Menteri KKP: Akuakultur Jadi Ujung Tombak Perikanan Nasional
| Tue, 12 Nov 2019 - 16:12
Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Edhy Prabowo memastikan
subsektor akuakultur akan menjadi ujung tombak Kementerian Kelautan dan
Perikanan (KKP). Akuakultur diharapkan bisa memberikan kontribusi lebih besar
terhadap perekonomian nasional, penyediaan lapangan kerja, dan penyediaan
pangan.
Hal tersebut disampaikan Menteri Edhy saat membuka secara resmi ajang Aquatica
Asia dan Indoaqua 2019 di Balai Kartini, Jakarta, Rabu (6/11) kemarin.
Edhy menegaskan ada dua tugas utama yang disampaikan presiden terhadap dirinya
dalam memimpin sektor kelautan dan perikanan selama lima tahun ke depan.
Pertama, memperbaiki komunikasi dua arah dengan para stakeholders,
khususnya nelayan, pembudidaya, pengolah, pemasar ikan dan petambak garam.
Kedua, mendorong pertumbuhan industri akuakultur nasional.
"Tugas dari Presiden Jokowi pada saya dua hal besar. Pertama, membangun
komunikasi dua arah antara nelayan pelaku usaha di sektor ini sehingga tidak
ada lagi istilah seolah-olah negara tidak ada di tengah-tengah keberadaan usaha
saudara-saudara sekalian," ujar Edhy.
Kedua, membangun sentra produksi ikan budidaya, meningkatkan sektor ini karena
sektor inilah yang paling berpeluang untuk menambah lapangan pekerjaan, devisa
negara.
Edhy mengaku terbuka menerima masukan dari seluruh stakeholders kelautan
dan perikanan demi perbaikan industri ke depannya.
Edhy mengatakan, dalam beberapa hari pertama masa kepemimpinannya, ia telah
berdialog dengan sejumlah pelaku usaha dan menangkap permasalahan yang ada. Ia
menegaskan akan melanjutkan kebijakan dan program yang baik dalam lima tahun
terakhir. Sedangkan kebijakan yang belum sempurna akan ditinjau kembali untuk
disempurnakan.
Edhy juga menyinggung beberapa kebijakan seperti larangan penanganan benih
lobster yang banyak dikeluhkan masyarakat. Ia mengatakan bahwa hal itu
dilakukan semata-mata untuk mengendalikan penyelundupan ekspor benih lobster ke
negara-negara lain.
"Pasalnya, nilai jual benih lobster sangat rendah dibandingkan lobster
dewasa sehingga negara pun kehilangan nilai tambah devisa ekspor," kata
Edhy.
Meskipun begitu, ia mengatakan akan mencari solusi untuk budidaya lobster.
Edhy menilai sudah cukup banyak dukungan KKP untuk mengembangkan usaha budidaya
seperti pembagian eksavator, geomembran untuk produksi garam rakyat serta
bantuan alat pembuat pakan ikan kepada para nelayan dan petambak. Upaya ini
akan terus dilanjutkan.
Ia menekankan, fokus KKP ke depan adalah mendorong industri
akuakultur nasional karena subsektor ini yang paling berpeluang dalam menopang
perekonomian nasional, penyediaan lapangan kerja, dan nilai tambah.
Sejalan dengan itu, Edhy juga meminta pelaku industri pakan nasional untuk
bersama-sama mencari solusi, bagaimana menurunkan harga pakan ikan sehingga
nilai tambah dan keuntungan pembudidaya lebih baik.
"Apa engga bisa kita bikin jalan tengah jangan pakan ikannya mahal terus?
Kalau bisa, ya kita hitung lah sama-sama. Kalau ngambil untung jangan
besar-besar amat, yang penting sustainable. Saya yakin, kita bisa jalan,"
ungkap Edhy.
Edhy melanjutkan, sektor budidaya juga dapat menjadi solusi untuk mengatasi
stunting dalam jangka panjang. Penuntasan stunting menjadi salah satu agenda
prioritas pemerintah Joko Widodo-Ma’ruf Amin saat ini. Dalam hal ini,
pengembangan budidaya perikanan dapat menciptakan lapangan kerja dan
meningkatkan daya beli masyarakat untuk memenuhi gizi keluarganya.
"Stunting menjadi tugas utama di pemerintahan Pak Presiden Jokowi dan Pak
Ma'ruf Amin. KKP menawarkan dua jalan pendekatan," ucap Edhy.
Dalam jangka pendek, KKP siap bekerja sama dengan semua kementerian yang ada.
Sedangkan dalam jangka panjang, budidaya salah satu kartu kunci kita menambah
kesempatan masyarakat memperoleh penghasilan tambah.
"Karena dengan uang yang cukup, orangtua akan juga cukup memenuhi gizi dan
keluarganya," kata Edhy.
Direktur Jenderal Perikanan Budidaya, Slamet Soebjakto mengatakan KKP siap
mendorong industri akuakultur ini memberikan kontribusi sesuai harapan
Presiden. Menurutnya, berkaca dari kinerja lima tahun terakhir sub sektor
akuakultur mencatat capaian yang positif.
"Pendapatan pembudidaya naik dari Rp 3,3 juta per bulan menjadi Rp 3,6
juta per bulan di tahun 2018. Angka nilai tukar pembudidaya ikan (NTPI) juga
melonjak dari sekitar 99 pada 2014 menjadi 102,9 pada 2018. Ini menunjukkan
adanya perbaikan kesejahteraan pembudidaya ikan," kata Slamet.
Namun, Slamet menilai capaian tersebut memang belum optimal. Ia menyatakan,
salah satu strategi yang akan dilakukan yakni mempercepat pengembangan
akuakultur berbasis kawasan di daerah-daerah potensial.
Salah satu contohnya adalah kerjasama pengembangan
akuakultur antara Bupati Gorontalo, Bupati Buol, Bupati Bolaang Mongondow
Utara, Bupati Bone Bolango yang tergabung dalam Badan Kerjasama Utara-Utara
(BKSU). Ia berharap, semakin banyak daerah lain yang akan melakukan kerjasama
serupa.
"Para bupati ini memiliki komitmen tinggi dalam mendorong pengembangan
kawasan budidaya di daerahnya. Ini saya kira jadi modal. Harapannya, komitmen
seperti ini diikuti oleh daerah lain," kata Slamet menambahkan.
Sumber : Republika.co.id