atau yang menyerupai. 


Sebagaimana diketahui alat trawl dilarang penggunaannya di Indonesia berdasarkan Keppres 39 Tahun 1980.  Semenjak itulah marak berkembang modifikasi alat tangkap menyerupai trawl dalam skala kecil sampai besar yang beroperasi di daerah penangkapan ikan nelayan kecil, sehingga menimbulkan konflik sosial antar nelayan yang berkepanjangan sampai saat ini.


Gambaran ini sekilas  pertunjukan perebutan daerah penangkapan (Fishing Ground) sementara di daerah potensial lainnya seperti Laut Natuna, Anambas, Arafuru,  Papua Selatan, Utara Kalimantan menjadi lahan pesta pencurian oleh Nelayan Asing dengan IUU Fishing, di beberapa perairan laut yang kaya dengan potensi terumbu karang dan ikan demersal pun tidak luput dari tindak pelanggaran yang bersifat destructive Fishing, yakni usaha penangkapan ikan dengan penggunaan Bahan Peledak, dan racun yang sangat merusak habitat terumbu karang dan melumpuhkan kesinambungan potensi terumbu karang yang multiguna dalam mendukung kesuburan perairan.




Pelanggaran demi pelanggaran yang diekspresikan oleh pelaku usaha yang menginginkan jalan pintas banyak terjadi di perairan pantai kita. Meskipun produksi perikanan tangkap laut tahun 2019 sebesar 6,98 juta ton, dan terbuka peluang pemanfaatan sebesar 3,05 juta ton, tetapi tetap harus  memperhatikan aspek keberlanjutan sumber daya ikan. 


Oleh sebab itulah disinilah pentingnya arti sebuah pengawasan, sambil berbenah diversifikasi usaha perikanan tangkap lainnya, di Kementerian Kelautan dan Perikanan tugas Pengawasan dipercayakan pada Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (Ditjen PSDKP) yang dilengkapi dengan Armada Kapal Pengawas sebanyak 124 Unit Kapal dan Speedboat yang tersebar di hampir seluruh perairan Indonesia. Didukung 6 Pangkalan PSDKP, 8 Stasiun PSDKP  dan satuan kerja (Satker) PSDKP dari Wilayah barat, Timur dan Tengah Indonesia, dan ada yang menarik dari semboyan teman-teman Armada Kapal Pengawas Perikanan ini, yakni Pantang Tercela di laut dengan tetap membangun inovasi budaya kerja Profesional, Integritas, Loyalitas, Inovasi dan Sinergi (PILAR).


Yuk, ikuti juga: Kompetisi LensaMina, Membuka Cakrawala Akuakultur Indonesia


Ketersediaan fasilitas dan sumber daya manusia pengawas yang mendukung di dalamnya dirasakan masih jauh dari kebutuhan cukup dengan wilayah laut Indonesia yang sangat luas, dengan berbagai permasalahan pelanggaran pemanfaatan yang terjadi setiap saat dan di hampir semua wilayah perairan di Indonesia.  Oleh sebab itulah pembentukan Pokmaswas (Kelompok Masyarakat Pengawas) sangat diperlukan dan dibutuhkan guna  memperlancar tugas pengawasan, yakni adanya peran serta masyarakat yang bersifat dari arus bawah (Bottom Up), sampai saat ini jumlah Pokmaswas yang ada di Indonesia sebanyak 2.581 Kelompok binaan Ditjen PSDKP.


Semua perangkat yang mendukung tindak pengawasan semata-mata hanya menegakan amanat Undang Undang Nomor 45/2009 Pasal 6 ayat (1) bahwa pada prinsipnya pengelolaan perikanan ditujukan untuk tercapainya manfaat yang optimal dan berkelanjutan serta terjaminnya kelestarian sumber daya ikan.


Namun demikian dalam pengelolaan potensi perikanan laut ini masih belum optimal dan dihadapkan pada beberapa kendala antara lain, pertama masih maraknya aktivitas IUU Fishing, kedua Masih banyaknya gejala tangkap lebih atau over fishing di beberapa wilayah, akibat pemanfaatan masih bersifat Open Acces dan belum menerapkan Limited Entry secara penuh, ketiga masih banyak alat tangkap yang bersifat Destructive (merusak lingkungan), keempat Sistem Pengawasan Pemanfaatan Sumber Daya Ikan yang masih lemah dan belum efektif. 


Meskipun Laut Indonesia memiliki angka potensi lestari yang besar, yaitu 6,4 juta ton per tahun, artinya potensi lestari adalah potensi penangkapan ikan yang masih memungkinkan bagi ikan untuk melakukan regenerasi hingga jumlah ikan yang ditangkap tidak mengurangi populasi ikan, keadaan inilah yang harus diamankan bersama.


Pola pendekatan   masyarakat dengan meningkatkan peran Pokmaswas sangat memungkinkan dikembangkan dengan berbagai metode dan strategi kerja saling mendukung dan  menguntungkan satu sama lain. artinya  masyarakat mendukung sepenuhnya tertib usaha di wilayahnya tanpa harus adanya tindakan represif dari aparat pengawas atau aparat keamanan, tetapi melalui wahana Pokmaswas inilah terjadi komunikasi yang sehat antar pelaku usaha sehingga meminimalkan terjadinya pelanggaran pemanfaatan sumber daya ikan dan lingkungannya. 


Disatu sisi Pokmaswas dapat juga berfungsi sebagai agent of change terhadap para pelaku usaha agar melakukan usaha dengan benar sesuai kaidah perlindungan lingkungan dan keberlanjutan sumberdaya ikan di wilayahnya.


Keberadaan Pokmaswas bisa juga berkembang sebagai  pemberi informasi (informan) yang menyokong informasi terjadinya IUU fishing di wilayah laut tempat mereka berada, sehingga operasi kapal pengawas dapat lebih efisien karena didukung informasi keberadaan pelanggaran IUU Fishing di laut, disamping informasi dari perangkat Satelit PSDKP.  Peran lain dari Pokmaswas adalah melakukan deteksi dini terjadinya pelanggaran destructive fishing yang sering terjadi di lingkungan pantai, kawasan terumbu karang bahkan kawasan konservasi laut yang tidak jauh dari pemukiman masyarakat.  Yakni adanya penggunaan bahan peledak, dan obat bius yang semuanya bersifat merusak kehidupan dan keberlanjutan habitat terumbu karang dengan potensi ikannya.


Akhirnya dengan peran Pokmaswas yang besar dan mendukung knerja pengawasan bidang kelautan dan perikanan   sangat memungkinkan kalau dikembangkan dalam tatanan yang lebih luas dan terorganisasi dengan baik.  Sebagai contoh di daerah Spermonde, Kepulauan Pantar di Alor dan Pulau Semau, Lampung, Kepulauan Seribu serta daerah daerah lain yang memiliki potensi terumbu karang yang luas dan mempesona bagi wisata bahari.  Daerah-daerh inilah yang layak ditetapkan sebagai Desa Berbasis Pengawasan Kelautan dan Perikanan.  

---

Penulis: Sugiono

Profesi: Dosen

Instansi: Politeknik Kelautan dan Perikanan Kupang NTT


Artikel lainnya