• Home
  • Infomina
  • Tantangan Menjaga Kualitas dan Kuantitas Kadar Oksigen Terlarut di Keramba Jaring Apung

Tantangan Menjaga Kualitas dan Kuantitas Kadar Oksigen Terlarut di Keramba Jaring Apung

| Mon, 08 Mar 2021 - 08:54

Keramba jaring apung (KJA) adalah bentuk budidaya perikanan yang sangat umum dijumpai di Indonesia. Tersebar mulai dari Sumatera, Jawa, Lombok, Kalimantan hingga Sulawesi. Luas atau banyaknya keramba juga beragam, namun biasanya ikan yang dibudidayakan di keramba jaring apung selama 4-18 bulan. Yang perlu diperhatikan, tidak semua ikan cocok untuk dibudidayakan pada keramba jaring apung (KJA). 


Kegagalan dalam proses produksi banyak terjadi, disebabkan karena beberapa faktor, seperti pemilihan lokasi yang buruk, tidak mampu menjaga kualitas atau parameter air, hingga tidak terpenuhinya kondisi biologis yang tepat pada keramba.


Berikut beberapa kriteria yang harus dipertimbangkan sebelum Anda memutuskan untuk mengaplikasikan keramba jaring apung (KJA) untuk perikanan : 

- Luas permukaan setidaknya satu setengah acre atau lebih besar (tidak sebaiknya tidak termasuk area untuk tumbuhnya ganggang). (Catatan : 1 acre sama dengan 0,4 hektar).  

- Lebih baik jika kedalamannya 6 kaki. Saat ini keramba jaring apung rata-rata memiliki kedalaman 3 kaki. (Catatan: Satu kaki sama dengan 0,3 meter).  

- Keramba harus memiliki kualitas air yang baik, sehingga posisi keramba disarankan berada pada daerah yang dilalui oleh angin.  

- Keramba tidak harus memiliki daerah aliran sungai (DAS) yang mudah tererosi  

- Keramba tidak memiliki masalah dengan gulma, permukaan yang berlumpur, populasi ikan yang berlebih, deplesi oksigen.  

- Keramba harus memiliki akses untuk semua keadaan cuaca. 


Silahkan Baca: Keramba Jaring Apung Terintegrasi


                            

Foto: print. kompas.com


Dari poin di atas, yang sering menjadi masalah terhadap keberlangsungan budidaya perikanan dengan keramba jaring apung adalah tidak terpenuhinya oksigen. Kualitas dan kuantitas oksigen di keramba jaring apung tak terlepas dari masalah kualitas air. Ketersediaan dan konsentrasi oksigen terlarut (dissolved oxygen/DO) sangat penting untuk pertumbuhan ikan.


Titik kritis oksigen terlarut sebenarnya bervariasi tergantung spesies ikan dan interaksi antara ikan dengan parameter kualitas air lainnya, seperti karbon dioksida, ammonia dan nitrit. Umumnya, spesies air hangat seperti ikan lele dan nila membutuhkan konsentrasi oksigen terlarut di angka 4 mg/l atau lebih tinggi untuk menjaga kesehatan dan konversi pakan.


Ikan air hangat yang sehat sebenarnya dapat mentolerir kadar DO 1 mg/l tapi dalam jangka waktu yang singkat. Jika terpapar dengan kadar DO seminim itu dalam waktu lama, tentu berdampak pada kematian ikan. Bila ikan terlalu lama terpapar pada kadar DO sebesar 1,5 mg/l maka akan menyebabkan kerusakan jaringan, menghentikan pertumbuhan, dan dapat meningkatkan resiko penyakit sekunder. Sebab dengan konsentrasi seperti itu, kemampuan ikan melawan infeksi jauh menurun.  Selain itu,  banyak parasit, penyakit dan bahan kimia yang beresiko untuk merusak filamen insang dan kemudian mengganggu transportasi oksigen.


  Baca juga: Budidaya Sehat dengan KJA Smart


Faktor Fisik, Biologi dan Kimia 

Konsentrasi oksigen terlarut dalam pada badan air bervariasi dari waktu ke waktu dan dipengaruhi oleh faktor fisik, biologi, dan kimia. Pengendalian secara fisik yang mempengaruhi oksigen terlarut adalah suhu, tekanan atmosfer, dan salinitas (kadar garam). Bila terjadi peningkatan salinitas, dan tekanan atmosfer berkurang, kelarutan oksigen akan berkurang. 


Ya, suhu merupakan pengendali fisik penting dari oksigen terlarut. Sebagai contoh, bila suhu air meningkat 10°F, maka  jumlah oksigen yang akan larut dalam air menurun sekitar 10 persen. Selain itu, transfer fisik oksigen antara atmosfer dan air terjadi di seluruh permukaan air ketika konsentrasi oksigen terlarut berada di atas atau di bawah saturasi. Laju perpindahan ini diatur oleh turbulensi di permukaan air.


Di sisi lain, faktor biologis yang mempengaruhi oksigen terlarut adalah fotosintesis tanaman (baik phytoplankton dan macrophytic), tanaman dan respirasi hewan (ikan, invertebrata, bakteri). Sebagian besar oksigen di tambak diproduksi melalui proses fotosintesis tanaman. Alga planktonik (fitoplankton) biasanya menghasilkan sebagian besar oksigen ini. Sementara itu, kepadatan tinggi tumbuhan air (yang berakar) biasanya mengurangi pertumbuhan fitoplankton dan sirkulasi air. Yang pada akhirnya dapat menyebabkan masalah oksigen terlarut di kolam produksi sangkar.


Dilain sisi, ikan juga harus bersaing dengan semua organisme hidup lainnya untuk mendapatkan oksigen terlarut yang tersedia kolam. Kondisi ini amat akut pada malam hari mengingat tanaman air juga mengonsumsi oksigen melalui proses respirasi. Dalam kebanyakan tambak, pada malam hari, respirasi fitoplankton membutuhkan banyak oksigen. Jumlah tanaman dan biomassa ikan juga biasanya berada pada level terbesar ketika cuaca hangat tiba, yang diiringi dengan intensitas cahaya tinggi. Untuk semua alasan ini, jika tiba malam hari pada musim panas, dengan suhu air dan respirasi tinggi, sementara turbulensi angin rendah, membawa masalah terhadap ketersediaan oksigen.


Dalam keramba jaring apung, oksigen terlarut yang rendah besar kemungkinan terjadi karena ikan dipasok dalam jumlah besar. Alasan ikan mati selain karena munculnya wabah juga karena situasi dalam tambak, dan baik langsung maupun tidak langsung erat kaitannya dengan oksigen terlarut rendah.


Baca lainnya: Melihat Lebih Dekat Wisata Keramba Apung di Sumberkima Bali Utara


Musim Peralihan dan Kematian Plankton 

Musim peralihan dan kematian plankton juga membuat oksigen terlarut dapat jatuh ke bawah titik kritis. Musim peralihan yang terjadi selama musim hujan, angin kencang, menuju ke musim panas, menyebabkan oksigen di lapisan atas air bercampur dengan oksigen di lapisan dasar tambak. Pencampuran dua lapisan ini mengurangi total oksigen terlarut dalam keramba, dan biasanya sangat mungkin terjadi di daerah aliran sungai besar.


Adapun kematian plankton dapat terjadi sebagai konsekuensi alami dari dinamika populasi alga karena adanya perubahan musiman suhu, pH, intensitas cahaya, nutrisi, penyakit, parasit, racun, atau faktor-faktor lain yang tidak dipahami dengan jelas. Selain itu, kematian plankton juga  dapat terjadi sebagai konsekuensi dari malam oksigen terlarut rendah. Dalam hal ini, kepadatan dan biomassa plankton yang menjadi begitu besar sehingga konsentrasi oksigen terlarut kritis akibat tuntutan respirasi malam hari. Plankton mati karena kekurangan oksigen bersama dengan ikan.


Oleh karena itu sangat diperlukan teknik manajemen oksigen. Manajemen oksigen terlarut meliputi manipulasi biologi dan mekanik. Manipulasi biologis dapat mencakup pemupukan (pengapuran) kolam dan mengontrol keberadaan tanaman untuk menjaga fitoplankton tetap sehat. Adapun manipulasi mekanik dilakukan melalui aerasi untuk membantu menjaga konsentrasi oksigen terlarut tetap optimum.


Artikel Asli


Artikel lainnya

Terkini 

Udang Vaname Jepara Masuk Tiga Besar Invesment Challenge

Minapoli

932 hari lalu

  • verified icon1990
Terkini 

FAO: “Potensi Magot BRBIH Sangat Menarik”

Minapoli

1748 hari lalu

  • verified icon3029
Terkini 

Siasati Pandemi dengan Karantina Online

Trobos Aqua

1503 hari lalu

  • verified icon2679
Terkini 

Prof Rokhmin Dahuri: Ikan Hias Sumbang Devisa Rp 500 Miliar

Minapoli

1515 hari lalu

  • verified icon2955