MAI Dukung Produksi Udang Nasional Berkelanjutan dengan Silvofishery
| Wed, 28 Aug 2024 - 18:38
Masyarakat Akuakultur Indonesia (MAI) bersama Minapoli kembali menggelar seri webinar BincangMina yang kedua dengan tema “Silvofishery untuk Memperbaiki Produktivitas Tambak Udang” pada 28 Agustus 2024.
Webinar ini dilaksanakan secara daring dan dihadiri oleh lebih dari 500 peserta yang mayoritasnya adalah pembudidaya, akademisi, dan pemerintahan dari berbagai wilayah di Indonesia.
Narasumber yang dihadirkan pada webinar kali ini adalah akademisi serta praktisi pada bidang silvofishery antara lain Prof. Esti Handayani Hardi selaku guru besar Universitas Mulawarman serta Muhammad Saenong, MP. sebagai praktisi budidaya komoditas air payau.
Webinar dibuka oleh Ir. Denny D. Indradjaja selaku Sekretaris Jenderal MAI. Denny menekankan bahwa MAI akan terus menyelenggarakan berbagai pembahasan mengenai akuakultur.
“MAI akan menghadirkan pembahasan berbagai topik menarik sebagai diseminasi ilmu serta ajang tukar pengalaman untuk terus mengembangkan akuakultur Indonesia,” tegasnya.
Dalam sambutannya, Denny juga mengajak para pegiat perikanan budidaya untuk bergabung dengan MAI selaku organisasi profesi akuakultur independen tingkat nasional dengan jumlah anggota lebih dari 1.400 orang dari seluruh Indonesia.
Sesi pertama dimulai oleh Prof. Esti Handayani dengan topik “Silvofishery: Upaya Peningkatan Produktivitas Tambak Udang Tradisional”. Ia menjelaskan hasil studi lapangnya mengenai penerapan silvofishery untuk budidaya udang yang produktif dan berkelanjutan.
Menurut data tahun 2021, luas tambak semi-intensif dan tradisional mencapai 291.246 hektare dari total 300.698 hektare luas lahan tambak Indonesia. Esti pun menegaskan bahwa hal tersebut merupakan kesempatan untuk meningkatkan produktivitas udang nasional sekaligus menjaga pelestarian hutan mangrove.
Selanjutnya, Esti menerangkan bahwa mangrove dalam praktik silvofishery memiliki berbagai manfaat untuk udang antara lain sebagai agen filtrasi, sedimentasi, suplai nutrien, penghasil zat antipenyakit, sampai pengontrol kelimpahan patogen.
Esti kemudian menjelaskan hasil studinya bersama Badan Restorasi Gambut dan Mangrove mengenai berbagai pola tanam silvofishery. Ia menyebutkan berbagai jenis pola tanam silvofishery antara lain empang parit tradisional, komplangan, empang parit terbuka, dan kao-kao.
Ia pun menuturkan bahwa pola tanam dengan produktivitas paling banyak adalah komplangan. Pola tanam komplangan membagi luasan lahan menjadi petak tambak udang dan lahan mangrove yang dipisahkan oleh saluran air dengan dua pintu terpisah.
Esti pun telah membuktikan keuntungan ekonomis yang didapatkan dengan sistem silvofishery dibandingkan dengan tambak tradisional di daerah Delta Mahakam, Kalimantan Timur.
“Hasil panen udang masyarakat Delta Mahakam dari sistem tradisional biasa itu hanya 20 kilogram (kg) per hektare (ha). Tambak silvofishery dengan sistem empang parit bisa menghasilkan udang hingga 200 kg per ha, bahkan dengan sistem komplangan bisa dioptimalkan hingga 400 kg per ha,” ujarnya.
Sesi kedua dibawakan oleh Muhammad Saenong dengan topik “Membangun Tambak Udang Produktif dengan Silvofishery”. Dalam topik ini, Saenong menekankan sistem silvofishery sebagai praktik budidaya udang yang berkelanjutan.
“Budidaya udang yang berkelanjutan itu tidak merusak lingkungan, sesuai secara teknologi, layak secara ekonomi, dan diterima secara sosial,” ujar Saenong.
Senada dengan Esti, Saenong juga menjelaskan bahwa silvofishery menjadi budidaya udang yang ramah lingkungan karena mangrove memiliki sifat antibakteri. Hal ini dapat mengurangi pemakaian bahan kimia seperti desinfektan.
Ia kemudian menjelaskan bahwa praktik silvofishery telah dilakukan di Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau dan Penyuluhan Perikanan (BRPBAPPP) Maros serta Teluk Parepare.
BRPBAPPP Maros menerapkan penanaman mangrove pada tandon dan saluran air yang mengaliri unit pentokolan udang, penggelondongan nener, serta budidaya kepiting dengan sistem nursery dan crab box.
“Karena jarak dari laut itu cukup jauh, sekitar 3 kilometer, sehingga dengan model silvofishery yang diterapkan di BRPBAPPP Maros itu memberikan harapan yang lebih bagus. Untuk pentokolan udang dapat mencapai kelulusan hidup sampai 80%.”
Di sisi lain, Teluk Parepare terletak di pantai bagian barat Provinsi Sulawesi Selatan yang memiliki kawasan tambak udang tradisional paling luas di Kabupaten Pinrang yakni seluas 2000 hektare.
Saenong menyebutkan bahwa kawasan mangrove yang ada di Teluk Parepare tersebut membantu menjaga garis pematang tambak agar tidak tergerus abrasi serta membantu menyediakan pakan alami udang endemik daerah tersebut yaitu Phronima suppa.
Pada akhir sesi, beliau menekankan bahwa Silvofishery merupakan salah satu upaya budidaya udang dengan tetap memperhatikan daya dukung lingkungan serta mengutamakan keberlanjutan.
Gunakan layanan digital marketing Minapoli secara mudah dengan menghubungi marketing@minapoli.com. Konsultasikan juga strategi marketing perusahaan Anda dengan Minapoli disini!