Bersama Akuakultur, Indonesia Makmur
| Tue, 17 Aug 2021 - 13:27
Merdeka berbudidaya bagi banyak orang berarti memiliki kemampuan untuk bebas memilih teknologi dan manajemen usaha budidayanya. Sehingga menghasilkan komoditas dan keuntungan yang berkelanjutan.
Namun tidak hanya sampai di situ, pada episode Podcast di bulan Agustus ini, kami ingin membawa semangat itu lebih jauh lagi menjadi sebuah kolaborasi. Sehingga bersama akuakultur, Indonesia makmur.
Atau dengarkan melalui Spotify!
Laras: Please welcome today guest, Penggiat budidaya serta pernah menjadi Penasihat Menteri Kelautan dan Perikanan, Bapak Agus Somamihardja. Selamat datang Pak Agus
Agus Somamihardja: Terima kasih, Laras. Apa kabar?
Laras: Baik, Pak Agus. Bapak sendiri bagaimana kabarnya?
Agus Somamihardja: Baik Alhamdulillah. Bogor hari ini ceria sekali. Saya sempat jogging tadi
Laras: Supaya tetap bugar ya Pak di tengah pandemi ini
Agus Somamihardja: Iya, betul.
Laras: Sebelumnya terima kasih banyak ya Pak Agus karena sudah bersedia hadir di Podcastmina dan bercengkrama dengan Sahabat Minapoli semua hari ini.
Pada kesempatan kali ini kita akan bercengkrama mengenai kolaborasi di industri akuakultur. Tapi sebelum masuk ke sana, pastinya saya pribadi dan Sahabat Minapoli yang mendengarkan ingin mengenal lebih jauh sosok Pak Agus.
Jadi kalau tidak salah, Pak Agus ini sudah 30 tahun lebih ya di industri akuakultur. Pastinya Pak Agus sudah paham sekali mengenai semua seluk-beluk perikanan dan akuakultur. Karena pernah menjadi penasihat menteri, kemudian menjadi tokoh atau mungkin sekarang bahasa gaulnya influencer di bidang akuakultur dan perikanan.
Nah, Pak. Saya ingin tanya sisi mana dari perikanan, khususnya akuakultur, yang membuat Pak Agus jatuh cinta dan terus bertahan di industri ini?
Agus Somamihardja: Akuakultur itu kalau orang sudah benar-benar suka dan masuk passion-nya, tidak akan sanggup keluar. Jadi benar, saya sudah lama bahkan sebelum lulus kuliah saya sudah magang dan penelitian hampir 1 tahun di luar kampus.
Waktu itu jaman awal-awalnya udang ya. Begitu lamanya bekerja, akhirnya saya bosan dan tidak mau mengurus udang dan akuakultur lagi. Tapi ujung-ujungnya balik lagi dan balik lagi. Dan gak bisa berhenti.
Laras: Selama 30 tahun lebih ada di bidang akuakultur ini, mindset apa yang Pak Agus akhirnya pegang mengenai Iptek (ilmu pengetahuan dan teknologi) dalam akuakultur?
Agus Somamihardja: Jadi saya tambahkan yang tadi ya. Yang membuat saya tidak bisa lepas dari akuakultur mungkin hampir sama dengan teman-teman muda yang bermain game, karena banyak tantangannya. Jadi bagaimana menyeimbangkannya, karena akuakultur ini adalah cara balancing berbagai faktor yang ada di dalam air. Bagaimana faktor itu bisa mendukung kehidupan ikan atau udang.
Interaksi satu dengan yang lain pada jaman saya itu tidak sejelas sekarang, semua bisa dideteksi dan diukur. Jaman dulu, itu benar-benar memanfaatkan kesenangan, passion, dan ketajaman untuk melihat fenomena.
Jadi dulu saya melihat air, itu airnya saja yang dilihat. Air bagus, udang bagus, sudah pasti jadi. Atau mungkin teman-teman bilang masuk ruangan Pak Agus harumnya lain. Sebaliknya jika masuk ke tempat lain mungkin baunya berbeda, seperti bau jamur. Nah jadi sampai bau, harum, pandangan itu ada. Itu semua dulu hanya bisa dicapai oleh orang-orang yang punya passion dan titen, perhatian melihat fenomena begitu. Itu yang harus ditransformasi ke dalam ilmu pengetahuan.
Kenapa? Akuakultur tidak bisa berdasarkan seni dan ketergantungan sama orang. Kita nggak bisa maju terus nanti. Jadi saya pernah mengalami ada orang bilang mau beli benur dari daerah jauh, ketika ketemu bilang “Sebenarnya saya bukan mau beli benur, saya mau ambil Pak Agus. Mau gak jadi teknisi saya?”
Hal seperti itu nggak boleh terjadi. Mindset mencermati fenomena di dalam satu wadah akuakultur, di tambak, di akuarium, atau di hatchery, harus ditransformasi menjadi sesuatu yang sifatnya lebih pasti dan lebih terkontrol, sehingga bisa jadi industri.
Nah itu tantangan atau mindset yang harus teman-teman muda sekarang camkan.
Laras: Jadi dulu bisa dibilang insting dan seni ya, Pak. Jadi perlu waktu lebih lama untuk mempelajari itu. Dengan adanya IPTEK, ini bisa sangat mempercepat kemajuan. Dan semua orang bisa masuk ke akuakultur karena sudah ada teknologinya.
Agus Somamihardja: Iya selama orangnya ada passion, itu membantu. Karena suka itu membuat perhatian kita bisa fokus ke dalam dan bisa melihat semua dengan jernih. Karena saya yakin walaupun dibantu dengan iptek, peralatan canggih, tapi kalau enggak ada hati, nggak masuk juga.
Laras: Karena kita menghadapi makhluk hidup, ya?
Agus Somamihardja: Betul, dan juga menghadapi fenomena yang tidak kasat mata. Sekarang ada teknologi untuk monitor, tapi kan itu dinamikanya tidak sehitam putih itu.
Laras: Oke, tapi pastinya ilmu pengetahuan dan teknologi ini membantu seseorang untuk merdeka berbudidaya, ya.
Saya ingin tanya, menurut Pak Agus sendiri makna merdeka berbudidaya itu seperti apa?
Agus Somamihardja: Ini sekarang kata Merdeka ini lagi ramai-ramainya kita gunakan. Saya maknai, merdeka kalau diterjemahkan bahasa Inggrisnya itu menjadi freedom atau kebebasan. Justru jangan sampai itu yang kita ambil, karena berarti kita bebas apa saja. Seolah-olah jadi “terserah gue dong” yang penting untung.
Tapi yang penting menurut saya adalah independence Jadi kalau bahasa Inggrisnya hari kemerdekaan sebenarnya bukan freedom tapi independency. Artinya itu mandiri dan bertanggung jawab.
Jadi kalau dibilang kemerdekaan berbudidaya hari ini, itu harus lebih ke arah bagaimana kita bebas melakukan budidaya, tapi dalam koridor bertanggung jawab. Sehingga nanti akuakultur itu bisa mandiri. Bisa lepas dari ketergantungan.
Itu mungkin yang harus lebih ditekankan untuk makna kemerdekaan sekarang. Jadi independence. Industri akuakultur harus independence.
Kita memang nggak bisa nggak tergantung. Memang bukan di zamannya untuk bergerak sendiri-sendiri. Tetapi akuakultur sendiri harus cukup kuat, memiliki kemerdekaan atau kebebasan untuk berkolaborasi, untuk memilih inovasi. Tapi itu juga hanya bisa kalau kekuatan dari internal atau pelaku akuakulturnya sudah punya kelas untuk itu. Jadi itu penting.
Laras: Berarti lebih di independency atau kemandirian. Bukan kita berhak melakukan segala hal yang bisa saja malah merugikan lingkungan atau orang lain. Intinya adalah bertanggung jawab.
Kalau menurut Pak Agus sendiri ada gak syarat untuk mencapai kemerdekaan berbudidaya ini?
Agus Somamihardja: Kita kan nggak bisa hidup sendiri. Industri akuakultur hari ini juga nggak bisa hanya diurus oleh orang akuakultur saja, itu nggak bisa. Kemudian ketika kita mau berbudidaya kita juga punya pemerintah yang mengatur apakah ini merugikan orang lain atau tidak. Atau kalau memang pemerintah jauh berpikiran ke depan, bisa juga melihat kalau teknologi sekarang ini sustainability-nya bagaimana.
Apakah harus buru-buru dibuat regulasinya atau sebaliknya. Wah, industri akuakultur luar biasa nih potensinya untuk perekonomian masyarakat, untuk ekspor, untuk tenaga kerja, untuk lain-lain. Maka harus dibantu atau didorong.
Maka disediakan lah oleh pemerintah segala hal yang bisa mempermudah insan akuakultur untuk bergerak atau bekerja. Sehingga nanti bisa didapatkan efisiensi dan efektifitas kerja. Sehingga produk kita bisa kompetitif, unggul di luar.
Jadi mereka itu, termasuk anak muda, kalau bahasa sekarang harus bisa kolaborasi.Contohnya seperti sekarang saya diajak Minapoli untuk bicara, ini juga kan untuk kolaborasi. Mengajak, meminta pendapat pengalaman, kemudian menyampaikan kepada yang lain. Sehingga dengan ada kesepahaman, ada merasa perlunya berkolaborasi. Karena harus disadari, industri akuakultur itu kompleks.
Kalau saya bilang, terlalu gaya kalau ada orang bilang akuakultur itu urusan saya. Kenapa? Karena sebenarnya akuakultur itu nantinya akan memerlukan orang-orang dengan bidang keilmuan dan teknologi lain yang akan membantu (akuakultur itu sendiri, red).
Beberapa tahun lalu itu masih ada perdebatan, orang akuakultur bilang kita yang urus sendiri. Saya bilang nggak. Karena akuakultur itu, misalnya tambak udang, itu proses yang menghasilkan banyak limbah. Jadi akuakultur sebenarnya bagaimana mengelola limbah.
Akuakultur itu simple. Tapi bagaimana orang mengelola limbah rumah sakit, limbah pabrik tekstil, limbah lain yang begitu kompleks. Ya kita cari orang teknik lingkungan (menanyakan bagaimana pengelolaannya, red).
Hal seperti ini gampang bagi mereka karena pekerjaan sehari-hari. Kewajiban orang-orang akuakultur adalah meminta kepada orang-orang dari bidang lain, yang kira-kira bisa membantu apa. Segera definisikan.
Kemudian untuk kincir, kita tahu apa tujuan kincir dan oksigenasi. Kemudian ketika tambak kita desain nya nggak beraturan, kok lebih banyak masalah ya? Ternyata pengolahan limbahnya sulit.
Tapi kemudian ketika kita atur dengan kincir, ini perlu hidrodinamika, nih. Ya kita tanya sama orang yang ngerti hidrodinamika, bagaimana sebenarnya perjalanan airnya. Butuh berapa pompa dan lain-lain. Itulah yang harus kita minta.
Termasuk sekarang ada virus dan lain-lain. Begitulah kita orang akuakultur tidak bisa kuasai semuanya. Tapi kita yang harus paling tahu, apa yang paling dibutuhkan oleh kita? Kemudian kepada siapa kita akan meminta tolong, sehingga itu baru bisa kita berkolaborasi.
Jadi siapa yang menjadi kolaborator kita, ajak bicara, kumpulkan, sampaikan, kemudian kolaborasi lah dari hulu ke hilir. Akuakultur pasti butuh benih, induk, kemudian sampai ke marketing, dan penjualan. Akuakultur itu bisnis, ya. Kolaborasi harus ada di situ.
Dan kemerdekaan itu nanti didapat ketika kita sudah memperoleh semua informasi ilmu pengetahuan teknologi, bantuan dari mereka. Maka kita punya kemerdekaan untuk mengerjakan akuakultur, teknik budidaya, sistem budidaya, desain kolam dan menggunakan alat apa untuk membantu. Itu akan membuat kita jadi merdeka dalam berdaya, tidak terkungkung oleh hal-hal yang menyulitkan kita.
Laras: Jadi saya bisa ambil kesimpulan, kolaborasi ini sebetulnya membantu para pembudidaya itu sendiri untuk memperoleh kemerdekaan. Dan juga mungkin yang sudah merdeka tetap masuk di kolaborasi itu jadi bentuknya seperti siklus gitu ya, Pak. Akan muter terus.
Agus Somamihardja: Iya, akan muter terus dan semakin membesar, semakin menguat
Laras: Sebelum kita ngobrol lebih jauh lagi terkait kolaborasi, jadi pastinya harus ada kolaborasi antar stakeholder. Nah mungkin saya disini ingin memperjelas, sebetulnya kalau di akuakultur sendiri, yang bisa disebut sebagai stakeholder itu sebetulnya siapa saja?
Agus Somamihardja: Pembudidaya jelas, ya. Kemudian pemerintah sebagai regulator tugasnya yang mengatur, memberi fasilitas, memberi kemudahan. Karena itu penting sekali bagi teman-teman pekerja maka itu juga stakeholder. Kemudian kalau kita mau sampai dijual keluar, ya teman-teman processing itu juga stakeholder.
Perguruan tinggi harus aktif melakukan riset, membantu, karena tadi semua permasalahan ada di lapangan, kemudian harus tahu sehingga dirisetkan lah ya, berkolaborasi dengan supplier. Bisa supplier pakan, itu stakeholder ya.
Industri bahan baku pakan itu stakeholder, jadi semua yang terlibat dalam proses akuakultur dari mulai supplier induk di luar atau kita yang buat induk di dalam, dan supplynya lagi dari induk misalnya tukang cacing itu udah stakeholder.
Jadi kalau lebih jauh lagi, di pemerintahan pun yang mengawasi mengontrol lingkungan ya itu juga stakeholder. Jadi semua yang berkepentingan atau yang berperan dalam menentukan jalannya industri akuakultur, ya stakeholder. Termasuk dubes-dubes di luar negeri yang ikut menjualkan atau mempromosikan produk akuakultur di Indonesia, ya mereka stakeholder.
Laras: Berarti sebetulnya ada banyak sekali ya, Pak Agus? Dan semua ini sebetulnya bisa saling berkolaborasi untuk memajukan akuakultur. Kira-kira apa mindset yang perlu dimiliki oleh setiap stakeholder ini, supaya kolaborasinya optimal untuk akuakultur?
Agus Somamihardja: Ketika dulu para pendiri bangsa itu memproklamasikan kemerdekaan, membentuk kelembagaan negara, negara kesatuan republik Indonesia, kemudian menentukan kemana arah negara ini dibawa, maka dibuatlah Undang-undang Dasar 1945. Intinya untuk kesejahteraan seluruh atau segenap rakyat Indonesia.
Nah, mindset yang harus dimiliki oleh semua stakeholder akuakultur, dalam rangka kesejahteraan masyarakat seluruhnya, ya kepentingan nasional. Itu yang harus dipegang semua. Jadi ke mana pun berada, itu didahulukan. Jangan didahulukan, tapi maunya instan.
Saya senangnya dengan teman-teman anak muda ini karena sebenarnya kalau model-model saya mau berapa lama lagi, sih. Saya mau provokasi aja anak-anak muda. Ayolah berkolaborasi, siapa lagi kalau bukan kita anak muda.
Jadi tadi sebaiknya bersama, bersatu, berkolaborasi. Karena nanti anak-anak muda juga yang harus melanjutkan, yang harus meneruskan. Para orangtua harus ikhlas, rela untuk mengajari atau berbagi pengalamannya. Bukan ngajarin lah, karena anak-anak muda sudah pintar-pintar juga. Hanya wise dan pengalaman itu yang nggak dimiliki oleh anak-anak muda. Ya mendengarkan orang tualah, tanyalah gitu.
Jadi kembali yang tadi, semuanya untuk kepentingan bangsa dan negara sesuai dengan tujuan cita-cita kemerdekaan Indonesia, itu menjadi hal yang paling penting bagi semua stakeholder kita untuk diperhatikan dan untuk memperjuangkan.
Laras: Jadi sebetulnya kembali lagi ke dasar negara kita ya, gak jauh-jauh.
Untuk selama ini, yang bisa sebut sebagai media atau wadah untuk para stakeholder di akuakultur ini berkolaborasi, itu apa saja sih Pak yang sekarang mungkin bisa dimanfaatkan seperti itu.
Agus Somamihardja: Ya gak usah jauh-jauh ya inilah, Minapoli ya. Saya ada hatchery, kadang-kadang ada orderan nih dari Minapoli katanya. Itu kolaborasi, karena hatchery saya kecil, kita nggak punya orang pemasaran ya secukupnya saja lah. Jadi track record kita yang didengar oleh orang-orang. Dan mereka enggak tahu siapa gak ada orang pemasarannya, tapi karena dari Minapoli nanya-nanya, lalu order.
Di akuakultur saya bilang tadi, itu sudah sunnatullah ya, manusia itu gak bisa menguasai semua bidang. Kemudian setiap orang itu sudah diberikan tugas, setiap orang itu punya passion dan passion itu adalah tugasnya dalam hidup gitu. Jadi kalau saya sering di akuakultur, ya mungkin saya bilang sudah lah Agus, kamu bantu orang-orang di akuakultur. Jadi ketika saya sudah bosan di akuakultur, ujungnya balik-balik lagi ke sini. Ya memang itu tugasnya, itu passion. Jadi ikuti passion kita.
Ada yang senang di teknologinya, contohnya dari teman-teman eFishery. Saya lihat mereka membuat teknologi bagaimana membantu agar pakan itu bisa disebar setiap saat dan diatur. Kalau 100 hektar itu orang bagi-bagi pakan berapa banyak. Kalau hujan, jauh, dan segala macam kan repot. Ya sudah, mereka memang passion nya disitu ya dikerjakan. Artinya kita harus berkolaborasi, misalnya dengan yang paham teknologi.
Lalu ada lagi satu yang sukanya membuat monitor atau alat elektronik. Ya sudah buat aja monitornya supaya suhu, pH, DO, gak perlu diukur satu-satu. Ditancapkan saja di situ, langsung dimonitor di komputer. Yang passion di situ, kerjakan itu.
Teman-teman yang jadi teknisi juga. Kemudian sekarang sudah semakin maju lagi, mengkombinasikan kan supaya membuat keputusannya ada koridornya juga. Membantu para teknisi karena tambaknya banyak, ada artificial intelegence (AI), pakai algoritma dan lain-lain.
Nah inilah yang harus berkolaborasi di sisi produksi. Kemudian ada teman-teman yang senang di marketplace.Ini semua yang harus saling berkolaborasi. Ada yang spesialisasi teman-teman di nanobubble, ya mereka tahu persis bahwa oksigen itu adalah kendala atau menjadi bottle neck, sehingga mencari agar supply oksigennya bisa tinggi.
Semua itu bisa masuk dan berkolaborasi sehingga produktivitas kita bisa tinggi. Akhirnya efektif dan efisien dalam produksi, kemudian punya daya saing. Ini untuk cerita tentang budidaya yang modern, atau millenial. Tapi jangan lupa Indonesia ini begitu luas, gak semua bisa modern ada yang tradisional, yang tradisional ini harus dibantu juga. Bagaimana teknologi tradisional yang murah-meriah, SOP nya juga dibuat, ada juga yang suka itu.
Kenapa? Karena ada juga pasar yang itu. Ada pasarnya yang maunya udang tradisional aja, karena itu organik. Itu juga dibantu, jadi Minapoli atau yang lain-lain pun juga bantu mereka karena itu juga warga negara kita masyarakat kita.
Kalau semua sampai disentuh ke sana, Indonesia ini besar sekali. Jadi nggak usah takut dengan negara lain. Yang membuat kita kalah dengan negara lain, mungkin karena belum berkolaborasi.
Laras: Baik, Pak. Apalagi di zaman yang hiper connectivity ini harusnya sangat mudah untuk saling terhubung dan berkolaborasi seperti itu.
Mungkin itu tadi dari sisi mandiri dari pembudidayanya. Kalau dari sisi pemerintah atau asosiasi ada nggak Pak media yang bisa mewadahi orang-orang untuk saling berkolaborasi itu atau mempertemukannya.
Agus Somamihardja: Ada, jadi ini cerita tentang udang dulu aja ya. Jadi teman-teman di udang itu ada membentuk Forum Udang Indonesia, saya termasuk pendirinya. Nah itu ada pihak pemerintah di situ, ada dari asosiasi, ada pabrik pakan. Mereka memikirkan bagaimana agar udang Indonesia itu bisa unggul dan diterima di luar, agar produksi itu bisa berkelanjutan. Itu mereka bekerja terus kok saya tahu persis itu.
Wadah-wadah itu sekarang kan memang zamannya. Tinggal, ayo! Kalau semangatnya semua untuk Indonesia, untuk kepentingan masyarakat, ya tidak ada lagi kita kotak-kotak. Semua mewadahi diri dalam bentuk forum, dalam bentuk wadah diskusi. Sekarang tidak ada alasan untuk bilang “saya nggak ketemu, saya nggak kenal”. Ini miskomunikasi, sehingga nanti menyulitkan. Harusnya tidak ada lagi seperti itu.
Yang belum itu saya lihat adalah, dan ini agak sulit ya, sulit sekali itu, kalau stakeholder perikanan semua, dari pemerintahnya, sudah okelah. Meskipun masih harus diteruskan lagi, dicairkan lagi, antara pemerintah dengan dengan teman-teman produsen budidaya, ataupun teman-teman eksportir, itu harus lebih cair lagi lebih terbuka lagi ya.
Yang repot itu adalah dengan departemen lain, pemerintah juga sih namanya tapi kementerian lain yang sangat berkaitan erat dengan kemerdekaan budidaya tadi. Misalnya KLHK (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) punya aturan untuk lingkungan, air harus dikelola dulu sebelum dibuang ke perairan. Itu bisa bicara bersama dengan teman-teman di KKP. Kemudian PUPR, tentang tata ruang, itu penting. Perlu bicara juga dengan KKP.
Atau KKP-nya yang bicara dengan mereka, karena itu perlu. Jangan sampai kejadian aneh-aneh. Polisi “ikut-ikut”. Itu bukan rahasia. Misalnya teman-teman petambak perlu listrik, karena PLN kurang ya belilah genset sendiri, dipakai di tambak sendiri, ya sudahlah. Jangan sampai dari PLN atau pihak lainnya mengejar perizinan.Sampai pengaturannya sulit. Sudah beli sendiri, diurus diri, sulit lagi.
Ini teman-teman di KKP yang harus lobi agar paham. Tetapi teman-teman di kita juga harus tahu standar-standar keselamatan. Jadi lebih bergaulah, ajak lah pihak-pihak yang kita perlukan.
Laras: Semoga dengan mindset ingin menyejahterakan masyarakat, kita semua ini bisa duduk bersama dan kolaborasi gitu ya Pak untuk memajukan akuakultur dan industri yang lain juga.
Agus Somamihardja: Saya rasa industri lain juga mengalami hal yang sama, karena tidak kolaborasi mungkin ada yang lupa, jadi kembali saya ingatkan ya. Ini kan 17 Agustus, kita merdeka itu membuat negara, membuat lembaga seperti koperasi, lembaga koperasi itu ya para pengurusnya bicara di situ. Ada visi misi, ada tujuan. Bukan lembaganya ada, Indonesia. Tapi masing-masing kerja sendiri-sendiri, seperti unit sendiri-sendiri, nggak mau tahu urusan orang lain.
Laras: Baik kita kembali ke kolaborasinya. Jadi tadi Pak Agus mengatakan teknologi ini secara pasti bisa membantu dari sisi pemanfaatan maupun manajemennya di akuakultur. Teknologi ini juga merupakan hasil dari riset-riset dari balai atau perguruan tinggi. Untuk bagian riset ini, apakah sudah ada juga kolaborasi khusus untuk mengembangkan hasil risetnya?
Agus Somamihardja: Ya harusnya ada ya. Tetapi biasanya dari perguruan tinggi dan dari balai, dari LIPI juga ada, itu mungkin karena mereka terlalu scientific ya, melihatnya dari literatur, nggak langsung ke lapangan. Kadang-kadang pemahamannya, bukan semua ya tentu ada juga yang sudah memahami betul, kadang menyambungkan risetnya dengan real apa yang terjadi di lapangan, itu kurang match. Belum nge-pas gitu.
Saya punya banyak contoh. Ketika seseorang membuat sesuatu, kemudian idenya bagus, saya minta kirim sampelnya. Ketika saya pakai, ini nggak bisa kerja. Ternyata ketika dilihat, terlalu kecil. Mungkin itu cocoknya untuk skala yang kecil, skala rumah tangga, mau dibawa ke tambak gak bisa.
Itu lah perlunya riset dilakukan di lapangan. Applied research. Jadi dari awal sebelum melakukan riset, ketika sudah memiliki ide harus bertemu orang-orang lapangan. Saya sangat welcome, yuk yang punya ide silahkan saya bantu di tempat saya.
Kenapa? Saya juga akan dapat informasi paling pertama dong, jadi ketika informasi itu masuk saya bisa bantu.
Karena pada dasarnya kita punya keahlian dari diri sendiri. Ketika kita bertemu dengan yang lain, baru keahlian itu bergabung menjadi dua. Informasinya menjadi benar, menjadi real di lapangan, kemudian risetnya pun akan dicatat sebagai riset yang berbasis pada lapangan.
Saya sudah mengajak teman-teman yang punya teknologi, yuk kumpul di kita membuat tambak kecil. Kemudian lakukan itu sebagai tempat riset udang. Siapapun peneliti yang punya ide luar biasa, yuk kita kerjakan di kita. Kemudian hasilnya silahkan kembangkan berupa alat, berupa teknologi, berupa paten, atau apa saja. Lalu jualkan dalam skala industri, silahkan.
Saya sudah cukup jika tempat saya sebagai tempat risetnya. Artinya apa? Itu perlu ada suatu lembaga atau seseorang yang mempunyai passion. Boleh juga kalau teman-teman dari sini "Oke Pak Agus, kita bikin tambak bareng-bareng".
Hasilnya ini menjadi teknologi yang bisa diaplikasikan oleh teman-teman startup yang punya teknologi, kemudian menjadi suatu SOP produksi. Sebenarnya ini bisa cepat disebarkan ke masyarakat. Jangan trial and error-nya di masyarakat, di kita cukup.
Masyarakat tinggal ikut dengan pedoman yang kita miliki, mereka modifikasi saja. Nah itu jadi big business. Penelitian dari universitas, lembaga penelitian ikut gabung dengan kita kan juga bisa, tetap bisa jadi credit point mereka. Jadi sekarang tinggal buka saja mindset kita. Akuakultur terlalu besar untuk dipahami dan dikerjakan sendiri. Ayo bekerja sama-sama!
Laras: Berarti keterbukaan ini memang sangat penting dari masing-masing pihak, untuk kolaborasi dan impact ini justru bisa lebih besar gitu ya Pak.
Agus Somamihardja: Sangat besar, ya itu yang namanya sinergi. Kalau dalam bahasa teman-teman yang lebih religius itu lah manfaatnya dari berjamaah, berapa puluh kali lipat, kan.
Laras: Kira-kira ke depannya, kolaborasi seperti apa yang perlu dikembangkan supaya kerjasamanya lebih strategis dan bisa meningkatkan daya saing. Dan tentunya kesejahteraan untuk pembudidaya di Indonesia.
Agus Somamihardja: Misalnya cari siapa, banyak teman-teman yang punya sifat suka akademik atau suka meneliti tapi bukan murni peneliti. Hasil riset itu sekarang sudah bukan rahasia lagi, bisa kita baca di jurnal dan lain-lain. Hari ini keluar kita sudah tahu.Jadi cari yang terbaru kemudian kolaborasi lah bersama-sama.
Di udang misalnya perlu pakan, bernur, kemudian water treatment, monitoring automasi untuk peralatan itu kan ada semua. Ayo kolaborasi di situ. Kemudian buat satu tempat atau sharing masing-masing berapa, untuk membuat penelitian model tambak yang terbaru. Tiga hektar saja.
Kemudian lakukan semua penelitian di situ. Termasuk bagaimana cara improvement teknologi. Teknologi nggak bisa berhenti. Jadi saya ingin bilang kepada teman-teman bahwa budidaya yang bertanggungjawab itu termasuk diantaranya bagaimana limbah dari budidaya sudah seminim mungkin efeknya terhadap lingkungan.
Artinya ada pengelolaan limbah disitu. Itu kan banyak riset dan itu bisa dimanfaatkan untuk pertanian gitu untuk pupuk. Itu kan yang terbbuang di petakan tambak kan protein. Protein itu kan N dan P, nah itu kan pupuk. Itu harus mulai dirisetkan. Sehingga nanti pengelolaan budidaya itu dalam satu wadah budidaya sudah hasilnya udang plus hasil tambahannya mungkin pupuk.
Paling tidak itu bisa dipakai di sekitar tambak untuk petani yang menanam kacang, menanam bawang. Jadi limbah nggak ke laut, sementara limbah ke laut ini kan cepat sekali kotornya. Ini pentingnya. Ayo berkumpul di satu tempat. Kemudian kita tentukan apa yang harus segera kita riset, applied research, sampai mendapat SOP. Kemudian kembangkan di bisnis masing-masing.
Jadi tadi yang bagian monitoring, ketemu bagaimana caranya. Itu yang pertama. Yang kedua budidaya itu kan lama, udang itu masih mending tiga bulan ya paling lama empat bulan. Kalau akuakultur lain budidaya, ada yang satu tahun bahkan satu setengah.
Misalnya panen dua setengah kali setahun, itu pun juga terlalu lambat, rasanya. Kenapa tidak dibuat tiga kali setahun? Bagaimana caranya? Saya melihat kenapa harus tebar benur dari PL 10 - 12. Di tambak yang begitu luas, benurnya hanya berukuran 1 cm. Kenapa tidak didederkan lebih dulu? Dibuat dulu pendederannya di situ, sehingga nanti tebar ke tambak sudah 3 gram.
Itu 3 gram waktunya satu bulan. Jika dibandingkan dengan kita tebar benur PL di tambak, satu bulan kemudian di-sampling itu paling baru 2,5 gram. Setelah 40 hari mungkin baru 3 gram. Kenapa tidak kita simpan (dideder) dulu di sekitar tambak. Atau buat desain yang baru sehingga nanti setelah benur 3 gram bisa langsung ditebar ke petakan tambak.
Jadi di petakan tambak tinggal dua bulan, atau dua bulan setengah. Dengan waktu dua bulan setengah ini, satu tahun kita bisa dapat 3 siklus minimal. Itu perputaran uang yang besar. Teknologinya harus dibuat dulu jangan asal rial and error.
Maksud saya, tempat-tempat applied research itu seperti itu cara kerjanya. Terus menciptakan efisiensi, karena ini akan jadi bisnis terus-menerus dan banyak digunakan. Jadi luar biasa kalau menurut saya, kalau kita mau berpikir, mau berinovasi.
Laras: Dari tadi kita ngobrol, Pak Agus sudah menyebutkan banyak sekali kesempatan kita untuk saling berkolaborasi dari berbagai sisi. Baik Pak Agus mungkin ini pertanyaan terakhir. Jadi kira-kira ke depan, apa tantangan yang perlu kita hadapi bersama dan cara menghadapinya, untuk kita bisa saling bersinergi?
Agus Somamihardja: Oke ini kalau saya cerita serius sekali dari tadi, pertanyaannya memang cuman kamu saja di Indonesia yang serius? Orang Vietnam lebih serius dari kita, orang Cina juga begitu. Kemudian saya dapat permintaan untuk membantu perudangan di Aljazair. Ya ampun, saya bilang jauh amat, memangnya saya gak ada kerjaan di sini? Artinya apa? Semua negara ya sekarang itu bisa membuat udang.
Banyak teman-teman saya sekarang, “Ayo bikin tambak lagi!”. Tapi kalau tidak bisa efisien, jangan. Jadi harus efisien dan bersaing. Jadi tantangan utamanya, di setiap negara apabila memungkinkan, mereka akan membuat udang sendiri, baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk dijual lagi.
Kemudian Indonesia pasarnya di Jepang, di Amerika kan jauh. Orang Vietnam lebih dekat ke Cina juga, kemudian mau ke Eropa ya Aljazair juga dekat dan banyak masuk ke sana. Makanya saya nggak mau bantu Aljazair karena mereka pintar di situ terus nanti Eropa, udah kita juga udah nggak masuk, tambah lagi dari mereka banyak semakin nggak masuk.
Nah tantangannya itu. Jadi kita harus lebih efektif-efisien. Kemudian harus melihat yang paling murah. Dan satu yang sering dilupakan, cari produksi udang yang paling diterima pasar, murah, sehat, dan tidak merusak lingkungan. Dibuktikan dengan informasi.
Yang berikutnya adalah, kita jangan hanya kita menjadi maklun atau penjahit.. Jadi penjahit aja gitu ada orang pesan baju, kebanyakan pesannya, terus gak sanggup dikasih ke saya sebagai penjahit untuk bantu buatkan.
Jangan hanya jadi penjahit. Artinya apa? Sekarang memelihara udang, berapa komponen lokalnya? Kalau pakannya masih seperti sekarang dari mana itu sumber proteinnya? Katakanlah dari tepung ikan, lalu dari mana tepung ikannya? Dari Chili, dari Argentina. Terus nanti kalau gagal panennya, mereka (produsen tepung ikan) sudah enak. Tapi petani tetap sudah beli pakannya. Jadi kurangi lah impor itu.
Mulai pelan-pelan buat inovasi dan cari lokal kontennya, kemudian pelan-pelan kita tidak tergantung kepada yang lain. Pelan-pelan, pasti nggak bisa sekaligus. Itulah makna kemerdekaan yang sebenarnya.
Artinya kita sudah bisa membuat sesuatu tanpa tergantung dari orang lain, atau sedikit tergantungnya. Apa yang kita hasilkan dihitung. Berapa sebenarnya yang kita hasilkan untuk masyarakat kita? Berapa hasil yang bisa menjadi pendapatan negara. Jangan sampai ya ekspornya tinggi, tapi impornya juga sama. Jangan terbalik lagi. Ruginya banyak di sini (di Indonesia)
Laras: Baik. Sekali lagi terima kasih sekali Pak Agus karena sudah sharing begitu banyak insight mengenai kolaborasi. Tentunya dari sudut pandang yang lebih besar karena Pak Agus sudah berpengalaman di setiap bidangnya.
Mungkin Pak Agus bisa menyampaikan pesan kepada seluruh pembudidaya Indonesia supaya bersama akuakultur, Indonesia makmur.
Agus Somamihardja: Pesannya itu saja. Berkolaborasi lah karena hanya dengan itu kita bisa mendapat peluang untuk bisa bekerja sama saling menguntungkan dan kita tidak akan mudah diadu dombakan.
Atau kuatlah untuk bersaing karena akan mendapat hasil yang lebih produktif, efisien, dan kompetitif Itulah satu-satunya cara udang kita atau produk akuakultur kita bisa masuk pasar.
Kemudian mulai lah melihat pelan-pelan, melirik apa saja bahan-bahan dalam negeri yang bisa kita pakai. Supaya industri ini bisa memberi manfaat bagi sekeliling kita.
Kemudian yang berikutnya, yang kita kerjakan ini jangka panjang. Jadi harus dipikirkan apa efek negatif dan positifnya. Efek positifnya harus diupayakan terus supaya bisa dinikmati dan menjadi bekal bagi generasi muda. Efek negatifnya pelan-pelan dihilangkan supaya tidak menjadi beban bagi generasi muda akuakultur dan perikanan secara umum.
Laras: Berarti semangat gotong-royong ini harus selalu ada untuk menyejahterakan masyarakat Indonesia. Baik, Pak Agus, terima kasih banyak untuk diskusi hari ini. It’s a pleasure to have you here. Thank you guys for listening. my name is Larasati Puspita Dewi
Agus Somamihardja: My name is Agus Somamihardja
Laras: See you in another episode, good bye!