Budidaya Tradisional-plus sebagai Jalan Pintas Peningkatan Produksi Udang Nasional
| Wed, 16 Mar 2022 - 12:16
Program KKP mengenai peningkatan nilai ekspor udang Indonesia sebesar 250 persen (2020-2024) menyisakan waktu kurang dari tiga tahun lagi. Untuk mencapai program 5 tahun itu, dibutuhkan rata-rata peningkatan nilai ekspor di atas 20 persen setiap tahunnya. Namun pada tahun 2021 sendiri, pertumbuhan ekspor udang masih di bawah 10 persen. Lebih rendah dibanding pertumbuhan tahun 2020 yang mencapai 20-an persen.
Oleh sebab itu, dibutuhkan jalan pintas agar peningkatan produksi udang untuk mendukung target peningkatan nilai ekspor 2,5 kali lipat pada 2024 itu bisa tercapai dengan cepat. Menurut Ketua Umum Forum Udang Indonesia (FUI) Budhi Wibowo, yang dikutip dari Bisnis Indonesia, salah satu caranya bisa dilakukan dengan mentransformasi tambak udang tradisional menjadi tradisional-plus.
Menurut Budhi, strategi ini cukup prospektif karena dilihat dari luas areanya, tambak tradisional memiliki proporsi luas lahan paling besar dibanding sistem budidaya lainnya. Ada sekitar 300 ribu hektar tambak tradisional di Indonesia. Namun produktivitasnya masih sangat rendah hanya sekitar 500 kg/ha/tahun. Jika produktivitas ini bisa ditingkatkan hingga 1-2 ton/ha/tahun, maka akan ada peningkatan produksi yang signifikan.
Selama ini produktivitas budidaya tradisional masih sangat rendah karena masih mengandalkan pakan alami dengan padat penebaran udang yang masih sangat rendah. Dengan tradisional-plus, kata Budhi, peningkatan produktivitas bisa dilakukan melalui penambahan sedikit padat tebar, penambahan pakan pelet, aerator secara terbatas, dan teknologi tepat guna lainnya. Dengan tetap mempertimbangkan kelestarian lingkungan dan penambahan biaya produksi yang tidak besar.
Baca juga: FUI Sarankan Sejumlah Langkah agar Peningkatan Nilai Ekspor Udang 250 Persen Tercapai
Ia menambahkan, perubahan tambak tradisional menjadi tradisional-plus tidak memerlukan modal yang terlalu besar. Kebutuhan modal yang diperlukan antara lain untuk pembelian peralatan aerasi dan tambahan pakan. Modal tersebut bisa didapatkan dari dukungan perbankan melalui kredit usaha rakyat (KUR) yang berbunga rendah.
“Melalui pinjaman KUR senilai Rp50 juta per orang, petambak bisa mengoperasikan beberapa hektar tambak tradisionalnya menjadi tambak tradisional-plus. Peningkatan produksi tambak tradisional menjadi tradisional-plus yang melibatkan ribuan petambak tentu akan memberikan dampak ekonomi yang besar dan mampu menggerakkan perekonomian pedesaan,” ungkap Budhi optimis.
Dibuat Percontohan yang Masif
Di beberapa daerah seperti Sulawesi selatan, Sulawesi Barat, Jawa Timur, dan Lampung budidaya tradisional-plus sudah mulai banyak dilakukan, dan terbukti mampu berproduksi 1-2 ton per ha/tahun. Bahkan menurut Budhy, pada beberapa area mampu berproduksi sekitar 3 ton/ha/tahun.
Namun demikian, sistem yang prospektif ini belum diterapkan dalam skala yang lebih luas, apalagi skala nasional. Pemerintah nampaknya belum melihat secara serius jika sistem tambak udang tradisional-plus bisa menjadi salah satu opsi peningkatan produksi udang nasional secara masif.
Baca juga: Potret Instalasi Pengelolaan Air Limbah Tambak Udang
Oleh sebab itu, Budhi mendorong pemerintah, melalui anggarannya, untuk memperbanyak percontohan-percontohan tambak udang tradisional-plus, agar semakin mudah ditiru oleh para petambak tradisional secara lebih luas. “Melalui penganggaran yang ada pada pemerintah pusat, pemerintah daerah tingkat satu (provinsi) dan tingkat dua (kabupaten) serta didukung oleh para pemangku kepentingan lainnya, maka dalam waktu cepat bisa dibuat ratusan bahkan ribuan hektar tambak percontohan tradisional-plus di seluruh Indonesia,” ujarnya
Revitalisasi Tambak Mangkrak
Konsep tambak tradisional-plus tidak hanya untuk meningkatkan produktivitas dari sistem tradisional saja, tetapi juga bisa untuk merevitalisasi tambak-tambak intensif/semi-intensif yang mangkrak. Serangan penyakit pada udang banyak menyebabkan sekitar 20 - 30 persen tambak-tambak intensif dan semi-intensif berhenti beroperasi dan mangkrak.
Maka alih-alih tetap mangkrak, ribuan tambak tersebut bisa kembali dioperasikan dengan menggunakan sistem tradisional-plus yang memerlukan biaya yang relatif lebih kecil dari sebelumnya dan dengan risiko yang lebih kecil juga. Menurut Budhi, revitalisasi tambak mangkrak jadi tambak tradisional-plus bisa dilakukan pada tambak intensif/semi-intensif yang mempunyai dasar tanah (bukan beton atau HDPE).
Memperkuat Branding
Selain bisa turut membantu peningkatan produksi secara nasional, sistem tradisional-plus juga bisa memiliki keunggulan dari aspek marketing di pasar global. Menurut Budhy, buyer atau konsumen global akan menilai positif tambak tradisional-plus karena cara budidayanya yang tidak mengeksploitasi alam dan menerapkan budidaya udang secara berkelanjutan dan ramah lingkungan.
Baca juga: Bangun Pertambakan Ramah Iklim
“Dengan demikian, udang Indonesia akan semakin berdaya saing dalam memperebutkan pasar udang global yang semakin ketat dari waktu ke waktu,” katanya.
Contoh keberhasilan nyata dari sistem tradisional-plus bisa dilihat dari sepak terjangnya Ekuador dalam beberapa tahun terakhir. Saat ini Ekuador telah mengekspor udangnya sekitar 700 ribu ton/tahun, atau sekitar tiga kali lipat kemampuan ekspor udang Indonesia. Budhi menilai bahwa Ekuador mampu meingkatkan produksi udangnya sebesar tiga kali lipat dalam waktu tujuh tahun saja. Mereka mampu meningkatkan produksi dengan mengembangkan sistem tradisional-plus secara masif, padat tebar yang rendah, induk unggul, dan manajemen air yang baik.
Penyederhanaan Perizinan
Selain melalui pengembangan sistem tradisional-plus, Budhy juga berharap pemerintah bisa benar-benar melakukan penyederhanaan perizinan tambak udang (tradisional-intensif). Menurutnya, perizinan yang sederhana akan menggairahkan para petambak intensif untuk berproduksi dan akan menarik investasi baru di tambak udang intensif. Dengan demikian target peningkatan ekspor 2,5 kali lipat pada tahun 2024 sangatlah mungkin bisa tercapai.